Akhir Ramadhan
MENINGKATKAN AMALIAH IBADAH DI AKHIR RAMADHAN
Oleh : Abu Fadhel Majalengka
Sepuluh Terakhir Bulan Ramadhan
Di sepuluh akhir ramadhan, Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu anhum menghidupkan malamnya dengan memperbanyak ibadah. Membangunkan keluarga mereka dan menjauhi isteri-iisteri mereka untuk lebih fokus dan konsentrasi memperbanyak amaliah ibadah.
Aisyah radhiyallahu anha berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ الأَوَاخِرُ مِنْ رَمَضَانَ أَحْيَا اللَّيْلَ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ ، وَشَدَّ الْمِئْزَرَ (رواه متفق عليه).
"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila telah masuk sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan, maka beliau menghidup-hidupkan malamnya yakni melakukan ibadat pada malam harinya, juga membangunkan isterinya, bersungguh-sungguh dalam ibadat dan mengeraskan ikat pinggangnya (maksudnya adalah sebagai kata kinayah menjauhi berkumpul dengan isterinya)." (HR. Bukhari dan Muslim).
Mereka pun lebih bersungguh-sungguh beribadah, melebihi dan menambah ibadah yang dilakukan sebelumnya. Menambah lagi ketaatan dalam rangka meraih malam lailatul qadar.
Aisyah radhiyallahu anha berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.
Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di sepuluh terakhir (bulan Ramadhan) lebih bersungguh-sungguh tidak seperti bersungguh-sungguhnya pada lainnya." HR. Muslim
Berkata Al Munawi rahimahullah:
أي يجتهد فيه من العبادة فوق العادة ويزيد فيها في العشر الأواخر من رمضان بإحياء لياليه.
Yakni bersungguh-sungguh beribadah di dalamnya melebihi dan menambah ibadah sebelumnya di sepuluh terakhir dari Ramadhan dengan menghidupkan malamnya." Faidh Al Qadir, 5/260.
Berkata Al Mula Ali Al Qary rahimahullah:
والأظهر أنه يجتهد في زيادة الطاعة والعبادة ما لا يجتهد في غيره أي في غير العشر رجاء أن يكون ليلة القدر فيه أو للاغتنام في أوقاته والاهتمام في طاعته وحسن الاختتام في بركاته
"Dan yang lebih tampak bahwasanya dia bersungguh-sungguh di dalam menambah ketaatan dan ibadah, apa yang tidak bersungguh-sungguhnya pada selainnya, yaitu selain sepuluh terakhir, berharap mendapatkan lailatul qadar di dalamnya atau menggunakan sebaik-baiknya terhadap waktu-waktunya, memperhatikan ketaatan dan kebaikan mengakhiri di dalam keberkahnya." Mirqat Al Mafatih, 6/430.
Mereka pun semakin menambah lamanya shalat. Panjangnya di dalam rakaat-rakaat shalat melebihi hari-hari sebelum sepuluh terakhir bulan ramadhan.
Berkata Al Qasthalany rahimahullah:
يحمل على التطويل في الركعات دون الزيادة في العدد
"Semakin panjang di dalam rakaat-rakaat tanpa menambah pada jumlah bilangannya." Irsyad As Sary, 3/429.
Berkata Al Mubarakfury rahimahullah:
أَنَّ الزِّيَادَةَ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ يُحْمَلُ عَلَى التَّطْوِيلِ دُونَ الزِّيَادَةِ فِي الْعَدَدِ
"Bahwa tambahan pada sepuluh terakhir adalah semakin panjang pada rakaat-rakaat shalat tanpa menambah pada jumlah bilangannya." Tuhfat Al Ahwadzy, 3/440.
Tidak seperti halnya dengan kebanyakan kaum muslimin di zaman kita sekarang ini, malam-malam terakhir justru menghidupkan pasar-pasar, tempat-tempat perbelanjaan dan mall-mall untuk berbelanja atau sibuk membuat berbagai makanan untuk persiapan hari raya.
