TEGAKKAN HUJJAH TERLEBIH DAHULU
TEGAKKAN HUJJAH TERLEBIH DAHULU
Banyak dalil dalam alquran dan assunnah berupa ancaman-ancaman. Seperti yang berbuat demikian dikatakan kafir, fasik dan yang lainnya. Dan ini berlaku secara umum, tidak tunjuk hidung, bahwa kamu kafir, fasik dan yang lainnya. Karena hal ini memerlukan syarat-syarat dan tegaknya hujjah terlebih dahulu. Jangan sampai seseorang tersebut melakukannya karena kebodohan atau ketidaktahuannya.
Berkata Imam Syafii rahimahullah tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah yang ditetapkan dalam alquran dan assunnah,
"فإنْ خالف بعد ذلك بعد ثبوت الحجة عليه، فهو كافر، فأمَّا قبْل ثبوت الحجة عليه، فمعذور بالجهل. مختصر العلو" ص 177
Maka jika menyelisihi yang demikian itu setelah ditetapkan hujjah atasnya, maka dia kafir. Maka adapun sebelum ditetapkan hujjah atasnya, maka diberi udzur karena kebodohan. Mukhtashor Al Uluw 117. Sumber : http://iswy.co/e1570k
Berkata asy-Syaikh Sulaiman bin Samhaan rahimahumullah ,
ومسألة تَكْفِيرِ المُعَيَّن مسألة معروفة، إذا قال قولاً يكون القول به كفرًا، فيقال: مَن قال بهذا القول فهو كافِر؛ ولكن الشخص المُعَيَّن إذا قال ذلك لا يُحْكَم بكفره، حتى تقومَ عليه الحجة التي يكفر تاركُها"
Dan masalah takfir mu'ayyan (mengkafirkan secara individu) masalah yang sudah makruf. Apabila dia berkata dengan perkataan yang ada padanya kekufuran, maka dikatakan, barangsiapa berkata dengan perkataan ini maka dia kafir. Akan tetapi orang (individu) tertentu, apabila dia berkata seperti itu tidak dihukumi kafir, sampai tegak atasnya hujjah, yang meninggalkan (hujjah yang telah disampaikan), jatuh pada kekafiran. (Ad-Duraar as-saniyah 10/432-433). Sumber : http://iswy.co/e1570k
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah,
فَإِنَّ نُصُوصَ ” الْوَعِيدِ ” الَّتِي فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَنُصُوصَ الْأَئِمَّةِ بِالتَّكْفِيرِ وَالتَّفْسِيقِ وَنَحْوِ ذَلِكَ لَا يُسْتَلْزَمُ ثُبُوتُ مُوجَبِهَا فِي حَقِّ الْمُعَيَّنِ إلَّا إذَا وُجِدَتْ الشُّرُوطُ وَانْتَفَتْ الْمَوَانِعُ
Maka sesungguhnya nash nash ancaman yang ada dalam Al Kitab) al-Quran), sunnah dan ucapan para imam yang mengandung takfir (pengkafiran), tafsik (pemfasikan) dan yang semisalnya tidaklah melazimkan kandungan nash-nash tersebut pasti berlaku jika diterapkan secara spesifik pada individu, kecuali berbagai syarat (pengkafiran, pemfasikan dll) telah terpenuhi dan tidak ditemukan satu pun faktor penghambat.” (Majmu’ al-Fataawa 10/371). Sumber :
: http://iswy.co/e1570k
Dan berkata Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah,
إنَّ التكفير له شروط وموانعُ، قد تنتفي في حقِّ المعيَّن، وإن تكفير المطلَق لا يستلزم تكفيرَ المُعَيَّن، إلاَّ إذا وُجِدَتِ الشروط، وانتفتِ الموانع، يُبَيِّن هذا أنَّ الإمام أحمدَ وعامَّة الأئمة الذين أطلقوا هذه العمومات - أي: مَن قال أو فعل كذا، فقد كفر - لم يُكَفِّروا أكثر مَن تَكَلَّم بهذا الكلام بعينِه.
