Ulil Amri Dan Hukum Allah
ULIL AMRI DAN HUKUM ALLAH
Oleh : Abu Fadhel Majalengka
Ada dua pembahasan besar dalam judul di atas, yang memerlukan kesabaran dalam membaca tulisan kali ini, karena mesti memerlukan penjelasan yang panjang lebar.
Pertama Ulil Amri.
Jika seorang pemimpin itu muslim dan juga tidak melakukan salah satu dari pembatal-pembatal keislaman, maka dia adalah ulil amri yang wajib ditaati.
Syekh Sholeh Al Fauzan hafidzohullôh ditanya tentang ulil amri.
هذا التأصيل خاصٌ بولاة الأمر الذين يحكمون بالشريعة كما في هذه البلاد المباركة ، أم هو عام في جميع ولاة أمور المسلمين حتى الذين لا يحكمون بشرع الله ويبدلون الشريعة بالقوانين الوضعية ، أفيدونا ؟
“Apakah prinsip ini, khusus untuk untuk penguasa yang berhukum dengan syariat Allah sebagaimana negeri kita yang diberkahi ini, ataukah umum untuk pemerintah kaum muslimin bahkan yang tidak berhukum dengan syariat Allah dan menggantinya dengan hukum buatan manusia?”
Beliau menjawab :
الله جل وعلا قال : (وأولي الأمر منكم ) [النساء:59]، أي من المسلمين ، فإذا كان ولي الأمر مسلماً لم يكفر بالله ولم يرتكب ناقضاً من نواقض الإسلام فإنه ولي أمر للمسلمين تجب طاعته . نعم .
ULIL AMRI DAN HUKUM ALLAH
Ada dua pembahasan besar dalam judul di atas, yang memerlukan kesabaran dalam membaca tulisan kali ini, karena mesti memerlukan penjelasan yang panjang lebar.
Pertama Ulil Amri.
Jika seorang pemimpin itu muslim dan juga tidak melakukan salah satu dari pembatal-pembatal keislaman, maka dia adalah ulil amri yang wajib ditaati.
Syekh Sholeh Al Fauzan hafidzohullôh ditanya tentang ulil amri.
هذا التأصيل خاصٌ بولاة الأمر الذين يحكمون بالشريعة كما في هذه البلاد المباركة ، أم هو عام في جميع ولاة أمور المسلمين حتى الذين لا يحكمون بشرع الله ويبدلون الشريعة بالقوانين الوضعية ، أفيدونا ؟
“Apakah prinsip ini, khusus untuk untuk penguasa yang berhukum dengan syariat Allah sebagaimana negeri kita yang diberkahi ini, ataukah umum untuk pemerintah kaum muslimin bahkan yang tidak berhukum dengan syariat Allah dan menggantinya dengan hukum buatan manusia?”
Beliau menjawab :
الله جل وعلا قال : (وأولي الأمر منكم ) [النساء:59]، أي من المسلمين ، فإذا كان ولي الأمر مسلماً لم يكفر بالله ولم يرتكب ناقضاً من نواقض الإسلام فإنه ولي أمر للمسلمين تجب طاعته . نعم .
“Allah ‘Azza Wajalla berfirman:
“Dan ulil amri di antara kalian” [QS An Nisa 59]. Maksudnya, dari kaum muslimin. Maka jika dia penguasa itu muslim, tidak kafir kepada Allah dan juga tidak melakukan salah satu dari pembatal-pembatal keislaman, maka dia adalah ulil amri yang wajib ditaati (Sumber: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/13289).
Namun jika dia melakukan suatu amalan kekafiran yang nyata, yang menyebabkan batal keislamannya, maka dia bukanlah ulil amri yang perlu ditaati dan diperbolehkan memberontak kalau memiliki kemampuan.
Contoh misalkan, dia meninggalkan shalat karena berkeyakinan shalat bukan kewajiban, maka dengan sebab ini menyebabkan kekufurannya. Dengan demikian, dia bukan oleh ulil amri yang perlu ditaati dan boleh memberontak jika memiliki kemampuan.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Sebaik-baik pemimpin-pemimpin kamu adalah dimana kamu mencintainya dan mereka mencintaimu. Kamu mendoakannya dan mereka pun mendoakanmu. Adapun sejelek-jelek pemimpin kamu adalah dimana kamu membencinya dan mereka pun membencimu, kamu melaknatnya dan mereka pun melaknatmu”. Dikatakan : Wahai Rasulullah, apakah kami tidak memeranginya saja dengan pedang ?” Beliau menjawab : “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat di tengah kalian. Apabila kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kamu benci, maka bencilah perbuatannya saja dan jangan melepaskan tangan dari ketaatan” (HR. Muslim dan Ahmad).
