Melantunkan Syair Atau Nasyif Di Masjid
MELANTUNKAN SYAIR ATAU NASYID DI MASJID
Oleh : Abu Fadhel Majalengka
Hukum bersyair atau bernasyid di masjid menjadi perbincangan dan perdebatan yang hangat dan cenderung memanas. Perdebatan ini dimulai setelah salah satu ormas melantunkannya di salah satu masjid.
Sebelum membahas ini, sebaiknya kita mengetahui definisi nasyid terlebih terdahulu.
Berkata Al Khalil Ahmad Al Farahidy rahimahullah :
" والنَّشيدُ : الشِّعْرُ المُتَناشَدُ بينَ القوم ، يُنْشِدُه بَعْضُهم بَعْضاً إنْشاداً ". "كتاب العين" (6 / 243).
Nasyid adalah syair yang dilantunkan di tengah sejumlah orang, satu dengan lainnya saling melantukan nasyid. (Kitabul Ain, 6/243).
Dengan definisi seperti ini, maka nasyid yang syairnya bagus, tidak mengandung ucapakan yang kotor, cabul, maksiat dan kesyirikan serta tidak diiringi alat musik, maka boleh-boleh saja dilantunkan di dalam masjid.
Syekh Ibnu Baz rahimahullah ditanya tentang mendengarkan nasyid di masjid, beliau berkata :
" الأناشيد العربية الإسلامية التي فيها فائدة في مقام العلم والتعليم لا بأس بها , إذا كان في المسجد حلقة علم , أو واعظ يعظ الناس ويذكر الناس ويقرأ عليهم بعض الأشعار المفيدة , والأناشيد الشرعية الطيبة المفيدة لا حرج في ذلك , فقد كان حسان رضي الله عنه ينشد الشعر في مسجد النبي عليه الصلاة والسلام ". انتهى .
“Nasyid-nasyid arab yang islami, dimana didalamnya ada faedah (menjelaskan) posisi ilmu dan belajar. Maka hal itu tidak mengapa dikala didalam masjid ada halaqah ilmu atau penceramah yang memberikan nasehat dan mengingatkan kepada orang. Dengan membacakan sebagian syair-syair yang bermanfaat kepada mereka. Dan nasyid syar’i dan bermanfaat tidak mengapa hal itu (dilakukan). Karena dahulu Hassan radhiallahu’anhu melantunkan syair di masjid Nabi sallallahu’alaihi wa sallam. http://www.binbaz.org.sa/mat/17781
Berkata Syekh Muhammad Shaleh Al Munajed Hafidzahullah :
والنشيد بهذا المعنى ـ إذا كان موضوعه حسناً ـ لا بأس من إلقائه وسماعه في المسجد وغيره ، وقد كان حسان بن ثابت ينشد الشعر في المسجد ، وفيه رسول الله صلى الله عليه وسلم .
وروى البخاري (3212), ومسلم (2485), وأبو داود (5013) واللفظ له أن عُمَرَ بن الخطاب مَرَّ بِحَسَّان وَهُوَ يُنْشِدُ فِي الْمَسْجِدِ ، فَلَحَظَ إِلَيْهِ , فَقَالَ حسان : قَدْ كُنْتُ أُنْشِدُ وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ.
Nasyid dalam artian seperti ini dikala temanya bagus tidak mengapa dilantunkan dan diperdengarkan di masjid dan (tempat) lain. Dahulu Hassan bin Tsabit melantunkan syair di masjid, dan di dalamnya ada Rasulullah sallallahu’alalihi wa sallam.
Diriwayatkan oleh Bukhari, 3212. Muslim, 2485 dan Abu Dawud, 5013 dan redaksi darinya bahwa Umar bin Khattab melewati Hassan sementara beliau sedang melantunkan nasyid di Masjid. Kemudian (Umar) memandangnya. Maka Hassan berkomentar: ”Dahulu saya melantunkan nasyid, dan di dalamnya ada orang yang lebih baik dari anda." (Al Islam Sual Wa Jawab 144857)
Berkata Imam Nawawi rahimahullah :
" فِيهِ جَوَاز إِنْشَاد الشِّعْر فِي الْمَسْجِد إِذَا كَانَ مُبَاحًا , وَاسْتِحْبَابه إِذَا كَانَ فِي مَمَادِح الْإِسْلَامِ وَأَهْلِهِ ". انتهى من " شرح صحيح مسلم " (16/46).