Kenapa Rasulullah dan para sahabatnya begitu mencurahkan perhatiannya di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan untuk beribadah, karena disepuluh terakhir bulan ramadhan tersebut ada suatu malam yang lebih baik dari pada seribu bulan. Dimana beribadah di malam itu sama dengan beribadahnya seseorang selama seribu bulan (sekitar 83 tahun 4 bulan). Atau sama dengan amalan seseorang yang siang harinya berjihad dan malam harinya shalat semalam suntuk selama seribu bulan.
Allah Ta'ala berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْر. وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ . لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ ِ
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.
Mujahid rahimahullah berkata : Dahulu di kalangan kaum Bani Israil terdapat seorang lelaki yang malam harinya melakukan shalat malam hingga pagi hari, kemudian di siang harinya ia berjihad di jalan Allah hingga petang hari. Dia mengerjakan amalan ini selama seribu bulan, maka Allah menurunkan firman-Nya: Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. (QS. Al-Qadar: 3). Yakni melakukan shalat di malam kemuliaan itu lebih baik daripada amalan laki-laki Bani Israil itu. (Tafsir Ibnu Katsir Surah Al Qadar 1-3).
Berkata Ali ibnu Urwah radhiyallahu anhu: Bahwa di suatu hari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. menceritakan tentang kisah empat orang lelaki dari kalangan kaum Bani Israil (di masa lalu); mereka menyembah Allah selama delapan puluh tahun tanpa melakukan kedurhakaan kepada-Nya barang sekejap mata pun. Beliau shallallahu alaihi wa sallam. menyebutkan nama mereka, yaitu Ayyub, Zakaria, Hizkil ibnul Ajuz, dan Yusya' ibnu Nun.
Ali ibnu Urwah radhiyallahu anhu melanjutkan kisahnya, bahwa para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam merasa kagum dengan amalan mereka. Maka datanglah Jibril kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan berkata, "Hai Muhammad, umatmu merasa kagum dengan ibadah mereka selama delapan puluh tahun itu tanpa berbuat durhaka barang sekejap mata pun. Sesungguhnya Allah Ta'ala telah menurunkan hal yang lebih baik daripada itu."
Kemudian Malaikat Jibril 'alaihissalam membacakan kepadanya firman Allah Ta'ala.: Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. (QS. Al-Qadar: 1 -3)
Ini lebih baik daripada apa yang engkau dan umatmu kagumi. Maka bergembiralah karenanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. dan orang-orang yang bersamanya saat itu. (Tafsir Ibnu Katsir Surah Al Qadar 1-3).
Berkata Sufyan As-Sauri rahimahullah :Bahwa telah sampai kepadaku dari Mujahid rahimahullah sehubungan dengan malam kemuliaan lebih baik daripada seribu bulan. Bahwa amalan, puasa, dan shalat malam lebih baik daripada melakukan hal yang sama dalam seribu bulan. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. (Tafsir Ibnu Katsir Surah Al Qadar 1-3).
Untuk itu, di malam sepuluh terakhir ramadhan kita lebih serius lagi beribadah dan lebih serius lagi mencarinya, jangan sampai terlewatkan. Karena kalau lewat, sungguh kerugian yang sangat nyata.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan lebih serius lagi di malam-malam ganjil. Malam ke 21, 23, 25, 27 dan 29 karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah mengabarkannya dalam sabdanya :
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)
Untuk mendapatkan malam lailatul qadar tidak ada cara lain kecuali menghidupkan malam di sepuluh terakhir ramadhan dengan beribadah, bukan dengan yang lainnya. Karena ada sebagian orang yang malamnya dihabiskan dengan kegiatan yang sia-sia, seperti menonton televisi, main catur, main kartu, main internet dan lain sebagainya.
Tanda-Tanda Malam Lailatul Qadar
Malam lailatul qadar, terdapat beberapa tanda-tandanya yang bisa diketahui setelah pagi harinya. Seorang sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu menceritakan tentang hal ini:
هِىَ اللَّيْلَةُ الَّتِى أَمَرَنَا بِهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِقِيَامِهَا هِىَ لَيْلَةُ صَبِيحَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ وَأَمَارَتُهَا أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فِى صَبِيحَةِ يَوْمِهَا بَيْضَاءَ لاَ شُعَاعَ لَهَا.
