Pemimpin Itu Cukup Didoakan, Tidak Dipuji Yang Berlebihan

PEMIMPIN ITU CUKUP DIDOAKAN, TIDAK DIPUJI YANG BERLEBIHAN


Kebaikan apapun yang dilakukan oleh pemerintah, pemimpin atau penguasa, khawarij akan tetap mencela. Keburukan apapun yang dilakukan oleh pemerintah, pemimpin atau penguasa, murjiah akan senantiasa memuji. 


Dan sikap ahlussunnah, jika ada keburukan pemerintah, pemimpin atau penguasa, mereka bersabar, menasehati dengan benar dan mendoakan kebaikan, taufik dan hidayah. Kalau ada kebaikan pemerintah, pemimpin atau penguasa, mereka bersyukur, terus mendoakan dan tidak menyanjung-nyanjungnya. Apalagi dengan pujian yang tidak ada faktanya.


Asy-Syaikh 'Abdullôh Aba Bathîn rohimahullôh mengatakan:


وولي الأمر إنما يدعى له، لا يمدح، لا سيما بما ليس فيه.


Waliyyul amr itu hanya perlu didoakan tidak dipuji. Terlebih jika disertai dengan pujian yang tidak sesuai fakta


 وهؤلاء الذين يُمدحون في الخطب هم الذين أماتوا الدين، فمادحهم مخطئ، وليس في الولاة اليوم من يستحق المدح، لا يثنى عليه، وإنما يُدعى لهم بالتوفيق، والهداية


"Dan mereka yang biasanya dipuji diatas mimbar-mimbar, hakikatnya merekalah yang mematikan agama. Maka orang yang memuji mereka itulah salah. Dan tidak ada pemerintah di zaman sekarang yang pantas dipuji-puji. (Maka oleh karena itu) tidak perlu untuk dipuji, tapi perlu didoakan supaya mendapatkan taufiq dan hidayah." ("Rosâ'il Wa Fatâwâ Abî Batin" (171)).  Sumber : https://al-maktaba.org/book/3055/1791 


Berkata Imam Ahmad rahimahullah :


وإني لأدعو الله للأمير بالتسديد والتوفيق، في الليل والنهار..  البداية و النهاية ١٠/٣٣٧


Dan sesungguhnya aku, mendoakan petunjuk jalan yang lurus dan taufik untuk pemimpin, malam dan siang. (Al Bidayah wa Nihayah 10/337).


Dan berkata Imam Ahmad rahimahullah :


مِـن صـفَـاتِ المُـؤمـن مِـن أهْـل السّــنة والجَـمـاعـة : الدعاء لأئمة المسلمين بالصلاح. طبقات الحنابلة-١/٣٣


"Termasuk sifat seorang mukmin dari ahlussunnah wal jamaah adalah : mendoakan pemimpin-pemimpin kaum muslimin dengan kebaikan". [thabaqatul hanabilah (1/33)]


Berkata Imam Al Barbahari rahimahullah:


وإذا رأيت الرجل يدعو على السلطان فاعلم أنه صاحب هوى وإذا سمعت الرجل يدعو للسلطان بالصلاح فاعلم أنه صاحب سنة.


Jika engkau melihat seseorang yang mendoakan kejelekan kepada penguasa, ketahuilah bahwa ia adalah ahlul bid’ah. Jika engkau mendengar orang yang mendoakan kebaikan pada penguasanya, ketahuilah bahwa ia adalah ahlus sunnah. (Syarhus Sunnah hal 113-114).


Syaikh Shalih Alu Syaikh hafidzahullah ditanya :


وهذا يقول ما حكم الدعاء لولي الأمر على المنبر، سواء كان في خطبة الجمعة أو غير ذلك، وما رأيك في عدم تجويز الشاطبي لذلك في كتابه الاعتصام؟


Apa hukum mendoakan kebaikan kepada waliyul amri dari atas mimbar pada saat khutbah Jum’at atau selainnya. Dan apa pendapatmu bahwa Asy-Syathibi melarang hal itu dalam Al I’tisham?


Beliau menjawab :


الدعاء لولاة الأمور لم يكن في عهد الخلفاء الراشدين، وظهر في آخر عهد الصحابة وفي عهد التابعين، واستمر سنة إلى يومنا هذا.


