Kitabul Jami'

KITABUL JAMI'
(Materi Keenam Hadits Pertama)

Oleh : Abu Fadhel Majalengka

MENGIRINGI JENAZAH

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

“حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ: إِذَا لَقِيْتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْهُ، وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ الله فَسَمِّتْهُ، وَإِذاَ مَرِضَ فَعُدْهُ، وَإِذاَ مَاتَ فَاتْـبَعْهُ.” رَوَاهُ مُسلِمٌ.

“Hak seorang muslim terhadap sesama muslim itu ada enam: 1. Jika kamu bertemu dengannya maka ucapkanlah salam, 2. Jika ia mengundangmu maka penuhilah undangannya, 3. Jika ia meminta nasihat kepadamu maka berilah ia nasihat, 4. Jika ia bersin dan mengucapkan ‘Alhamdulillah’ maka do‘akanlah ia (dengan ‘Yarhamukallah), 5. Jika ia sakit maka jenguklah dan 6. Jika ia meninggal dunia maka iringilah jenazahnya.” (Riwayat Muslim).

Jika ada seorang muslim meninggal dunia, maka hendaklah berlomba mengurus jenazahnya. Dari mulai memandikan, mengkafani, menshalatkan, mengiringi jenazahnya dan menguburkannya.

Terkhusus menshalatkan dan mengiringi jenazahnya ke pekuburan, mengandung keutamaan dan pahala yang besar. Pahala sebesar gunung yang besar atau sebesar gunung uhud.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: 

مَنْ شَهِدَ الْجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهَا فَلَهُ قِيْرَاطٌ وَمَنْ شَهِدَهَا حَتَّى تُدْفَنَ فَلَهُ قِيْرَاطَانِ قِيْلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيمَيْنِ

Barangsiapa yang turut menyaksikan pengurusan jenazah hingga ia mensholatinya, maka baginya pahala sebesar satu qirath. Sedangkan siapa yang turut menyaksikan pengurusannya hingga jenazah itu dimakamkan, maka baginya pahala sebesar dua qirath. Lalu ditanyakanlah, Apakah itu dua qirath? beliau menjawab: Seperti dua gunung yang besar.  (Riwayat Shahih Muslim).

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ صَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ وَلَمْ يَتْبَعْهَا فَلَهُ قِيْرَاطٌ فَإِنْ تَبِعَهَا فَلَهُ قِيْرَاطَانِ قِيْلَ وَمَا الْقِيْرَاطَانِ قَالَ أَصْغَرُهُمَا مِثْلُ أُحُدٍ

Barangsiapa yang mensholatkan jenazah, namun ia tidak sampai ikut mengantarnya maka baginya pahala satu qirath. Dan jika ia turut mengantarnya, maka baginya pahala dua qirath. Kemudian ditanyakanlah, Seperti apakah dua qirath itu? beliau menjawab: Yang paling kecil di antaranya adalah seperti gunung uhud. (Riwayat Shahih Muslim).

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:

مَنْ صَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ فَلَهُ قِيْرَاطٌ وَمَنِ اتَّبَعَهَا حَتَّى تُوْضَعَ فِي الْقَبْرِ فَقِيْرَاطَانِ قَالَ قُلْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ وَمَا الْقِيْرَاطُ قَالَ مِثْلُ أُحُدٍ

Barangsiapa yang menshalatkan jenazah, maka baginya pahala satu qirath, dan siapa yang mengantarnya hingga jenazah itu di letakkan di liang kubur, maka baginya pahala dua qirath. Saya bertanya, Wahai Abu Hurairah, seperti apakah dua qirath itu? ia menjawab, Yaitu seperti gunung Uhud. (Riwayat Shahih Muslim).

Bagi yang mengiringi jenazahnya, hendaklah jangan duduk sebelum jenazah diletakkan di lubang kubur.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا تَبِعْتُمُ الْجَنَازَةَ فَلَا تَجْلِسُوْا حَتَّى تُوْضَعَ

“Jika kalian mengikuti jenazah, janganlah duduk sampai jenazah diletakkan”. (Riwayat Bukhari Muslim).

