ULAMA BERFATWA DENGAN DALIL
ULAMA BERFATWA DENGAN DALIL
Kalau ada yang mengatakan, "Kita ikut dalil, bukan fatwa ulama", maka perkataan ini perlu rincian.
Kalau ulama itu berfatwa tanpa dalil, menyelisihi dalil atau dengan dalil cuma difahami oleh akal dan hawa nafsunya, maka perkataan di atas benar adanya. Tetapi kalau ulama itu berfatwa dengan dalil dan pemahaman yang benar, maka perkataan itu tidak berlaku.
Ulama ahlussunnah, adalah orang yang paling takut berfatwa kalau tidak ada landasan dalilnya. Kecuali kalau ada perkara-perkara yang tidak dinashkan dalam alquran dan assunnah, yang memerlukan ijtihad.
Kalau fatwa ulama, masing-masing punya dalil dan memahami dalil dengan pemahaman yang benar, maka berlapang dadalah. Sama halnya dengan ijtihad ulama satu, berbeda dengan ijtihad ulama yang lain, atau terjadi ikhtilaf dalam suatu persoalan, maka perkara ini tidak perlu ribut dan gontok-gontokan. Apalagi sampai merendahkan ulama yang berbeda pendapat dengan pendapat ulamanya. Ulama tetap dimuliakan dan dihormati.
Berkata Al 'Allaamah Ibnu 'Utsaimin rahimahullah :
«على طلبة العلم احترام العلماء وتقديرهم، وأن تتسع صدورهم لما يحصل من اختلاف بين العلماء وغيرهم». [كتاب العلم (٣٣)].
"Hendaklah penuntut ilmu memuliakan ulama dan menghormati mereka, serta melapangkan dada terhadap ikhtilaf yang terjadi di antara ulama dan selain mereka." (Kitab Al 'Ilm hal. 33).
Perhatkan nasehat Syekh Utsaimin rahimahullah jika terjadi perbedaan pendapat ulama.
Berkata Al-Allamah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah :
أما عمل السلف الصالح: فإن من أصول السنة والجماعة في المسائل الخلافية ، ما كان الخلاف فيه صادراً عن اجتهاد وكان مما يسوغ فيه الاجتهاد فإن بعضهم يعذر بعضاً بالخلاف ولا يحمل بعضهم على بعض حقداً، ولا عداوة، ولا بغضاء بل يعتقدون أنهم إخوة حتى وإن حصل بينهم هذا الخلاف،... كل هذا لأنهم يرون أن الخلاف الناشئ عن إجتهاد فيما يسوغ فيه الاجتهاد ليس في الحقيقة بخلاف لأن كل واحد من المختلفين قد تبع ما يجب عليه إتباعه من الدليل الذي لا يجوز له العدول عنه
“Adapun amalan para salaf sholih : Maka sesungguhnya termasuk pokok dari pokok-pokok manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah khilafiyyah, suatu perbedaan pendapat yang muncul dari ijtihad, dan termasuk perkara yang dibolehkan untuk ijtihad di dalamnya, maka sesungguhnya sebagian mereka memberikan udzur/kelonggaran terhadap sebagian yang lain dalam masalah perbedaan pendapat. Tidak boleh sebagian mereka untuk memaksakan pendapatnya kepada sebagian yang lain karena dengki, tidak boleh karena permusuhan, dan tidak boleh juga karena kebencian. Bahkan mereka menyakini, sesungguhnya mereka bersaudara walaupun telah terjadi perbedaan pendapat ini….semua ini, karena mereka berpandangan, sesungguhnya perbedaan pendapat yang muncul dari ijtihad di dalam perkara yang dibolehkan di dalamnya untuk ijtihad, pada hakikatnya bukan khilaf ( bukan perbedaan pendapat ). Karena sesungguhnya setiap orang dari yang berbeda pendapat, telah mengikuti apa yang seharusnya dia ikuti berupa dalil yang tidak boleh bagi seseorang untuk berpaling darinya….”[ Syarah Al-Ushul As-Sittah : 155 ].