Berkata ‘Ubadah bin Ash-Shamit radliyallaahu ‘anhu :
دَعَانَا رَسول الله صَلَى الله عَلَيه وَسَلَمَ فَبَايَعنَاه فَكَانَ فيمَا أَخَذَ عَلَينَا أَن بَايعنا على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا وأن لا ننازع الأمر أهله قال إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyeru kami, maka kami membaiat kepada beliau. Adapun bai’at kami terhadap beliau adalah untuk selalu mendengar dan taat dalam dalam keadaan senang dan benci; dalam keadaan kami sulit dan dalam keadaan mudah; ketika kesewenang-wenangan menimpa kami; dan juga agar kami tidak mencabut perkara (kekuasaan) dari ahlinya (yaitu penguasa). Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Kecuali bila kalian melihat kekufuran yang nyata berdasarkan keterangan dari Allah." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dan Rasulullah shallallahu ’alaihi Wasallam bersabda:
إلا أن تروا كفراً بواحاً عندكم من الله فيه برهان
“(jangan memberontak), kecuali engkau melihat kekufuran yang nyata yang kalian bisa pertanggung-jawabkan kepada Allah buktinya” (HR. Al Bukhari).
Berkata Syekh Ibnu Baz rahimahullah:
إلا إذا رأى المسلمون كفراً بواحاً عندهم من الله فيه برهان فلا بأس أن يخرجوا على هذا السلطان لإزالته إذا كان عندهم قدرة , أما إذا لم يكن عندهم قدرة فلا يخرجوا . أو كان الخروج يسبب شراً أكثر : فليس لهم الخروج ؛ رعاية للمصالح العامة . والقاعدة الشرعية المجْمَع عليها أنه ( لا يجوز إزالة الشر بما هو أشر منه ) ؛ بل يجب درء الشر بما يزيله أو يخففه . أما درء الشر بشر أكثر فلا يجوز بإجماع المسلمين . فإذا كانت هذه الطائفة – التي تريد إزالة هذا السلطان الذي فعل كفراً بواحاً – عندها قدرة تزيله بها وتضع إماماً صالحاً طيباً من دون أن يترتب على هذا فساد كبير على المسلمين وشر أعظم من شر هذا السلطان : فلا بأس , أما إذا كان الخروج يترتب عليه فساد كبير واختلال الأمن وظلم الناس واغتيال من لا يستحقّ الاغتيال إلى غير هذا من الفساد العظيم فهذا لا يجوز » ( الفتاوى 8/203 ) .
“Kecuali, apabila melihat kekafiran yang nyata yang mereka memiliki keterangan dari Allah tentang kekafiran tersebut, kaum muslimin boleh memberontak terhadap penguasa tersebut untuk melengserkan (penguasa itu) apabila memiliki kemampuan. Apabila tidak memiliki kemampuan, mereka tidak bileh memberontak. Atau, kalau pemberontakan tersebut menimbulkan kejelekan yang lebih banyak, mereka tidak boleh memberontak. Hal ini untuk menjaga kemaslahatan umum dan kaidah syara’ yang telah disepakati yaitu “tidak diperbolehkan menghilangkan suatu kejelekan dengan (cara membuat) kejelekan yang lebih jelek daripada kejelekan sebelumnya”. Melainkan, (seseorang) diwajibkan untuk menolak kejelekan dengan (melakukan) sesuatu yang dapat menghilangkan atau meringankan kejelekan tersebut. Adapun menolak kejelekan dengan memunculkan kejelekan yang lebih banyak, hal tersebut tidak diperbolehkan berdasarkan konsensus kaum muslimin.
Sehingga, apabila kelompok tersebut yang ingin melengserkan penguasa yang telah melakukan kekufuran yang nyata memiliki kemampuan untuk melengserkan dan menggantikan (penguasa itu) dengan penguasa yang shalih nan baik, tanpa menimbulkan kerusakan besar bagi kaum muslimin dan kejelekan yang lebih luas daripada kejelekan penguasa tersebut, hal tersebut tidak mengapa.
