Dari Bandung Ke Mare Bone

DARI BANDUNG KE MARE BONE

Oleh : Abu Fadhel Majalengka

Dua minggu yang lalu, setelah selesai mengajar fiqh kitab Minhajul Muslim di Masjid Ponceng Bone, seseorang mendatangi saya. Wajahnya asing bagi saya, sepertinya ikhwah baru. Saya pun mengobrol dengannya. Mendengar dari logat bicaranya, saya yakin dia orang Jawa Barat.

Saya tanya nama dan asalnya. Ternyata betul, dia lahir di Jakarta dan besar di Bandung, namun dia asli bugis, kedua orang tuanya dan mertuanya asli Mare Bone, akan tetapi dia tidak bisa bahasa bugis, justru dia lebih fasih bahasa sunda daripada saya sendiri yang asli sunda dan besar di tanah priangan.

Tiga bulan yang lalu, dia dan keluarganya hijrah dari kota Bandung ke kampung halaman orang tuanya dan mertuanya. 

Beliau dulunya seorang pengusaha besar, pengusaha bahan bangunan, agen semen yang termasuk sepuluh besar penyalur semen di Jawa Barat. Yang mempunyai langganan sekitar 50 pedagang bangunan eceran yang mengambil barang padanya. Omsetnya cukup besar, sehari 100 juta rupiah itu sepi, biasanya hari-hari isterinya lelah menghitung uang yang berkisar antar 100 sampai 200 juta rupiah dalam seharinya.

Setiap bulan, beliau harus setor ke distributor semen Jawa Barat tidak kurang dari dua sampai tiga milyar rupiah. Dan dia pun harus, membayar utang di Bank konvensional 120 juta rupiah setiap bulannya.

Hasil dari kerja kerasnya selama sepuluh tahun (2006-2016), beliau sering mendapatkan hadiah dari distributor. Beliau dan isteri, sering mendapatkan vocer untuk berlibur keliling dunia, dengan nilai vocernya satu orang 60 puluh juta rupiah.

Suatu ketika, distributor meminta untuk melunasi semua semen yang dia ambil, kalau tidak dilunasi, dia tidak akan dikirim semen lagi. Dan jumlahnya tidak sedikit, sekitar 7 milyar rupiah.

Disinilah kerajaan bisnisnya mulai goyah. Dia harus membayar tagihan distributor seluruhnya dan dia pun harus membayar utang di bank yang 120 juta rupiah setiap bulannya. Sedangkan semen sebagai barang inti jualan dan perputaran uang tidak ada.

Karena beliau sudah mulai mengenal dakwah salaf melalui dakwahnya ustadz Abu Haidar As Sundawi dan dia sudah tahu dari bahaya riba, akhirnya dia putuskan untuk menjual seluruh asetnya dan menutupi semua utang-utangnya.

Tiga rumah plus toko bangunan dan sepuluh mobilnya dia jual semua. Dan dia bayarkan seluruh utang-utang.

Plong rasanya, terbebas dari lilitan riba. Akhirnya dia dan isterinya pulang ke kecamatan Mare, 30 Km dari kota Bone. Tempat yang sepi dari keramaian dan dikelilingi sawah yang membentang, sambil isterinya mengurus kedua orang tuanya yang sudah sepuh.

Dari sisa uang menjual aset yang tidak seberapa, dia mencoba bertahan hidup dan dia berusaha mencari peluang usaha apa yang bisa dilakukan untuk sekedar menghidupi isteri dan ke empat anaknya.

Bersyukur, walaupun keadaannya seperti itu, semangatnya menuntut ilmu luar biasa, 3 kali dalam seminggu dia menghadiri kajian di masjid Imam Syafii dan masjid Ponceng Bone, walaupun harus menempuh jarak yang jauh, 1 jam perjalanan dari kampungnya baru tiba di kota Bone.

Mudah-mudahan Allah Ta'ala ganti dengan yang lebih baik. Dan ini pasti, kalau meninggalkan sesuatu karena Allah, pasti diganti dengan yang lebih baik.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda ;

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ

Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan yang lebih baik bagimu (HR Ahmad. Berkata Syaikh Syu’aib Al Arnauth : Sanad Hadits Shahih).

Ada kisah salaf yang sangat menyentuh perasaan tentang seseorang yang meninggalkan sesuatu karena Allah dan diapun mendapatkan ganti yang lebih baik.

