Mengganti Hukum Allah
MENGGANTI HUKUM ALLAH
Allah Ta'ala menurunkan syariatnya untuk diikuti dan mencampakkan syariat-syariat yang diperintahkan syetan-syetan dari jenis jin dan manusia. Yang menghalalkan apa-apa yang Allah dan RasulNya haramkan. Dan mengharamkan apa-apa yang Allah dan RasulNya halalkan. Membolehkan apa-apa yang Allah dan RasulNya melarangnya. Dan melarang apa-apa yang Allah dan RasulNya membolehkannya.
Sebagian orang tidak suka dengan diterapkannya hukum-hukum Allah. Dan sebagian orang pun berusaha mengganti hukum Allah yang sudah diterapkan selama ini.
Allah Ta'ala berfirman :
أَمۡ لَهُمۡ شُرَكَٰٓؤُاْ شَرَعُواْ لَهُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا لَمۡ يَأۡذَنۢ بِهِ ٱللَّهُۚ ...
Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang menetapkan syariat agama bagi mereka yang tidak diizinkan (diridhai) Allah?....(Asy-Syura 21).
Di dalam tafsir al Muyassar disebutkan tentang ayat ini :
أي بل ألهؤلاء المشركين بالله شركاء في شركهم وضلالتهم , ابتدعوا لهم من الدين والشرك ما لم يأذن به الله ؟ ( التفسير الميسر )
Yakni, apakah orang-orang yang menyekutukan Allah itu memiliki sekutu-sekutu dalam kesyirikan dan kesesatan mereka, yang mereka membuat-buat perkara baru dalam agama dan kesyirikan yang tidak diijinkan oleh Allah? (Tafsir Al-Muyassar).
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah :
أي : هم لا يتبعون ما شرع الله لك من الدين القويم ، بل يتبعون ما شرع لهم شياطينهم من الجن والإنس ، من تحريم ما حرموا عليهم ، من البحيرة والسائبة والوصيلة والحام ، وتحليل الميتة والدم والقمار ، إلى نحو ذلك من الضلالات والجهالة الباطلة ، التي كانوا قد اخترعوها في جاهليتهم ، من التحليل والتحريم ، والعبادات الباطلة ، والأقوال الفاسدة
Yakni mereka tidak mau mengikuti apa yang telah disyariatkan oleh Allah kepadamu berupa agama yang lurus, bahkan mereka mengikuti apa yang telah diperintahkan oleh setan-setan mereka dari kalangan jin dan manusia, seperti mengharamkan apa yang dihalalkan bagi mereka, misalnya hewan bahirah, saibah, wasilah, dan ham. Dan mereka menghalalkan memakan bangkai, darah, berjudi, dan kesesatan-kesesatan lainnya. Itulah kejahilan yang batil yang telah mereka ada-adakan di masa Jahiliahnya, seperti menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, dan melakukan penyembahan-penyembahan yang batil yang mengusahakan harta yang haram. (Tafsir Ibnu Katsir).
Seorang muslim ahlussunnah senantiasa berdoa dan terus berusaha memperbaiki keadaan umat ini, agar Allah Ta'ala memberikan pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk kepada kebenaran dengan perintah Allah, menyeru kepada kebaikan, memerintahkan kepada kebajikan, serta mencegah kemungkaran.
Allah Ta'ala berfirman :
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami. (As-Sajdah: 24)
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah :
أي : لما كانوا صابرين على أوامر الله وترك نواهيه وزواجره وتصديق رسله واتباعهم فيما جاؤوهم به ، كان منهم أئمة يهدون إلى الحق بأمر الله ، ويدعون إلى الخير ، ويأمرون بالمعروف ، وينهون عن المنكر
Yaitu setelah mereka bersabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah, meninggalkan larangan-larangan-Nya, membenarkan rasul-rasul-Nya, dan mengikuti petunjuk yang dibawakan oleh para rasul kepada mereka, maka jadilah di antara mereka pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk kepada kebenaran dengan perintah Allah, menyeru kepada kebaikan, memerintahkan kepada kebajikan, serta mencegah kemungkaran. (Tafsir Ibnu Katsir).