Akan tetapi, apabila pemberontakan tersebut menimbulkan kerusakan besar, menghilangkan keamanan, (kaum muslimin) menjadi terzalimi, dan dibunuhnya orang-orang yang tidak berhak untuk dibunuh, serta kerusakan-kerusakan besar yang lain, maka (pemberontakan) tidak diperbolehkan” (Fatawa Syaikh Ibnu Baaz 8/203).
Al-Imam al-Muhaddits Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah berkata :
” هذا ولا ننصح بالخروج على الحكام حتى ولو رأينا كفراً بواحاً ، بل لا يجوز الخروج إلا بشروط :
الأول : أن تكون قوة المسلمين مقاربة أو مكافئة لقوة العدو والكافر .
فإن قال قائل : فإن الله يقول : ” وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ ” .
ويقول : ” كَم مِّن فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإذْنِ اللَّهِ ” .
وقوله تعالى : ” الْآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا ۚ فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ۚ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ ” ، فالجواب : أنه إذا وُجد مجاهدون عندهم من الإيمان والصدق والعزيمة ربع ما عند من أنزلت فيهم هذه الآيات فلا بأس بذلك .
الثاني : أن يكون عندهم استغناء ذاتي فلا يطلبون العون من أمريكا أو غيرها من الدول الكافرة أو العميلة للدول الكافرة ، وكذا لا يردون القضايا إلى مجلس الأمن ولا إلى الأمم المتحدة ؛ فإنه لا يرجى من الدول الكافرة أو العميلة للكافرة أن تنصر دين الإسلام : ” وَلَن تَرْضَى عَنكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ” ، وعملهم في حماة وأفغانستان والصومال أكبر شاهد .
الثالث : أن يؤمن التلبيس على عوام المسلمين في القيام مع الحاكم الكافر فيرجع القتال بين المسلمين أنفسهم ، ويترتب على هذا أنه يجب توعية الشعوب قبل دعوتها إلى الجهاد كما فعل النبي – صلى الله عليه وعلى آله وسلم – فإنه لم يقم بالجهاد حتى أذن له ربه ؛ فقال تعالى : ” أذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ ” .
ولا بد قبل الخروج إلى الجهاد وفي أثناء الجهاد أن يستفتى العلماء الأفاضل الراسخون في العلم .
راجع كتاب : ( صعقة الزلزال 2 / 286 ) .
“Kami tidak menasihatkan untuk memberontak kepada pemerintah, meskipun kita sudah melihat kekufuran yang nyata.
Bahkan pemberontakan tidak diperbolehkan kecuali dengan syarat:
1. Kekuatan kaum muslimin mendekati atau seimbang dengan kekuatan musuh dan orang-orang kafir.
Bila ada yang mengatakan,
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu.” Atau dia mengatakan,
“Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah.
Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”
Maka jawabannya:
Bila memang ditemukan mujahid di antara mereka yang memiliki keimanan, kejujuran, dan tekad baja sejumlah seperempat saja dari jumlah orang-orang yang ayat-ayat tadi diturunkan kepada mereka, maka tidak mengapa berjihad.
2. Kaum muslimin tidak membutuhkan (bantuan pihak lain- kecukupan, mandiri) sehingga mereka tidak mencari bantuan dari Amerika ataupun negara kafir yang lain, atau mencari bantuan operasi militer dari negara kafir. Demikian pula mereka tidak mengajukan permasalahan mereka ke Dewan Keamanan dan tidak pula kepada PBB. Karena sejatinya negeri kafir atau operasi militer dari negara kafir tidak bisa diharapkan akan membantu agama Islam. Allah berfirman, “Yahudi dan Nashara tidak akan ridha kepadamu sampai kamu mengikuti agama mereka.”
Intervensi militer mereka di Hamah-Suriah, Afghanistan, dan Somalia menjadi saksi terbesar bagi hal ini.
3. Hendaknya tindakan pemberontakan terhadap pemerintah kafir tersebut tidak memunculkan kekaburan kepada orang-orang awam dari kalangan muslimin, sehingga (bila kesamaran ini terjadi) justru pemberontakan akan berbalik menjadi peperangan antar kaum muslimin sendiri. Konsekuensi dari hal ini adalah, wajib memperingatkan (membangkitkan dan menyampaikan ilmu kepada) rakyat sebelum menyeru mereka untuk berjihad, sebagaimana hal ini dulu dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihiwasallam. Beliau tidak menegakkan jihad sampai diizinkan oleh Rabbnya. Allah ta’ala berfirman,
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena mereka telah dizalimi. Sesungguhnya Allah Mahamampu menolong mereka.”