Dan berkata Syeikh Utsaimin rahimahullah :
وإذا اختلف العلماء عليه في الفتيا ، أو فيما يسمع من مواعظهم ونصائحهم – مثلاً - ، فإنه يتبع مَن يراه إلى الحق أقرب في علمه ودينه .
فإن تساوى عنده الرجلان في العلم والدين :
فقال بعض العلماء : يتبع الأحوط وهو الأشد .
وقيل : يتبع الأيسر .
وهذا هو الصحيح ؛ أنه إذا تعادلت الفتيا عندك فإنك تتبع الأيسر ؛ لأن دين الله عز وجل مبني على اليسر والسهولة ، لا على الشدة ، وقد قالت عائشة رضي الله عنها في وصف النبي صلى الله عليه وسلم : ( إنه ما خير بين أمرين إلا اختار أيسرهما ما لم يكن إثماً ) " انتهى .
Jika para ulama berbeda pendapat di hadapannya dalam suatu fatwa, atau berdasarkan apa yang dia dengar dari nasehat dan ceramah mereka, maka hendaknya dia mengikuti ulama yang menurut dia LEBIH KUAT ILMU dan AGAMANYA. Jika menurutnya keduanya sama-sama kedudukannya dalam hal ilmu dan agama, maka sebagian ulama berpendapat hendaknya dia pilih YANG LEBIH HATI-HATI, atau yang paling berat. Ada juga yang berpendapat, hendaknya dia memilih YANG LEBIH RINGAN (MUDAH). Pendapat ini yang benar, karena jika fatwa-fatwa yang ada kedudukannya seimbang di hadapan anda, maka anda dapat memilih YANG LEBIH RINGAN, karena agama Alah Azza wa Jalla dibangun berdasarkan kemudahan, bukan berdasarkan kesulitan. Aisyah radhiallahu anha berkata saat menjelaskan sifat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Sungguhnya beliau, jika berada dalam dua perkara yang dipilih, niscaya akan memilih yang paling ringan. Selama tidak berdosa.” (Liqoat Al-Bab Al-Maftuh”, Syekh Ibnu Utsaimin (Pertemuan ke 46, soal no. 2).
Untuk itu, jika seseorang mengambil pendapat ulama yang paling ringan pendapatnya, yang sama-sama kuat keilmuan dan agamanya, maka harus memenuhi dua syarat, pendapatnya tidak bertentangan dengan jumhur ulama dan dalil-dalilnya yang disampaikan sama.
Berkata Syeikh Utsaimin rahimahullah :
وعليه : فلا يجوز لك الأخذ بقول من يقول بالرخصة إلا بشرطين اثنين :
1- ألا يكون قد خالف جماهير أهل العلم من السلف والخلف ، فهو – ولا شك – الأعلم والأورع الذين ينبغي على الناس اتباع مذهبهم .
2- وأن تتكافأ الأدلة التي يذكرها أصحاب القولين في المسألة ، فلك ـ حينئذ ـ أن تأخذ بالأيسر من القولين .
Maka dengan demikian, seseorang tidak boleh memilih perkara yang paling ringan kecuali dengan dua syarat;
1. Tidak bertentangan dengan pendapat jumhur ulama baik kalangan salaf maupun khalaf. Tidak diragukan lagi bahwa yang paling layak dan paling hati-hati adalah mengikuti mazhab mereka.
2. Dalil-dalil yang disampaikan oleh kedua pandangan yang berbeda tersebut kedudukannya sama, maka ketika itu, anda dapat mengambil yang lebih ringan di antara kedua pendapat. (Liqoat Al-Bab Al-Maftuh”, Syekh Ibnu Utsaimin (Pertemuan ke 46, soal no. 2).
AFM
Copas dari berbagai sumber
Komentar
Posting Komentar