“Di dalam (hadits menunjukkan) diperbolehkannya melantunkan syair di masjid jikalau (syairnya) mubah. Dan dianjurkan (dikala temanya) menyanjung agama Islam dan orang-orangnya.” (Selesai dari kitab ‘Syarkh Shoheh Muslim, 16/46).
Namun sayang, nasyid di zaman kini sudah banyak penyelewengannya. Baik syairnya, nada lagunya, cara melagukannya dan yang lebih parah lagi diiringi alat musik.
Berkata Syekh Muhammad Sholeh Al Munajed hafidzahullah :
ومما يؤسف له أن أكثر النشيد اليوم قد انحرف عن مساره انحرافاً كبيراً ، سواء في موضوعاته ، أو كلماته ، أو ألحانه وطريقة أدائه ، أو في الأشياء المرافقة له من دفوف ومعازف !!
فإذا كان النشيد بهذه الحال ، فلا يجوز سماعه لا في المساجد ولا دور تحفيظ القرآن ولا غيرها .
Yang sangat disayangkan, kebanyakan nasyid sekarang telah melenceng jauh dari jalannya. Baik dalam tema, kata-kata, lagu dan cara melantunkannya. Atau sesuatu yang bersamanya dari kendang kecil (terbang) dan alat-alat musik. Kalau nasyidnya dalam kondisi seperti ini, tidak diperkenankan mendengarkannya. Baik di masjid, di Daur Tahfid Qur’an atau tempat lainnya. (Al Islam Sual Wa Jawab 144857).
Penyimpangan lainnya adalah dilagukan secara berjamaah. Bahkan laki-laki dan wanita bernasyid bersama-sama. Tidak sebagaimana di zaman Nabi dan para sahabat. Dimana satu orang bersyair, yang lainnya mendengarkan. Atau bersyair masing-masing.
Berkata Syekh Shalih al-Fauzan hafidzahullah :
“Syair-syair yang diucapkan Rasulullah tidak diucapkan secara berjamaah seperti lagu, tidak pula dinamakan nasyid islami. Akan tetapi hanyalah berupa syair arab, mengandung banyak hikmah, pelajaran, membangkitkan keberanian dan kedermawanan.
Para sahabat bersyair sendiri-sendiri dengan tujuan seperti tadi. Mereka bersyair ketika melakukan pekerjaan yang mamayahkan, seperti membangun dan bepergian di malam hari. Maka, dibolehkan bersyair dengan syair seperti ini, dan khusus dalam keadaan demikian. Bukan dijadikan semacam ilmu dalam tarbiyah (pendidikan) dan dakwah, seperti sekarang ini, dimana nasyid-nasyid itu diajarkan dan dilatihkan kepada para murid, lantas dinamakan nasyid islami atau nasyid diniyah.
Ini merupakan bid’ah dalam agama, termasuk agama orang-orang sufi yang ahli bid’ah. Mereka dikenal sebagai orang yang menjadikan nasyid sebagai agama. Maka, wajib memberi peringatan dari tipudaya ini dan melarang kaset-kasetnya, sebab kejelekan itu awalnya kecil, kemudian berkembang dan membesar jika tidak segera dilenyapkan. ” (Al-Ajwibah al-Mufidah an-As`ilatil Manahjil Jadidah, Syekh Shalih al-Fauzan, susunan Jamal bin Furaihan, hlm. 3–4).
Dengan kondisi nasyid yang seperti sekarang ini yang sudah seperti nyanyian, maka sudah selayaknya dihentikan karena hal ini sudah perkara baru yang melanggar aturan agama.