Dan merupakan suatu keharusan untuk meminta fatwa kepada para ulama besar yang mendalam ilmunya sebelum keluar berjihad dan di tengah-tengah proses jihad fi sabilillah. (Sha’iqatuz Zilzal 2/28).
Kedua, Ulil Amri Tidak Berhukum Dengan Hukum Allah
Jika si penguasa tidak menerapkan hukum islam, karena berkeyakinan bahwa hukum buatan manusia itu sama dengan hukuman buatan Allah atau berkeyakinan bahwa hukum buatan manusia lebih baik daripada hukum buatan Allah, maka si penguasa ini bukan lagi ulil amri dan boleh memberontak kalau memiliki kemampuan.
Akan tetapi, jika si penguasa ini tidak menerapkan hukum Allah, namun dia masih berkeyakinan bahwa hukum Allah lebih baik dan lebih adil, namun karena alasan-alasan tertentu, dia tidak bisa menerapkan hukum Allah, maka dia tidak kafir dan tidak boleh memberontak kepadanya.
Syeikh Bin Baaz rahimahullah ditanya :
الحكام الذين لا يطبقون شرع الله في بلاد الله هل هؤلاء كفار على الإطلاق؟ مع أنهم يعلمون بذلك، وهل هؤلاء لا يجوز الخروج عليهم؟ وهل موالاتهم للمشركين والكفار في مشارق الأرض ومغاربها يكفرهم بذلك؟
Penguasa yang tidak menerapkan syariat Allah di negeri Allah, apakah mereka ini kafir secara mutlak dimana mereka mengetahui akan hal ini? Apakah tidak boleh memberontak kepada mereka? Dan apakah bentuk loyalitas mereka terhadap kaum musyrikin dan kafirin baik di bagian timur dan barat, mereka bisa dianggap kafir karenanya?
Beliau menjawab :
هذا فيه تفصيل عند أهل العلم، وعليهم أن يناصحوهم ويوجهوهم إلى الخير ويعلموهم ما ينفعهم ويدعوهم إلى طاعة الله وطاعة رسوله وإلى تحكيم الشريعة وعليهم المناصحة؛ لأن الخروج يسبب الفتن والبلاء وسفك الدماء بغير حق، ولكن على العلماء والأخيار أن يناصحوا ولاة الأمور ويوجهوهم إلى الخير ويدعوهم إلى تحكيم شريعة الله لعل الله يهديهم بأسباب ذلك،
Dalam hal ini ada perinciannya menurut para ulama. Yang wajib atas mereka adalah menasehati dan mengarahkan penguasa tersebut kepada kebaikan, dan mengajarkan mereka kepada hal-hal yang bermanfaat serta mengajak mereka untuk menaati Allah dan Rasul-Nya, mengajaknya utk berhukum dengan syariat, dan wajib untuk saling menasehati.
Karena pemberontakan itu adalah sebab fitnah, bencana dan tertumpahnya darah tanpa hak. Akan tetapi wajib bagi para ulama dan orang-orang terpilih untuk menasehati ulil amri dan mengarahkan mereka kepada kebaikan, mengajak mereka untuk berhukum dengan syariat Allah agar semoga Allâh memberi mereka petunjuk oleh sebab ini.
والحاكم بغير ما أنزل الله يختلف، فقد يحكم بغير ما أنزل الله ويعتقد أنه يجوز له ذلك، أو أنه أفضل من حكم الله، أو أنه مساوٍ لحكم الله، هذا كفر، وقد يحكم وهو يعرف أنه عاص ولكنه يحكم لأجل أسباب كثيرة؛ إما رشوة، وإلا لأن الجند الذي عنده يطيعونه أو لأسباب أخرى هذا ما يكفر بذلك مثل ما قال ابن عباس: كفر دون كفر وظلم دون ظلم.
