JANDA MENIKAHKAN DIRINYA SENDIRI?

JANDA MENIKAHKAN DIRINYA SENDIRI? 


Seorang wanita, janda atau gadis, jika ingin menikah mesti ada walinya. Tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. 

Rasulullah shalllallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ.

“Perempuan mana saja yang menikah tanpa izin walinya, nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal.” (HR. Abu Dawud. Hadits Shahih). 

Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, 

 لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ

“Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”. (HR. Abu Dawud. Hadits Shahih). 

Bahkan di zaman Umar dan Ali radhiyallahu anhuma, orang yang menikah tanpa walinya, mereka pukul sebagai hukumannya. 

Berkata Ikrimah Bin Khalid rahimahullah, 

جَمَعَتِ الطَّرِيْقُ رَكْبًا فَجَعَلَتِ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ ثَيِّبٌ اَمْرَهَا بِيَدِ رَجُلٍ غَيْرَ وَلِيٍّ فَاَنْكَحَهَا فَبَلَغَ ذلِكَ عُمَرَ. فَجَلَدَ النَّاكِحَ وَ اْلمُنْكِحَ وَ رَدَّ نِكَاحَهَا. الشافعى و الدارقطنى

“Pernah terjadi di jalan penuh kendaraan. Ada seorang janda diantara mereka menyerahkan urusan dirinya kepada seorang laki-laki yang bukan walinya, lalu laki-laki itu menikahkannya. Kemudian sampailah hal itu kepada Umar, lalu Umar menjilid (mendera) orang yang menikah dan yang menikahkannya serta membatalkan pernikahannya.” (HR. Daruquthni).

Berkata Asy-Sya’bi rahimahullah, 

مَا كَانَ اَحَدٌ مِنْ اَصْحَابِ النَّبِيِّ ص اَشَدُّ فِى النِّكَاحِ بِغَيْرِ وَلِيٍّ مِنْ عَلِيٍّ، كَانَ يَضْرِبُ فِيْهِ. الدارقطنى

 “Tidak ada seorang pun diantara shahabat Nabi shallallahu alaihi alaihi wa sallam yang paling keras (tindakannya) terhadap pernikahan tanpa wali daripada Ali, ia memukul pelakunya. [HR. Daruquthni]
 
Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, bukan dalil pembolehan seorang janda menikahkan dirinya sendiri tanpa wali. Hadits yang dimaksud berikut ini, 

في صحيح مسلم عن ابن عباس رضي الله عنهما: الثيب أحق بنفسها من وليها، والبكر تستأمر، وإذنها سكوتها. 

Di dalam Shahih Muslim dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma Wanita janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya. Dan wanita gadis (perawan) ditanya, dan izinnya adalah sikap diamnya. 

وفي رواية له: الثيب أحق بنفسها من وليها، والبكر يستأذنها أبوها في نفسها، وإذنها صماتها. وربما قال: وصمتها إقرارها.

Dalam riwayat lain: perawan diminta izin oleh bapaknya dan tanda izinnya adalah sikap diamnya. Boleh jadi diamnya adalah persetujuannya.

Berkata Imam Nawawi rahimahullah, 

في معنى أن البنت أحق بنفسها من وليها: أحق هنا للمشاركة، ومعناه أن لها في نفسها حقا، ولوليها حقا، وحقها مقدم على حقه، وأوكد من حقه، فإنه لو أراد تزويجها كفؤا وامتنعت، لم تجبر، ولو أرادت أن تتزوج كفؤا فامتنع الولي أجبر، فإن أصر زوّجها القاضي، فدل على تأكيد حقها ورجحانه. 

Janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya maknanya terdapat dua hak terhadap dirinya, yaitu hak janda dan hak walinya. Hak si janda terhadap menentukan nasibnya lebih didahulukan dan lebih berhak daripada bapaknya. Yaitu jika bapaknya ingin menikahkan anaknya yang janda ini kepada laki-laki yang selevel dengan dia tapi dia tidak mau, maka walinya tidak boleh memaksa. Sebaliknya jika si janda ingin menikah dengan laki laki yang setara tapi walinya tidak mau menikahkannya maka walinya dipaksa untuk menikahkannya. Jika tetap tidak mau maka yang akan menikahkannya adalah wali hakim. Ini menunjukkan kuatnya akan haknya dan hal yang diutamakan oleh walinya. (Syarah Shahih Muslim). 

Namun walaupun demikian, kalau janda inigin menikah, harus seizin walinya dan yang lebih berhak menikahkan adalah walinya. Bukan menikahkan dirinya sendiri. 

Disebutkan dalam Al Muwatha Imam Malik, 

لا يَنْبَغِي أَنْ تُنْكَحَ الثَّيِّبُ، وَلا الْبِكْرُ إِذَا بَلَغَتْ إِلا بِإِذْنِهِمَا فَأَمَّا إِذْنُ الْبِكْرِ فَصَمْتُهَا، وَأَمَّا إِذْنُ الثَّيِّبِ فَرِضَاهَا بِلِسَانِهَا، زَوَّجَهَا وَالِدُهَا أَوْ غَيْرُهُ، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ وَالْعَامَّةِ مِنْ فُقَهَائِنَا

“Tidak layak menikahkan janda, juga perawan jika sudah baligh kecuali atas seizin mereka. Adapun izinnya perawan adalah diamnya, dan izinnya janda menggunakan lisannya, yang menikahkannya adalah orangtuanya atau (wali) yang lainnya. Demikianlah pendapat Abu Hanifah dan Kebanyakan ulama kita (Al Muwatha).

Berkata Ibnu Hajar rahimahullah, 

أَنَّ مَعْنَى قَوْلِهِ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا: أَنَّهُ لَا يَنْفُذُ عَلَيْهَا أَمَرُهُ بِغَيْرِ إِذْنِهَا وَلَا يُجْبِرُهَا، فَإِذَا أَرَادَتْ أَنْ تَتَزَوَّجَ لَمْ يَجُزْ لَهَا إِلَّا بِإِذْنِ وَلِيِّهَا

Bahwa makna perkataan (janda) lebih berhak terhadap dirinya sendiri dari walinya) bahwa wali tidak bisa menentukan kecuali dengan izinnya, dan dia tidak boleh memaksanya (untuk menikah). Tetapi jika dia ingin menikah, maka tidak dibolehkan kecuali dengan izin walinya. “ (Fathu al-Bari (9/194)).  

AFM 

Copas dari berbagai sumber 


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadah Dimalam Nisfu Sya'ban

Royalti Di Akhirat

KENAPA KAMU DIAM?