“Malam itu adalah malam yang cerah yaitu malam ke dua puluh tujuh. Dan tanda-tandanya ialah pada pagi harinya matahari terbit berwarna putih tanpa memancarkan sinar ke segala penjuru.” (HR. Muslim).
سَأَلْتُ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقُلْتُ إِنَّ أَخَاكَ ابْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ مَنْ يَقُمْ الْحَوْلَ يُصِبْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَقَالَ رَحِمَهُ اللَّهُ أَرَادَ أَنْ لَا يَتَّكِلَ النَّاسُ أَمَا إِنَّهُ قَدْ عَلِمَ أَنَّهَا فِي رَمَضَانَ وَأَنَّهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ وَأَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ ثُمَّ حَلَفَ لَا يَسْتَثْنِي أَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ فَقُلْتُ بِأَيِّ شَيْءٍ تَقُولُ ذَلِكَ يَا أَبَا الْمُنْذِرِ قَالَ بِالْعَلَامَةِ أَوْ بِالْآيَةِ الَّتِي أَخْبَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا تَطْلُعُ يَوْمَئِذٍ لَا شُعَاعَ لَهَا
"Saya bertanya kepada Ubay bin Ka'b radliallahu 'anhu. Saya katakan, "Sesungguhnya saudaramu Ibnu Mas'ud berkata, 'Barangsiapa yang menunaikan shalat malam sepanjang tahun, niscaya ia akan mendapatkan malam Lailatul Qadr.'" Maka Ubay bin Ka'b berkata, "Semoga Allah merahmatinya. Ia menginginkan agar manusia tidak hanya bertawakkal. Sesungguhnya ia telah mengetahui bahwa Lailatul Qadr terjadi pada bulan Ramadlan, yakni dalam sepuluh hari terakhir tepatnya pada malam ke dua puluh tujuh." kemudian Ubay bin Ka'b bersumpah, bahwa adanya Lailatul Qadr adalah pada malam ke dua puluh tujuh. Maka saya pun bertanya, "Dengan landasan apa, Anda mengatakan hal itu ya Abu Mundzir?" Ia menjawab, "Dengan dasar alamat atau tanda-tanda yang telah dikabarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada kami, bahwa di hari itu matahari terbit dengan pancaran cahaya yang tidak menyengat." [HR. Muslim].
Tetapi hadits di atas tidak menunjukkan bahwa malam lailatul qadar jatuh pada setiap malam 27, sehingga kita hanya berjaga-jaga di malam itu saja. Yang sudah pasti di sepuluh malam terakhir di bulan ramadhan, terutama malam-malam ganjil sebagaimana yang Rasulullah kabarkan dan perintahkan.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga mengabarkan bahwa tanda malam lailatul qadar adalah cuacanya tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin dan di pagi harinya matahari bersinar tidak begitu cerah dan nampak kemerah-merahan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْلَةُ القَدَرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلَقَةٌ لَا حَارَةً وَلَا بَارِدَةً تُصْبِحُ الشَمْسُ صَبِيْحَتُهَا ضَعِيْفَةٌ حَمْرَاء
“Lailatul qadar adalah malam yang penuh kemudahan dan kebaikan, tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar tidak begitu cerah dan nampak kemerah-merahan.” (HR. Al Baihaqi. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Berkata Syekh Al Albani: Hadits Shahih).
Namun walaupun kita telah mengetahuinya tentang tanda-tanda malam lailatul qadar, kita tidak diperintahkan untuk mencari-cari tanda-tandanya, kita diperintahkan untuk menghidupkannya dengan berbagai ibadah, baik shalat malam, membaca alquran, berdzikir, beristighfar dan lain sebagainya sebagaimana yang Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya contohkan.
Sibukkan beribadah di malam terakhir ramadhan, jangan sibuk dengan yang lainnya atau sibuk mencari tanda-tandanya.