أما إذا استحل ذلك ورأى أنه يجوز الحكم بالقوانين وأنها أفضل من حكم الله أو مثل حكم الله أو أنها جائزة، يكون عمله هذا ردة عن الإسلام حتى لو كان ليس بحاكم، حتى لو هو من أحد أفراد الناس، لو قلت إنه يجوز الحكم بغير ما أنزل الله فقد كفرت بذلك، ولو أنك ما أنت بحاكم، ولو أنك ما أنت الرئيس.
Penguasa yg tidak berhukum dengan hukum Allah itu berbeda-beda
Ada kalanya dia berhukum dengan selain hukum Allâh dan meyakini bahwa hal ini diperbolehkan baginya, atau meyakininya lebih utama dari hukum Allâh, atau sama dengan hukum Allah, maka yang demikian ini kafir.
Adakalanya penguasa berhukum dalam keadaan dia tahu bahwa dirinya berdosa, namun ia tetap berhukum lantaran sebab yang bermacam-macam, bisa jadi karena suap, yang mana inilah yang menyebabkan tentaranya menaatinya, ataupun sebab lainnya. Hal ini tidak sampai mengkafirkannya, seperti yang diutarakan oleh Ibnu Abbas : kufrun duna kufrin dan zhulmun duna zhulmin.
Adapun jika ia sampai menghalalkannya, atau beranggapan bolehnya berhukum dengan undang-undang positif atau menganggapnya lebih utama dari hukum Allah, atau sama dengan hukum Allah, atau boleh, maka perbuatannya ini telah murtad dari Islam walaupun orang tersebut bukan lah penguasa, meskipun dia hanyalah seorang individu biasa.
Seandainya kamu mengatakan boleh berhukum dengan dengan selain hukum Allâh, maka kamu telah kafir karenanya. Walaupun kamu bukan penguasa ataupun presiden.
الخروج على الحكم محل نظر فالنبي صلى الله عليه وسلم قال: «إلا أن تروا كفراً بواحاً عندكم من الله فيه برهان» (أخرجه البخاري في كتاب الفتن، باب قول النبي صلى الله عليه وسلم: «سترون..» برقم 7056)، وهذا لا يكون إلا إذا وجدت أمة قوة تستطيع إزالة الحكم الباطل.
أما خروج الأفراد والناس العامة الذين يفسدون ولا يصلحون فلا يجوز خروجهم، هذا يضرون به الناس ولا ينفعونهم.
Melakukan pemberontakan terhadap penguasa itu kondisinya ketat, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Kecuali sampai kalian melihat kekufuran yng nyata, dan kalian memiliki bukti yang nyata akan kekafiran tersebut.”
Dan hal ini juga tdk bisa terealisasi melainkan dengan kekuatan yang dimiliki oleh umat yang mampu utk menggulingkan penguasa yang batil.
Adapun pemberontakan beberapa individu atau orang-orang secara umum, yang berbuat kerusakan dan tidak memberikan kebaikan, Maka tidak boleh memberontak bersama mereka, karena hal ini memadharatkan manusia tdk memberi manfaat. Sumber : https://binbaz.org.sa/fatwas/20165/%D8%A7%
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya :
Apakah hukum taat kepada penguasa yang tidak berhukum kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Beliau menjawab :
Ketaatan kepada penguasa yang tidak berhukum kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya hanya wajib dilakukan pada selain berbuat maksiat kepada Allah dan RasulNya namun tidak wajib memeranginya karena hal itu bahkan tidak boleh kecuali bila sudah mencapai batas kekufuran, maka ketika itu wajib menentangnya dan dia tidak berhak ditaati kaum muslimin.
Dan berhukum kepada selain apa yang ada di dalam Kitabullah dan Sunnah RasulNya mencapai tingkat kekufuran bila mencukupi dua syarat:
1. Mengetahui hukum Allah dan RasulNya. Jika dia tidak mengetahuinya, maka tidak kafir karena menyelisihinya.
2. Faktor yang mendorongnya berhukum kepada selain apa yang diturunkan Allah adalah keyakinan bahwa ia adalah hukum yang tidak relevan lagi dengan masa dan yang selainnya lebih relevan lagi darinya dan lebih berguna bagi para hambaNya.
Dengan dua syarat ini, berhukum kepada selain apa yang diturunkan Allah adalah merupakan kekufuran yang mengeluarkan dari agama ini. Hal ini berdasarkan firmanNya,
“Barangsiapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir.” [Al-Ma’idah/5 : 44]
.
