Dusta Bukan Sifat Seorang Mukmin
DUSTA BUKAN SIFAT SEORANG MUKMIN
Oleh : Abu Fadhel Majalengka
Seorang mukmin, bisa saja berbuat berbagai macam maksiat atau berbuat berbagai macam aib, namun seorang mukmin tidak akan khianat dan berdusta. Kalau sudah berdusta dan khianat, maka keimanannya dipertanyakan.
Berkata Sa'ad Bin Abi Waqqas radhiyallahu anhu :
المؤمن يطبع على الخلال كلها إلا الخيانة والكذب"
“Seorang mukmin dapat bertabiat dengan semua aib, kecuali khianat dan dusta” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Iman no. 81; shahih].
Mengenai dusta, para ulama ahlussunnah wal jamaah mendefinisikan, bahwa dusta itu adalah mengabarkan sesuatu yang berbeda dengan kenyataannya. Misalkan dia kabarkan A, padahal kenyataannya B, atau dia kabarkan B padahal kenyataannya A.
Berkata Imam Nawawi rahimahullah :
واعلم أن مذهب أهل السنة أن الكذب هو الإخبار عن الشيء بخلاف ما هو، سواء تعمدت ذلك أم جهلته، لكن لا يأثم في الجهل، وإنما يأثم في العمد
“Dan ketahuilah, bahwasanya madzhab AHLUSSUNNAH itu menyatakan, dusta itu adalah mengabarkan sesuatu yang berbeda dengan kenyataannya. Sama saja, apakah engkau lakukan dengan sengaja atau engkau lakukan karena ketidaktahuan (tidak sengaja). Akan tetapi, tidak berdosa jika dikarenakan ketidaktahuan, dan hanya berdosa jika dilakukan karena kesengajaan” [Al-Adzkaar, hal. 460).
Berkata Ibnu Hajar rahimahullah :
أن الكذب هو الإخبار بالشيء على خلاف ما هو عليه سواء كان عمدا أم خطأ
“Bahwasannya dusta itu adalah mengabarkan sesuatu yang berbeda dengan kenyataannya, sama saja apakah dilakukan dengan sengaja atau karena keliru (tidak sengaja)” [Fathul-Baariy, 1/201].
Di dalam periwayatan hadits, seorang yang menyimpang atau ahlul bid'ah masih diterima periwayatannya selama dia terkenal kejujurannya, namun sebaliknya walaupun dia ahlussunnah jika masyhur kedustaannya maka tidak diterima periwayatannya.
Begitu pula seorang pendusta, disamping tidak diterima periwayatannya, juga tidak boleh duduk mengambil ilmu darinya. Walaupun mungkin terkenal dengan keilmuan dan hafalannya.
Berkata Imam Malik bin Anas rahimahullah :
«لا يؤخذ العلم عن أربعةٍ: سفيهٍ يُعلن السفه وإن كان أروى الناس، وصاحب بدعةٍ يدعو إلى هواه، ومن يكذب في حديث الناس وإن كنتُ لا أتَّهمه في الحديث، وصالحٌ عابدٌ فاضلٌ إذا كان لا يحفظ ما يحدِّث به». [«سير أعلام النبلاء» للذهبي (7/ 162)]
Ilmu tidak boleh diambil dari empat orang :
Orang bodoh yang nyata kebodohannya
Shahibu hawa` (pengikut hawa nafsu) yang mengajak agar mengikuti hawa nafsunya
Orang yang dikenal dustanya dalam pembicaraan-pembicaraannya dengan manusia, walaupun dia tidak pernah berdusta atas (nama) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Orang yang mempunyai keutamaan dan keshalehan, namun tidak peduli dengan hadits yang ia sampaikan.(Shahih Jami Bayanil ilmi hal 304)
https://abufadhelmajalengka.blogspot.com/2019/12/pendusta.html
Oleh : Abu Fadhel Majalengka
Seorang mukmin, bisa saja berbuat berbagai macam maksiat atau berbuat berbagai macam aib, namun seorang mukmin tidak akan khianat dan berdusta. Kalau sudah berdusta dan khianat, maka keimanannya dipertanyakan.
Berkata Sa'ad Bin Abi Waqqas radhiyallahu anhu :
المؤمن يطبع على الخلال كلها إلا الخيانة والكذب"
“Seorang mukmin dapat bertabiat dengan semua aib, kecuali khianat dan dusta” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Iman no. 81; shahih].
Mengenai dusta, para ulama ahlussunnah wal jamaah mendefinisikan, bahwa dusta itu adalah mengabarkan sesuatu yang berbeda dengan kenyataannya. Misalkan dia kabarkan A, padahal kenyataannya B, atau dia kabarkan B padahal kenyataannya A.
Berkata Imam Nawawi rahimahullah :
واعلم أن مذهب أهل السنة أن الكذب هو الإخبار عن الشيء بخلاف ما هو، سواء تعمدت ذلك أم جهلته، لكن لا يأثم في الجهل، وإنما يأثم في العمد
“Dan ketahuilah, bahwasanya madzhab AHLUSSUNNAH itu menyatakan, dusta itu adalah mengabarkan sesuatu yang berbeda dengan kenyataannya. Sama saja, apakah engkau lakukan dengan sengaja atau engkau lakukan karena ketidaktahuan (tidak sengaja). Akan tetapi, tidak berdosa jika dikarenakan ketidaktahuan, dan hanya berdosa jika dilakukan karena kesengajaan” [Al-Adzkaar, hal. 460).
Berkata Ibnu Hajar rahimahullah :
أن الكذب هو الإخبار بالشيء على خلاف ما هو عليه سواء كان عمدا أم خطأ
“Bahwasannya dusta itu adalah mengabarkan sesuatu yang berbeda dengan kenyataannya, sama saja apakah dilakukan dengan sengaja atau karena keliru (tidak sengaja)” [Fathul-Baariy, 1/201].
Di dalam periwayatan hadits, seorang yang menyimpang atau ahlul bid'ah masih diterima periwayatannya selama dia terkenal kejujurannya, namun sebaliknya walaupun dia ahlussunnah jika masyhur kedustaannya maka tidak diterima periwayatannya.
Begitu pula seorang pendusta, disamping tidak diterima periwayatannya, juga tidak boleh duduk mengambil ilmu darinya. Walaupun mungkin terkenal dengan keilmuan dan hafalannya.
Berkata Imam Malik bin Anas rahimahullah :
«لا يؤخذ العلم عن أربعةٍ: سفيهٍ يُعلن السفه وإن كان أروى الناس، وصاحب بدعةٍ يدعو إلى هواه، ومن يكذب في حديث الناس وإن كنتُ لا أتَّهمه في الحديث، وصالحٌ عابدٌ فاضلٌ إذا كان لا يحفظ ما يحدِّث به». [«سير أعلام النبلاء» للذهبي (7/ 162)]
Ilmu tidak boleh diambil dari empat orang :
Orang bodoh yang nyata kebodohannya
Shahibu hawa` (pengikut hawa nafsu) yang mengajak agar mengikuti hawa nafsunya
Orang yang dikenal dustanya dalam pembicaraan-pembicaraannya dengan manusia, walaupun dia tidak pernah berdusta atas (nama) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Orang yang mempunyai keutamaan dan keshalehan, namun tidak peduli dengan hadits yang ia sampaikan.(Shahih Jami Bayanil ilmi hal 304)
https://abufadhelmajalengka.blogspot.com/2019/12/pendusta.html
Komentar
Posting Komentar