Dan bagi wanita dimakruhkan untuk ikut serta mengiringi jenazah. Karena kadang wanita tidak bisa mengontrol emosinya, terutama keluarga si mayit, mungkin dia akan meraung-raung menangis, atau mencakar-cakar tanah pekuburan, memukul tubuhnya, merobek pakaiannya, bercampur baur dengan laki-laki dan kemungkaran lainnya.

Berkata Ummu Athiyah radhiyallahu anha :

نُهِينَا عَنِ اتِّبَاعِ الْجَنَائِزِ ، وَلَمْ يُعْزَمْ عَلَيْنَا

“Kami (para wanita) dilarang mengiringi jenazah. Namun larangannya tidak terlalu keras bagi kami.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Berkata Ibnu Hajar rahimahullah :

قوله ولم يعزم علينا أي ولم يؤكد علينا في المنع كما أكد علينا في غيره من المنهيات فكأنها قالت كره لنا أتباع الجنائز من غير تحريم

“Ucapan beliau (Ummu ‘Athiyyah): (dan tidak menguatkan atas kami) maksudnya adalah tidak menegaskan larangan sebagaimana beliau tegaskan pada larangan-larangan yang lain, sepertinya beliau (Ummu ‘Athiyyah) berkata: Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci mengantar jenazah bagi wanita tanpa mengharamkan.” (Fathul Bary 3/145).

Berkata An-Nawawy rahimahullah :

واما النساء فيكره لهن اتباعها ولا يحرم هذا هو الصواب

“Adapun para wanita maka makruh mengantar jenazah dan tidak diharamkan, dan ini yang benar.” (Al-Majmu’ 5/236).

Ketika mengiringi jenazah hendaklah jangan ribut, sekalipun itu bacaan alquran atau dzikir-dzikir.

Berkata Qois bin 'Abad radhiallahu ‘anhu :

كانَ أصحابُ رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ يَكْرَهونَ رفعَ الصَّوتِ عندَ الجَنائزِ وعِندَ القتالِ وعندَ الذِّكرِ

"Para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci mengeraskan suara saat mengantar jenazah, mengeraskan suara saat berperang, mengeraskan suara saat berdzikir". (. Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf ).

Berkata Imam Nawawi rahimahullah :

واعلم أن الصواب المختار ما كان عليه السلف رضي الله عنهم: السكوت في حال السير مع الجنازة ، فلا يرفع صوتا بقراءة ، ولا ذكر ، ولا غير ذلك ، والحكمة فيه ظاهرة ، وهي أنه أسكن لخاطره ، وأجمع لفكره فيما يتعلق بالجنازة ، وهو المطلوب في هذا الحال فهذا هو الحق ، ولا تغترن بكثرة من يخالفه

“Dan ketahuilah bahwa yang benar dan yang dipilih (diamalkan) para Salaf adalah: "Diam saat mengiring jenazah, tidak mengeraskan suara baik itu berupa ayat Qur'an, dzikir dan selain dari itu." Dan hikmah dari ini semua itu jelas, yakni lebih mententramkan pikiran dan lebih berkonsentrasi dengan apa yang terkait dengan jenazah. Dan memang beginilah kondisi yang mesti ada saat mengiringi jenazah. Maka inilah yang benar. Dan jangan sampai kamu tertipu dengan banyaknya orang yang menyelisihinya“. (Al Adzkaar hal: 160).

Pembahasan hadits pertama dalam Kitabul Jami' Bulughul Maram telah selesai, mudah-mudahan kita semua bisa mengamalkan keenam hak sesorang muslim atas muslim lainnya, yakni memberi salam kalau berjumpa, memenuhi undangan, memberi nasehat, mengucapkan YARHAMUKALLAH apabila dia bersin dan mengucapkan ALHAMDULILLAH, menjenguknya kalau sakit dan mengantar jenazahnya sampai ke pekuburan.

Jangan sampai mengamalkan amalan diatas hanya kepada kelompoknya, jamaahnya, ormasnya, partainya atau teman sepengajiannya saja. Kalau demikian, jatuhlah kita pada Hizbiyyah. Memang ada larangan dari ulama untuk memboikot ahlul bid'ah, namun itupun khusus kepada tokoh-tokohnya yang menyebarkan dan mengajarkan kebid'ahannya. Bukan orang awamnya ahlul bid'ah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadah Dimalam Nisfu Sya'ban

Royalti Di Akhirat

KENAPA KAMU DIAM?