Wewenangnya sebagai penguasa menjadi batal, manusia tidak boleh lagi taat kepadanya, wajib memerangi dan mendongkel kekuasaannya.
Sedangkan bila dia berhukum kepada apa yang diturunkan Allah sementara dia meyakini bahwa berhukum kepadanya adalah wajib dan lebih memberikan maslahat bagi para hambaNya akan tetapi dia menyelisihinya karena terdorong hawa nafsu atau ingin berbuat kezhaliman terhadap orang yang dijatuhi hukuman; maka dia bukan kafir akan tetapi sebagai orang yang fasiq atau zhalim, wewenangnya masih berlaku, menaatinya pada selain berbuat maksiat kepada Allah dan RasulNya masih wajib, tidak boleh memerangi atau mendongkel kekuasaannya dengan paksa (kekuatan) dan tidak boleh pula membangkang terhadapnya karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang pembangkangan terhadap para pemimpin umat kecuali kita melihat kekufuran yang nyata sementara kita memiliki bukti berdasarkan syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala. [Majmu’ Fatawa Wa Rasa’ il Syaikh ibn Utsaimin, Juz.ll, h. 147-148].
Ada sekelompok orang, tidak mentaati penguasa muslim sekalipun dalam perkara yang makruf, dengan alasan penguasa tidak menerapkan hukum Allah secara totalitas. Kalau demikian pendapatnya, keluarlah dan pindahlah dari negeri tersebut.
Syaikh Shalih Al Fauzan hafidzohullôh ditanya:
هناك من يقول إن طاعة ولي الأمر واجب فقط في البلاد الذي يحكم بالشريعة وأن هناك بلدانا أخرى لا تحكم بالشريعة، فما حكم السمع والطاعة في تلك البلاد التي تحكم بالقوانين الوضعية؟
"Ada yang berkata bahwa ketaatan kepada penguasa hanya wajib di negeri yang berhukum dengan syariat Islam. Dan di sana ada negeri-negeri lain yang tidak berhukum dengan syariat Islam, maka bagaimana hukumnya mendengar dan taat pada penguasa di negeri-negeri tersebut, yang mana mereka berhukum dengan hukum buatan manusia?"
Jawab:
إذا لم تطع ولي أمر هذه البلاد، فانتقل منها، انتقل منها، كيف تبقى فيها، وأنت ما تطيع ولي الأمر؟! وتخالف وتعصي، لا تبقى فيها، نعم.
"Jika engkau tidak mau taat penguasa di negeri tersebut, maka pindahlah dari negeri tersebut. Pindah saja. Kenapa masih di sana, sedangkan engkau tidak taat pada penguasanya? Dan engkau menyelisihi serta tidak menurutinya? Maka jangan bertahan di situ. Na'am. Sumber: http://www.alfawzan.af.org.sa/ar/node/14184
AFM
Copas dari berbagai sumber
Bahasan terkait
https://m.facebook.com/story/graphql_permalink/?graphql_id=UzpfSTEwMDAwOTg3ODI4MjE1NToxMjUyMzk2ODA4NDMyOTE3
“Allah ‘Azza Wajalla berfirman:
“Dan ulil amri di antara kalian” [QS An Nisa 59]. Maksudnya, dari kaum muslimin. Maka jika dia penguasa itu muslim, tidak kafir kepada Allah dan juga tidak melakukan salah satu dari pembatal-pembatal keislaman, maka dia adalah ulil amri yang wajib ditaati (Sumber: http://www.alfawzan.af.org.sa/ node/13289).
Namun jika dia melakukan suatu amalan kekafiran yang nyata, yang menyebabkan batal keislamannya, maka dia bukanlah ulil amri yang perlu ditaati dan diperbolehkan memberontak kalau memiliki kemampuan.
Contoh misalkan, dia meninggalkan shalat karena berkeyakinan shalat bukan kewajiban, maka dengan sebab ini menyebabkan kekufurannya. Dengan demikian, dia bukan oleh ulil amri yang perlu ditaati dan boleh memberontak jika memiliki kemampuan.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Sebaik-baik pemimpin-pemimpin kamu adalah dimana kamu mencintainya dan mereka mencintaimu. Kamu mendoakannya dan mereka pun mendoakanmu. Adapun sejelek-jelek pemimpin kamu adalah dimana kamu membencinya dan mereka pun membencimu, kamu melaknatnya dan mereka pun melaknatmu”. Dikatakan : Wahai Rasulullah, apakah kami tidak memeranginya saja dengan pedang ?” Beliau menjawab : “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat di tengah kalian. Apabila kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kamu benci, maka bencilah perbuatannya saja dan jangan melepaskan tangan dari ketaatan” (HR. Muslim dan Ahmad).