Berkata Abul Mudzafar rahimahullah :

حَكَى ابْنُ عَقِيْل عَنْ نفسه قال: حججت، فالتقطت عقد لؤلؤ فيه خيط أَحْمَرَ، فَإِذَا شَيْخٌ أَعْمَى يَنشُدُه، وَيبذُلُ لِمُلْتَقِطِهِ مائَة دِيْنَارٍ، فَرددتُهُ عَلَيْهِ، فَقَالَ: خُذِ الدَّنَانِيْر، فَامتنعتُ. وَخَرَجتُ إِلَى الشَّامِ، وَزُرْتُ القُدْس، وَقصدتُ بَغْدَادَ، فَأَويتُ بِحَلَبَ إِلَى مَسْجِد وَأَنَا بردَانُ جَائِع، فَقَدَّمُوْنِي، فَصَلَّيْتُ بِهِم، فَأَطعمُوْنِي، وَكَانَ أَوَّلَ رَمَضَان، فَقَالُوا: إِمَامُنَا تُوُفِّيَ, فَصَلِّ بِنَا هَذَا الشَّهْرَ، فَفَعَلتُ، فَقَالُوا: لإِمَامِنَا بنتٌ، فَزُوِّجْتُ بِهَا، فَأَقَمْتُ مَعَهَا سَنَة، وَأَوْلَدْتُهَا وَلداً ذكراً، فَمَرِضَتْ فِي نَفَاسهَا، فَتَأَمَّلتُهَا يَوْماً فَإِذَا فِي عُنُقِهَا العقدُ بِعَيْنِهِ بِخَيطِهِ الأَحْمَر، فَقُلْتُ لَهَا: لِهَذَا قِصَّة، وَحكيتُ لَهَا، فَبكت، وَقَالَتْ: أَنْتَ هُوَ وَاللهِ، لَقَدْ كَانَ أَبِي يَبْكِي، وَيَقُوْلُ: اللَّهُمَّ ارزُقْ بِنْتِي مِثْل الَّذِي رَدَّ العقدَ عَلِيَّ، وَقَدِ اسْتَجَاب اللهُ مِنْهُ، ثُمَّ مَاتَتْ، فَأَخَذتُ العِقدَ وَالمِيْرَاثَ، وَعُدْتُ إِلَى بَغْدَادَ.

Ibnu ‘Aqil menceritakan kisah dirinya, saat aku sedang memunaikan ibadah haji, aku menemukan kalung permata dengan benang warna merah. Tiba-tiba ada seorang tua yang buta sedang mengumumkan berita kehilangan permata tersebut, yang barang siapa menemukannya akan di ganti dengan hadiah uang sebesar 100 dinar, maka akupun menyerahkan permata itu kepadanya. Ia mengatakan ambilah 100 dinar ini sebagai hadiah. Akupun menolaknya (pemberian itu) Lalu Aku berangkat ke syam ziarah ke Baitul Maqdis yang tujuanku adalah mau berangkat ke Bagdad. Singgah di Halab di sebuah masjid dalam keadaan aku kedinginan, perutpun lapar yang amat sangat. Tiba waktu shalat masyarakat menyuruhku jadi imam shalat. Akhirnya aku shalat mengimami mereka kebetulan saat itu hari pertama di bulan Ramadhan. Mereka mengatakan Imam kami meninggal dunia maka kami mohon engkau mengimami kami di bulan ramadhan ini”. Akupun menyetujuinya. Mereka mengatakan lagi, “kebetulan Imam kami ini punya anak wanita, kami bermaksud menikahkan engkau dengannya” lagi-lagi akupun menyetujuinya. Aku menikah dengannya, dan hidup bersamanya dan masyarakatnya selama setahun sampai di karuniai anak laki-laki. Ia pun sakit setelah melahirkan anakku. Suatu hari aku perhatikan istriku, tiba-tiba aku teringat dengan kalung permata dengan benang warna merah yang aku temukan ketika aku haji melingkar indah di lehernya. maka aku ceritakan kisah ku tentang kalung ini seluruhnya. Ia pun menangis haru, seraya mengatakan Demi Allah ternyata engkau orangnya, Ayahku menangisi mu sambil berdo’a Ya Allah karuniakan lah putri ku suami seperti orang yang menemukan dan mengembalikan kalung permataku ini. Demi Allah Allah telah mengijabah do’a ayahku. Tidak lama kemudian ia pun wafat, akhirnya akupun kembali ke Bagdad setelah mendapatkan kalaung permata dan seluruh harta warisan istreiku.. Imam Ad-Dzahabi di dalam kitab Siyar A’lamin Nubala 14/332 No.4682 )

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadah Dimalam Nisfu Sya'ban

Royalti Di Akhirat

KENAPA KAMU DIAM?