Berkata Imam As Suyuthi Rahimahullah :
ومن ذلك الرقص، والغناء في المساجد، وضرب الدف أو الرباب، أو غير ذلك من آلات الطرب.
فمن فعل ذلك في المسجد، فهو مبتدع، ضال، مستحق للطرد والضرب؛ لأنه استخف بما أمر الله بتعظيمه، قال الله تعالى: (في بيوت أذن الله أن ترفع " أي تعظم " ويذكر فيها اسمه)، أي يتلى فيها كتابه. وبيوت الله هي المساجد؛ وقد أمر الله بتعظيمها، وصيانتها عن الأقذار، والأوساخ، والصبيان، والمخاط، والثوم، والبصل، وإنشاد الشعر فيها، والغناء والرقص؛ فمن غنى فيها أو رقص فهو مبتدع، ضال مضل، مستحق للعقوبة.
“Di antaranya adalah menari, menyanyi di dalam masjid, memukul duf (rebana) atau rebab (sejenis alat musik), atau selain itu dari jenis alat-alat musik. Maka, barang siapa yang melakukan itu di masjid maka dia mubtadi’ (pelaku bid’ah), sesat, patut baginya diusir dan dipukul, karena dia meremehkan perintah Allah untuk memuliakan masjid. Allah Ta’ala berfirman: “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya.” Yaitu dibacakan kitabNya di dalamnya. Rumah-rumah Allah adalah masjid-masjid, dan Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk memuliakannya, menjaganya dari kotoran, najis, anak-anak, ingus (ludah), bawang putih, bawang merah, nasyid-nasyid dan sya’ir di dalamnya, nyanyian dan tarian, dan barang siapa yang bernyanyi di dalamnya atau menari maka dia adalah pelaku bid’ah, sesat dan menyesatkan, dan berhak diberikan hukuman.” (Imam Jalaluddin As Suyuthi, Al Amru bil Ittiba’ wan Nahyu ‘anil Ibtida’, Hal. 30. Mawqi’ Ruh Al Islam).
Oleh : Abu Fadhel Majalengka
Hukum bersyair atau bernasyid di masjid menjadi perbincangan dan perdebatan yang hangat dan cenderung memanas. Perdebatan ini dimulai setelah salah satu ormas melantunkannya di salah satu masjid.
Sebelum membahas ini, sebaiknya kita mengetahui definisi nasyid terlebih terdahulu.
Berkata Al Khalil Ahmad Al Farahidy rahimahullah :
" والنَّشيدُ : الشِّعْرُ المُتَناشَدُ بينَ القوم ، يُنْشِدُه بَعْضُهم بَعْضاً إنْشاداً ". "كتاب العين" (6 / 243).
Nasyid adalah syair yang dilantunkan di tengah sejumlah orang, satu dengan lainnya saling melantukan nasyid. (Kitabul Ain, 6/243).
Dengan definisi seperti ini, maka nasyid yang syairnya bagus, tidak mengandung ucapakan yang kotor, cabul, maksiat dan kesyirikan serta tidak diiringi alat musik, maka boleh-boleh saja dilantunkan di dalam masjid.
Syekh Ibnu Baz rahimahullah ditanya tentang mendengarkan nasyid di masjid, beliau berkata :
" الأناشيد العربية الإسلامية التي فيها فائدة في مقام العلم والتعليم لا بأس بها , إذا كان في المسجد حلقة علم , أو واعظ يعظ الناس ويذكر الناس ويقرأ عليهم بعض الأشعار المفيدة , والأناشيد الشرعية الطيبة المفيدة لا حرج في ذلك , فقد كان حسان رضي الله عنه ينشد الشعر في مسجد النبي عليه الصلاة والسلام ". انتهى .