Oleh : Abu Fadhel Majalengka
Sepuluh Terakhir Bulan Ramadhan
Di sepuluh akhir ramadhan, Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu anhum menghidupkan malamnya dengan memperbanyak ibadah. Membangunkan keluarga mereka dan menjauhi isteri-iisteri mereka untuk lebih fokus dan konsentrasi memperbanyak amaliah ibadah.
Aisyah radhiyallahu anha berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ الأَوَاخِرُ مِنْ رَمَضَانَ أَحْيَا اللَّيْلَ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ ، وَشَدَّ الْمِئْزَرَ (رواه متفق عليه).
"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila telah masuk sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan, maka beliau menghidup-hidupkan malamnya yakni melakukan ibadat pada malam harinya, juga membangunkan isterinya, bersungguh-sungguh dalam ibadat dan mengeraskan ikat pinggangnya (maksudnya adalah sebagai kata kinayah menjauhi berkumpul dengan isterinya)." (HR. Bukhari dan Muslim).
Mereka pun lebih bersungguh-sungguh beribadah, melebihi dan menambah ibadah yang dilakukan sebelumnya. Menambah lagi ketaatan dalam rangka meraih malam lailatul qadar.
Aisyah radhiyallahu anha berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.
Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di sepuluh terakhir (bulan Ramadhan) lebih bersungguh-sungguh tidak seperti bersungguh-sungguhnya pada lainnya." HR. Muslim
Berkata Al Munawi rahimahullah:
أي يجتهد فيه من العبادة فوق العادة ويزيد فيها في العشر الأواخر من رمضان بإحياء لياليه.
Yakni bersungguh-sungguh beribadah di dalamnya melebihi dan menambah ibadah sebelumnya di sepuluh terakhir dari Ramadhan dengan menghidupkan malamnya." Faidh Al Qadir, 5/260.
Berkata Al Mula Ali Al Qary rahimahullah:
والأظهر أنه يجتهد في زيادة الطاعة والعبادة ما لا يجتهد في غيره أي في غير العشر رجاء أن يكون ليلة القدر فيه أو للاغتنام في أوقاته والاهتمام في طاعته وحسن الاختتام في بركاته
"Dan yang lebih tampak bahwasanya dia bersungguh-sungguh di dalam menambah ketaatan dan ibadah, apa yang tidak bersungguh-sungguhnya pada selainnya, yaitu selain sepuluh terakhir, berharap mendapatkan lailatul qadar di dalamnya atau menggunakan sebaik-baiknya terhadap waktu-waktunya, memperhatikan ketaatan dan kebaikan mengakhiri di dalam keberkahnya." Mirqat Al Mafatih, 6/430.
Mereka pun semakin menambah lamanya shalat. Panjangnya di dalam rakaat-rakaat shalat melebihi hari-hari sebelum sepuluh terakhir bulan ramadhan.
Berkata Al Qasthalany rahimahullah:
يحمل على التطويل في الركعات دون الزيادة في العدد
"Semakin panjang di dalam rakaat-rakaat tanpa menambah pada jumlah bilangannya." Irsyad As Sary, 3/429.
Berkata Al Mubarakfury rahimahullah:
أَنَّ الزِّيَادَةَ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ يُحْمَلُ عَلَى التَّطْوِيلِ دُونَ الزِّيَادَةِ فِي الْعَدَدِ
"Bahwa tambahan pada sepuluh terakhir adalah semakin panjang pada rakaat-rakaat shalat tanpa menambah pada jumlah bilangannya." Tuhfat Al Ahwadzy, 3/440.
Tidak seperti halnya dengan kebanyakan kaum muslimin di zaman kita sekarang ini, malam-malam terakhir justru menghidupkan pasar-pasar, tempat-tempat perbelanjaan dan mall-mall untuk berbelanja atau sibuk membuat berbagai makanan untuk persiapan hari raya.