Sesungguhnya takfir baginya syarat-syarat dan penghalang-penghalang, yang kadang tidak terpenuhi secara individu. Dan bahwasannya takfir mutlak (pengkafiran secara umum) tidak mewajibkan (mengharuskan) takfir mu’ayyan (pengkafiran secara individu), kecuali apabila didapatkan syarat-syarat dan hilangnya penghalang-penghalang. Ini dijelaskan bahwa Al-Imaam Ahmad dan kebanyakan para imam yang memutlakkan keumuman-keumuman ini, tidaklah mengkafirkan mayoritas orang yang mengatakan perkataan (kufur) ini secara individu.Majmu Fatawa 12/487. Sumber : http://iswy.co/e1570k
Dan berkata Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah,
فهذه المقالات هي كفر لكن ثبوت التكفير في حق الشخص المعين موقوف على قيام الحجة التي يكفر تاركها وإن أطلق القول بتكفير من يقول ذلك فهو مثل إطلاق القول بنصوص الوعيد مع أن ثبوت حكم الوعيد في حق الشخص المعين موقوف على ثبوت شروطه وانتفاء موانعه ولهذا أطلق الأئمة القول بالتكفير مع أنهم لم يحكموا في عين كل قائل بحكم الكفار
Maka berbagai perkataan ini adalah kekufuran, akan tetapi penetapan pengkafiran secara pasti kepada seorang person tertentu berpatokan pada penegakan hujjah, yang pelakunya dihukumi kafir jika meninggalkan kandungan hujjah tersebut. Hal itu seperti penggunaan ungkapan secara mutlak yang terdapat dalam nash-nash ancaman padahal kepastian ancaman pada nash-nash tersebut berlaku secara spesifik pada diri seseorang harus berpatokan pada terpenuhinya beberapa syarat dan ketiadaan faktor penghambat. Oleh karena itu, para imam melakukan takfir secara mutlak terhadap perkataan yang mengandung kekufuran, sementara mereka tidak serta merta memvonis kafir secara spesifik terhadap setiap orang yang mengucapkannya.: http://iswy.co/e1570k
Syeikh Ibnu Baaz rahimahullah pernah ditanya :
إن رأيت أحداً يدعو صاحب القبر ويستغيث به , فهو مصاب بالشرك فهل أدعوه على أنه مسلم , أم أدعوه على أنه مشرك , إذا أردت أن أدعوه إلى الله عز وجل , وأن أبين له ؟
“Jika aku melihat seseorang, dia berdoa kepada penghuni kubur dan beristighatsah kepadanya, maka ia terjatuh pada kesyirikan, apakah aku menyeru kepadanya dalam kapasitasnya sebagai seorang yang muslim ataukah seorang musyrik, jika aku ingin berdakwah kepada Allah ‘azza wa jalla dan aku akan menjelaskan kepadanya ?”.
Beliau menjawab :
ادعه بعبارة أخرى , لا هذه ولا هذه , قل له : يا فلان يا عبدالله عملك هذا الذي فعلته شرك , وليس عبادة هو عمل المشركين الجاهلين , عمل قريش وأشباه قريش ؛ لأن هنا مانعاً من تكفيره ؛ ولأن فيه تنفيره , أول ما تدعوه
Serulah ia dengan ungkapan yang lain, tidak ini (Muslim) dan tidak ini (musyrik). Katakan kepadanya : "Wahai Fulaan, wahai hamba Allah, amalmu ini yang kamu perbuat adalah kesyirikan, bukan ibadah. Itu adalah amalan orang-orang musyrik yang bodoh. Amalan orang-orang Quraisy dan yang semisal Quraisy. Karena sesungguhnya disini ada penghalang dari pengkafirannya. Dan karena sesungguhnya padanya (mengkafirkannya) akan ada penolakan darinya, jika ini yang pertama kali kamu seru kepadanya.
ولأن تكفير المعين غير العمل الذي هو شرك , فالعمل شرك , ولا يكون العامل مشركاً , فقد يكون المانع من تكفيره جهله أو عدم بصيرته على حد قول العلماء. وأيضاً في دعوته بالشرك تنفير , فتدعوه باسمه , ثم تبين له أن هذا العمل شرك.
Dan karena sesungguhnya pengkafiran individu adalah permasalahan lain dari amalanya yang mengandung kesyirikan. Maka amalan itu syirik, akan tetapi pelakunya tidak mesti musyrik. Kadang terdapat penghalang dalam pengkafiran terhadapnya yaitu kebodohannya atau ketiadaan bashiirahnya (pengetahuan) terhadap definisi perkataan ulama. Selain itu, menyerunya dengan cap kesyirikan akan membuatnya lari. Maka, serulah ia dengan namanya, kemudian jelaskan kepadanya bahwa perbuatan tersebut adalah kesyirikan”. (Al Fawaid Ilmiyah Min Ad Durus Bajiyah).
Jika sudah nyampai dalil dan hujjah kepadanya, sudah diterangkan dan dijelaskan kepadanya, lantas dia masih ngeyel, membantah dan tetap melakukannya, maka dia telah kafir.
Berkata Syeikh Ibnu Baaz rahimahullah :
إذا قامت عليه الأدلة والحجة الدالة على كفره ووضح له السبيل ثم أصر فهو كافر.
Jika telah tegak atasnya dalil dan hujjah atas kekafirannya dan diterangkan kepadanya jalan (yang benar), kemudian dia tetap menjalankannya, maka dia kafir.
لكن بعض العلماء يرى أن من وقعت عنده بعض الأشياء الشركية وقد يكون ملبساً عليه وقد يكون جاهلاً , ولا يعرف الحقيقة فلا يكفره ,حتى يبين له ويرشده إلى أن هذا كفر وضلال , وأن هذا عمل المشركين الأولين , وإذا أصر بعد البيان يحكم عليه بكفر معين.
Akan tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa siapa saja yang terjatuh dalam sebagian perkara kesyirikan, kadang ada kesamaran atasnya (perkara kesyirikan itu), kadang karena bodoh dan tidak tahu hakikatnya, maka dia tidak kafir. Sampai dijelaskan dan ditunjukkan kepadanya bahwa perkara ini kufur dan sesat. Sesungguhnya ini amalan orang-orang musyrik yang terdahulu. Dan apabila tetap mengerjakannya setelah adanya penjelasan, dijuluki atasnya dengan kafir individu. (Al Fawaid Ilmiyah Min Ad Durus Bajiyah).
AFM
Copas dari berbagai sumber
Komentar
Posting Komentar