“Nasyid-nasyid arab yang islami, dimana didalamnya ada faedah (menjelaskan) posisi ilmu dan belajar. Maka hal itu tidak mengapa dikala didalam masjid ada halaqah ilmu atau penceramah yang memberikan nasehat dan mengingatkan kepada orang. Dengan membacakan sebagian syair-syair yang bermanfaat kepada mereka. Dan nasyid syar’i dan bermanfaat tidak mengapa hal itu (dilakukan). Karena dahulu Hassan radhiallahu’anhu melantunkan syair di masjid Nabi sallallahu’alaihi wa sallam. http://www.binbaz.org.sa/mat/17781
Berkata Syekh Muhammad Shaleh Al Munajed Hafidzahullah :
والنشيد بهذا المعنى ـ إذا كان موضوعه حسناً ـ لا بأس من إلقائه وسماعه في المسجد وغيره ، وقد كان حسان بن ثابت ينشد الشعر في المسجد ، وفيه رسول الله صلى الله عليه وسلم .
وروى البخاري (3212), ومسلم (2485), وأبو داود (5013) واللفظ له أن عُمَرَ بن الخطاب مَرَّ بِحَسَّان وَهُوَ يُنْشِدُ فِي الْمَسْجِدِ ، فَلَحَظَ إِلَيْهِ , فَقَالَ حسان : قَدْ كُنْتُ أُنْشِدُ وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ.
Nasyid dalam artian seperti ini dikala temanya bagus tidak mengapa dilantunkan dan diperdengarkan di masjid dan (tempat) lain. Dahulu Hassan bin Tsabit melantunkan syair di masjid, dan di dalamnya ada Rasulullah sallallahu’alalihi wa sallam.
Diriwayatkan oleh Bukhari, 3212. Muslim, 2485 dan Abu Dawud, 5013 dan redaksi darinya bahwa Umar bin Khattab melewati Hassan sementara beliau sedang melantunkan nasyid di Masjid. Kemudian (Umar) memandangnya. Maka Hassan berkomentar: ”Dahulu saya melantunkan nasyid, dan di dalamnya ada orang yang lebih baik dari anda." (Al Islam Sual Wa Jawab 144857)
Berkata Imam Nawawi rahimahullah :
" فِيهِ جَوَاز إِنْشَاد الشِّعْر فِي الْمَسْجِد إِذَا كَانَ مُبَاحًا , وَاسْتِحْبَابه إِذَا كَانَ فِي مَمَادِح الْإِسْلَامِ وَأَهْلِهِ ". انتهى من " شرح صحيح مسلم " (16/46).
“Di dalam (hadits menunjukkan) diperbolehkannya melantunkan syair di masjid jikalau (syairnya) mubah. Dan dianjurkan (dikala temanya) menyanjung agama Islam dan orang-orangnya.” (Selesai dari kitab ‘Syarkh Shoheh Muslim, 16/46).
Namun sayang, nasyid di zaman kini sudah banyak penyelewengannya. Baik syairnya, nada lagunya, cara melagukannya dan yang lebih parah lagi diiringi alat musik.
Berkata Syekh Muhammad Sholeh Al Munajed hafidzahullah :
ومما يؤسف له أن أكثر النشيد اليوم قد انحرف عن مساره انحرافاً كبيراً ، سواء في موضوعاته ، أو كلماته ، أو ألحانه وطريقة أدائه ، أو في الأشياء المرافقة له من دفوف ومعازف !!
فإذا كان النشيد بهذه الحال ، فلا يجوز سماعه لا في المساجد ولا دور تحفيظ القرآن ولا غيرها .
Yang sangat disayangkan, kebanyakan nasyid sekarang telah melenceng jauh dari jalannya. Baik dalam tema, kata-kata, lagu dan cara melantunkannya. Atau sesuatu yang bersamanya dari kendang kecil (terbang) dan alat-alat musik. Kalau nasyidnya dalam kondisi seperti ini, tidak diperkenankan mendengarkannya. Baik di masjid, di Daur Tahfid Qur’an atau tempat lainnya. (Al Islam Sual Wa Jawab 144857).