Kenapa Rasulullah dan para sahabatnya begitu mencurahkan perhatiannya di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan untuk beribadah, karena disepuluh terakhir bulan ramadhan tersebut ada suatu malam yang lebih baik dari pada seribu bulan. Dimana beribadah di malam itu sama dengan beribadahnya seseorang selama seribu bulan (sekitar 83 tahun 4 bulan). Atau sama dengan amalan seseorang yang siang harinya berjihad dan malam harinya shalat semalam suntuk selama seribu bulan.
Allah Ta'ala berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْر. وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ . لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ ِ
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.
Mujahid rahimahullah berkata : Dahulu di kalangan kaum Bani Israil terdapat seorang lelaki yang malam harinya melakukan shalat malam hingga pagi hari, kemudian di siang harinya ia berjihad di jalan Allah hingga petang hari. Dia mengerjakan amalan ini selama seribu bulan, maka Allah menurunkan firman-Nya: Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. (QS. Al-Qadar: 3). Yakni melakukan shalat di malam kemuliaan itu lebih baik daripada amalan laki-laki Bani Israil itu. (Tafsir Ibnu Katsir Surah Al Qadar 1-3).
Berkata Ali ibnu Urwah radhiyallahu anhu: Bahwa di suatu hari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. menceritakan tentang kisah empat orang lelaki dari kalangan kaum Bani Israil (di masa lalu); mereka menyembah Allah selama delapan puluh tahun tanpa melakukan kedurhakaan kepada-Nya barang sekejap mata pun. Beliau shallallahu alaihi wa sallam. menyebutkan nama mereka, yaitu Ayyub, Zakaria, Hizkil ibnul Ajuz, dan Yusya' ibnu Nun.
Ali ibnu Urwah radhiyallahu anhu melanjutkan kisahnya, bahwa para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam merasa kagum dengan amalan mereka. Maka datanglah Jibril kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan berkata, "Hai Muhammad, umatmu merasa kagum dengan ibadah mereka selama delapan puluh tahun itu tanpa berbuat durhaka barang sekejap mata pun. Sesungguhnya Allah Ta'ala telah menurunkan hal yang lebih baik daripada itu."
Kemudian Malaikat Jibril 'alaihissalam membacakan kepadanya firman Allah Ta'ala.: Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. (QS. Al-Qadar: 1 -3)
Ini lebih baik daripada apa yang engkau dan umatmu kagumi. Maka bergembiralah karenanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. dan orang-orang yang bersamanya saat itu. (Tafsir Ibnu Katsir Surah Al Qadar 1-3).
Berkata Sufyan As-Sauri rahimahullah :Bahwa telah sampai kepadaku dari Mujahid rahimahullah sehubungan dengan malam kemuliaan lebih baik daripada seribu bulan. Bahwa amalan, puasa, dan shalat malam lebih baik daripada melakukan hal yang sama dalam seribu bulan. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. (Tafsir Ibnu Katsir Surah Al Qadar 1-3).
Untuk itu, di malam sepuluh terakhir ramadhan kita lebih serius lagi beribadah dan lebih serius lagi mencarinya, jangan sampai terlewatkan. Karena kalau lewat, sungguh kerugian yang sangat nyata.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan lebih serius lagi di malam-malam ganjil. Malam ke 21, 23, 25, 27 dan 29 karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah mengabarkannya dalam sabdanya :
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)
Untuk mendapatkan malam lailatul qadar tidak ada cara lain kecuali menghidupkan malam di sepuluh terakhir ramadhan dengan beribadah, bukan dengan yang lainnya. Karena ada sebagian orang yang malamnya dihabiskan dengan kegiatan yang sia-sia, seperti menonton televisi, main catur, main kartu, main internet dan lain sebagainya.
Tanda-Tanda Malam Lailatul Qadar
Malam lailatul qadar, terdapat beberapa tanda-tandanya yang bisa diketahui setelah pagi harinya. Seorang sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu menceritakan tentang hal ini:
هِىَ اللَّيْلَةُ الَّتِى أَمَرَنَا بِهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِقِيَامِهَا هِىَ لَيْلَةُ صَبِيحَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ وَأَمَارَتُهَا أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فِى صَبِيحَةِ يَوْمِهَا بَيْضَاءَ لاَ شُعَاعَ لَهَا.