Mendoakan waliyul amri tidak pernah terjadi di masa Khulafa’ur Rasyidin dan mulai muncul pada akhir zaman shahabat dan zaman tabi’in. Dan terus dianggap sebagai sunnah sampai sekarang ini.


وبسبب ذلك أنه لما ظهرت الخوارج، وكان الخوارج يرون التدين ببغض ولاة أمور المسلمين وكراهتهم و الخروج عليهم، خالفهم أهل السنة بالدعاء ظاهرا على المنابر في العلن لولاة الأمور، كما خالف أهل السنة خالفوا الرافضة بالترضي عن زوجات النبي ( وعن آله على المنبر.


Sebabnya adalah ketika muncul Khawarij dimana mereka menganggap membenci waliyul amri muslimin dan memberontak kepada mereka sebagai bagian dari agama, Ahlussunnah menyelisihi mereka dengan mendoakan (kebaikan) mereka diatas mimbar-mimbar terang-terangan. Sebagaimana mereka juga menyelisihi Rafidhah dengan mendoakan keridha’an bagi istri-istri Nabi dan keluarganya di atas mimbar.


فلما ظهر الابتداع صارت مخالفة المبتدعة سنة ماضية، ولهذا يذكر العلماء إن من سنن خطبة الجمعة إن يدعا فيها لولي الأمر، والدعاء لولي الأمر سنة ماضية، ومن علامات أهل السنة الدعاء لولاة الأمور، ومن علامات أهل البدع الدعاء على ولاة الأمور كما صرح بذلك البربهاري وغيره في كتاب السنة.


Maka ketika muncul kebid’ahan jadilah menyelisihi ahlul bid’ah sebagai sunnah yang berlaku. Karena itu para ulama menyebutkan bahwa termasuk sunnah-sunnah disaat khutbah Jumat adalah mendoakan waliyul amri. Maka ini termasuk sunnah yang sudah lama berlaku dan termasuk tanda-tanda ahlussunnah. Dan sebaliknya termasuk tanda-tanda ahlul bid’ah adalah mendoakan kejelekan kepada waliyul amri, sebagaimana jelas diterangkan oleh Al Barbahari dalam kitab As-Sunnah.


لكن الدعاء شيء والمدح شيء آخر.


المدح لا يجوز؛ لأنه يراد به الدنيا.


وأما الدعاء فيراد به صلاح الدين والدنيا والآخرة، فالدعاء مبعثه أمر شرعي لله.


وأما المدح فلأهله مقاصد مختلفة، ولهذا العلماء يدعون ولا يمدحون مدحا مطلقا، قد يثني بعضهم بثناء خاص مقيد لظهور فائدة عمل عمله ولي الأمر؛ لكن هذا على الاستثناء ليس قاعدة مطَّردة يثني لتشجيعه على الخير وترغيبه فيه وحثه عليه.


أما المدح فإنه ليس من صنيع السلف الصالح، وإنما من صنيعهم الدعاء؛ لأن الدعاء مما يرجى به صلاح دينه، وإذا صلح دين ولي الأمر صلح به شيء كثير.


Tapi berdoa bukan memuji. Memuji tidak boleh, karena tujuan dari pujian adalah dunia. Berbeda dengan mendoakan yang tujuannya adalah kebaikan agama, dunia dan akhirat. Doa landasannya syar’i. Adapun pujian maksudnya bisa berbeda-beda.


Kerena itu para ulama mendoakan, bukan memuji dengan pujian yang mutlak. Sebagian mereka mungkin memuji tapi dengan pujian khusus yang spesifik karena ada suatu manfaat yang didapat dari kebijakan waliyul amri. Tapi sifatnya khusus bukan kaidah yang berlaku umum. Memuji untuk mendorongnya kepada kebaikan dan memotivasinya diatas kebajikan.


Adapun sanjungan, ini bukan perbuatan salafus shalih. Yang mereka lakukan hanya mendoakan. Kerena dengan doa kita berharap kebaikan agamanya. Apabila waliyul amri baik agamanya, banyak persoalan ikut menjadi baik. (Sumber : http://www.tasfiatarbia.org/vb/showthread.php?t=15279).


AFM


Copas dari berbagai sumber



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadah Dimalam Nisfu Sya'ban

Royalti Di Akhirat

KENAPA KAMU DIAM?