Penyimpangan lainnya adalah dilagukan secara berjamaah. Bahkan laki-laki dan wanita bernasyid bersama-sama. Tidak sebagaimana di zaman Nabi dan para sahabat. Dimana satu orang bersyair, yang lainnya mendengarkan. Atau bersyair masing-masing.
Berkata Syekh Shalih al-Fauzan hafidzahullah :
“Syair-syair yang diucapkan Rasulullah tidak diucapkan secara berjamaah seperti lagu, tidak pula dinamakan nasyid islami. Akan tetapi hanyalah berupa syair arab, mengandung banyak hikmah, pelajaran, membangkitkan keberanian dan kedermawanan.
Para sahabat bersyair sendiri-sendiri dengan tujuan seperti tadi. Mereka bersyair ketika melakukan pekerjaan yang mamayahkan, seperti membangun dan bepergian di malam hari. Maka, dibolehkan bersyair dengan syair seperti ini, dan khusus dalam keadaan demikian. Bukan dijadikan semacam ilmu dalam tarbiyah (pendidikan) dan dakwah, seperti sekarang ini, dimana nasyid-nasyid itu diajarkan dan dilatihkan kepada para murid, lantas dinamakan nasyid islami atau nasyid diniyah.
Ini merupakan bid’ah dalam agama, termasuk agama orang-orang sufi yang ahli bid’ah. Mereka dikenal sebagai orang yang menjadikan nasyid sebagai agama. Maka, wajib memberi peringatan dari tipudaya ini dan melarang kaset-kasetnya, sebab kejelekan itu awalnya kecil, kemudian berkembang dan membesar jika tidak segera dilenyapkan. ” (Al-Ajwibah al-Mufidah an-As`ilatil Manahjil Jadidah, Syekh Shalih al-Fauzan, susunan Jamal bin Furaihan, hlm. 3–4).
Dengan kondisi nasyid yang seperti sekarang ini yang sudah seperti nyanyian, maka sudah selayaknya dihentikan karena hal ini sudah perkara baru yang melanggar aturan agama.
Berkata Imam As Suyuthi Rahimahullah :
ومن ذلك الرقص، والغناء في المساجد، وضرب الدف أو الرباب، أو غير ذلك من آلات الطرب.
فمن فعل ذلك في المسجد، فهو مبتدع، ضال، مستحق للطرد والضرب؛ لأنه استخف بما أمر الله بتعظيمه، قال الله تعالى: (في بيوت أذن الله أن ترفع " أي تعظم " ويذكر فيها اسمه)، أي يتلى فيها كتابه. وبيوت الله هي المساجد؛ وقد أمر الله بتعظيمها، وصيانتها عن الأقذار، والأوساخ، والصبيان، والمخاط، والثوم، والبصل، وإنشاد الشعر فيها، والغناء والرقص؛ فمن غنى فيها أو رقص فهو مبتدع، ضال مضل، مستحق للعقوبة.
“Di antaranya adalah menari, menyanyi di dalam masjid, memukul duf (rebana) atau rebab (sejenis alat musik), atau selain itu dari jenis alat-alat musik. Maka, barang siapa yang melakukan itu di masjid maka dia mubtadi’ (pelaku bid’ah), sesat, patut baginya diusir dan dipukul, karena dia meremehkan perintah Allah untuk memuliakan masjid. Allah Ta’ala berfirman: “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya.” Yaitu dibacakan kitabNya di dalamnya. Rumah-rumah Allah adalah masjid-masjid, dan Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk memuliakannya, menjaganya dari kotoran, najis, anak-anak, ingus (ludah), bawang putih, bawang merah, nasyid-nasyid dan sya’ir di dalamnya, nyanyian dan tarian, dan barang siapa yang bernyanyi di dalamnya atau menari maka dia adalah pelaku bid’ah, sesat dan menyesatkan, dan berhak diberikan hukuman.” (Imam Jalaluddin As Suyuthi, Al Amru bil Ittiba’ wan Nahyu ‘anil Ibtida’, Hal. 30. Mawqi’ Ruh Al Islam).
Komentar
Posting Komentar