Berkata Ibnu Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah :
وأصل كل فتنة إنما هو من تقديم الرأي على الشرع والهوى على العقل
فالأول : أصل فتنة الشبهة والثاني : أصل فتنة الشهوة
ففتنة الشبهات تدفع باليقين وفتنة الشهوات تدفع بالصبر ولذلك جعل سبحانه إمامة الدين منوطة بهذين الأمرين فقال : وجعلنا منهم أئمة يهدون بأمرنا لما صبروا وكانوا بآياتنا يوقنون
فدل على أنه بالصبر واليقين تنال الإمامة في الدين
وجمع بينهما أيضا في قوله : وتواصوا بالحق وتواصوا بالصبر فتواصوا بالحق الذي يدفع الشبهات وبالصبر الذي يكف عن الشهوات
"Asal semua fitnah (ujian) adalah mengedepankan pikiran daripada syariat, serta mengedepankan hawa nafsu daripada akal sehat.
Maka yang pertama (pikiran) adalah asal dari fitnah syubhat. Sedang yang kedua (hawa nafsu) adalah asal dari fitnah syahwat.
Fitnah syubhat bisa dihilangkan dengan keyakinan, sedangkan fitnah syahwat dihilangkan dengan kesabaran.
Karena itu, Allah subhanahu wata'ala menjadikan kepemimpinan agama dilandasi dua hal ini. Allah berfirman yang artinya, "Kami jadikan di antara mereka (Bani Israil) pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami. Saat mereka bersabar dan mereka yakin dengan ayat-ayat Kami." [QS. As Sajdah:24]. Ini menunjukkan bahwa dengan kesabaran dan keyakinan akan didapatkan kepemimpinan dalam agama.
Allah ta'ala juga telah menyebutkan keduanya dalam firman-Nya, "Dan mereka saling berwasiat dengan kebenaran dan saling berwasiat dengan kesabaran" [QS. Al 'Ashr:3]
Saling berwasiat dengan kebenaran menghilangkan syubhat dan saling berwasiat dengan kesebaran mencegah dari syahwat." (Ighatsatul Lahafan).
Jika ada pemimpin yang membuat sebuah aturan atau perundang-undangan yang menghalalkan apa-apa yang Allah dan RasulNya haramkan atau mengharamkan apa-apa yang Allah dan RasulNya halalkan, lantas kita mengikuti saja, maka inilah salah satu bentuk kesyirikan.
Seorang sahabat yang bernama ‘Adi bin Hatim radhiyallahu ’anhu, awalnya dia seorang nasrani, ketika Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam membacakan ayat al Qur’an dalam surat at Taubah ayat yang ke 31.
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّه
Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.
Maka Adi bin Hatim radhiyallahu ’anhu berkata kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam: “Ya Rasulullah, sesungguhnya mereka tidak menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan.”
Maka Rasulullah shallallahu ’alahi wa sallam bersabda :
أَجَلْ وَلَكِنْ يُحِلُّونَ لَهُمْ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فَيَسْتَحِلُّونَهُ وَيُحَرِّمُونَ عَلَيْهِمْ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فَيُحَرِّمُونَهُ فَتِلْكَ عِبَادَتُهُمْ لَهُمْ
Ya, akan tetapi mereka (rahib-rahib dan alim ulama) menghalalkan apa-apa yang Allah haramkan, kemudian mereka mengikuti yang mereka halalkan. Dan mereka (rahib-rahib dan alim ulama) mengharamkan apa-apa yang Allah halalkan, lalu mereka mengikuti mengharamkannya, maka itu bentuk penyembahan mereka kepada rahib-rahib dan alim ulama mereka. (HR. Tirmidzi dan Al Baihaqi. Berkata syekh Al Albani – Hadits Hasan. Tafsir Ibnu Katsir surat at Taubah ayat yang ke 31)
AFM
Copas dari berbagai sumber
Komentar
Posting Komentar