“Malam itu adalah malam yang cerah yaitu malam ke dua puluh tujuh. Dan tanda-tandanya ialah pada pagi harinya matahari terbit berwarna putih tanpa memancarkan sinar ke segala penjuru.” (HR. Muslim).
Dalam riwayat lain disebutkan bahwasanya Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu pernah ditanya oleh Zirr bin Hubaisy rahimahullah,
سَأَلْتُ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقُلْتُ إِنَّ أَخَاكَ ابْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ مَنْ يَقُمْ الْحَوْلَ يُصِبْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَقَالَ رَحِمَهُ اللَّهُ أَرَادَ أَنْ لَا يَتَّكِلَ النَّاسُ أَمَا إِنَّهُ قَدْ عَلِمَ أَنَّهَا فِي رَمَضَانَ وَأَنَّهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ وَأَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ ثُمَّ حَلَفَ لَا يَسْتَثْنِي أَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ فَقُلْتُ بِأَيِّ شَيْءٍ تَقُولُ ذَلِكَ يَا أَبَا الْمُنْذِرِ قَالَ بِالْعَلَامَةِ أَوْ بِالْآيَةِ الَّتِي أَخْبَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا تَطْلُعُ يَوْمَئِذٍ لَا شُعَاعَ لَهَا
"Saya bertanya kepada Ubay bin Ka'b radliallahu 'anhu. Saya katakan, "Sesungguhnya saudaramu Ibnu Mas'ud berkata, 'Barangsiapa yang menunaikan shalat malam sepanjang tahun, niscaya ia akan mendapatkan malam Lailatul Qadr.'" Maka Ubay bin Ka'b berkata, "Semoga Allah merahmatinya. Ia menginginkan agar manusia tidak hanya bertawakkal. Sesungguhnya ia telah mengetahui bahwa Lailatul Qadr terjadi pada bulan Ramadlan, yakni dalam sepuluh hari terakhir tepatnya pada malam ke dua puluh tujuh." kemudian Ubay bin Ka'b bersumpah, bahwa adanya Lailatul Qadr adalah pada malam ke dua puluh tujuh. Maka saya pun bertanya, "Dengan landasan apa, Anda mengatakan hal itu ya Abu Mundzir?" Ia menjawab, "Dengan dasar alamat atau tanda-tanda yang telah dikabarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada kami, bahwa di hari itu matahari terbit dengan pancaran cahaya yang tidak menyengat." [HR. Muslim].
Tetapi hadits di atas tidak menunjukkan bahwa malam lailatul qadar jatuh pada setiap malam 27, sehingga kita hanya berjaga-jaga di malam itu saja. Yang sudah pasti di sepuluh malam terakhir di bulan ramadhan, terutama malam-malam ganjil sebagaimana yang Rasulullah kabarkan dan perintahkan.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga mengabarkan bahwa tanda malam lailatul qadar adalah cuacanya tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin dan di pagi harinya matahari bersinar tidak begitu cerah dan nampak kemerah-merahan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْلَةُ القَدَرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلَقَةٌ لَا حَارَةً وَلَا بَارِدَةً تُصْبِحُ الشَمْسُ صَبِيْحَتُهَا ضَعِيْفَةٌ حَمْرَاء
“Lailatul qadar adalah malam yang penuh kemudahan dan kebaikan, tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar tidak begitu cerah dan nampak kemerah-merahan.” (HR. Al Baihaqi. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Berkata Syekh Al Albani: Hadits Shahih).
Namun walaupun kita telah mengetahuinya tentang tanda-tanda malam lailatul qadar, kita tidak diperintahkan untuk mencari-cari tanda-tandanya, kita diperintahkan untuk menghidupkannya dengan berbagai ibadah, baik shalat malam, membaca alquran, berdzikir, beristighfar dan lain sebagainya sebagaimana yang Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya contohkan.
Sibukkan beribadah di malam terakhir ramadhan, jangan sibuk dengan yang lainnya atau sibuk mencari tanda-tandanya.
Komentar
Posting Komentar