Berkata ‘Ubadah bin Ash-Shamit radliyallaahu ‘anhu :
دَعَانَا رَسول الله صَلَى الله عَلَيه وَسَلَمَ فَبَايَعنَاه فَكَانَ فيمَا أَخَذَ عَلَينَا أَن بَايعنا على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا وأن لا ننازع الأمر أهله قال إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyeru kami, maka kami membaiat kepada beliau. Adapun bai’at kami terhadap beliau adalah untuk selalu mendengar dan taat dalam dalam keadaan senang dan benci; dalam keadaan kami sulit dan dalam keadaan mudah; ketika kesewenang-wenangan menimpa kami; dan juga agar kami tidak mencabut perkara (kekuasaan) dari ahlinya (yaitu penguasa). Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Kecuali bila kalian melihat kekufuran yang nyata berdasarkan keterangan dari Allah." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dan Rasulullah shallallahu ’alaihi Wasallam bersabda:
إلا أن تروا كفراً بواحاً عندكم من الله فيه برهان
“(jangan memberontak), kecuali engkau melihat kekufuran yang nyata yang kalian bisa pertanggung-jawabkan kepada Allah buktinya” (HR. Al Bukhari).
Berkata Syekh Ibnu Baz rahimahullah:
إلا إذا رأى المسلمون كفراً بواحاً عندهم من الله فيه برهان فلا بأس أن يخرجوا على هذا السلطان لإزالته إذا كان عندهم قدرة , أما إذا لم يكن عندهم قدرة فلا يخرجوا . أو كان الخروج يسبب شراً أكثر : فليس لهم الخروج ؛ رعاية للمصالح العامة . والقاعدة الشرعية المجْمَع عليها أنه ( لا يجوز إزالة الشر بما هو أشر منه ) ؛ بل يجب درء الشر بما يزيله أو يخففه . أما درء الشر بشر أكثر فلا يجوز بإجماع المسلمين . فإذا كانت هذه الطائفة – التي تريد إزالة هذا السلطان الذي فعل كفراً بواحاً – عندها قدرة تزيله بها وتضع إماماً صالحاً طيباً من دون أن يترتب على هذا فساد كبير على المسلمين وشر أعظم من شر هذا السلطان : فلا بأس , أما إذا كان الخروج يترتب عليه فساد كبير واختلال الأمن وظلم الناس واغتيال من لا يستحقّ الاغتيال إلى غير هذا من الفساد العظيم فهذا لا يجوز » ( الفتاوى 8/203 ) .
“Kecuali, apabila melihat kekafiran yang nyata yang mereka memiliki keterangan dari Allah tentang kekafiran tersebut, kaum muslimin boleh memberontak terhadap penguasa tersebut untuk melengserkan (penguasa itu) apabila memiliki kemampuan. Apabila tidak memiliki kemampuan, mereka tidak bileh memberontak. Atau, kalau pemberontakan tersebut menimbulkan kejelekan yang lebih banyak, mereka tidak boleh memberontak. Hal ini untuk menjaga kemaslahatan umum dan kaidah syara’ yang telah disepakati yaitu “tidak diperbolehkan menghilangkan suatu kejelekan dengan (cara membuat) kejelekan yang lebih jelek daripada kejelekan sebelumnya”. Melainkan, (seseorang) diwajibkan untuk menolak kejelekan dengan (melakukan) sesuatu yang dapat menghilangkan atau meringankan kejelekan tersebut. Adapun menolak kejelekan dengan memunculkan kejelekan yang lebih banyak, hal tersebut tidak diperbolehkan berdasarkan konsensus kaum muslimin.
Sehingga, apabila kelompok tersebut yang ingin melengserkan penguasa yang telah melakukan kekufuran yang nyata memiliki kemampuan untuk melengserkan dan menggantikan (penguasa itu) dengan penguasa yang shalih nan baik, tanpa menimbulkan kerusakan besar bagi kaum muslimin dan kejelekan yang lebih luas daripada kejelekan penguasa tersebut, hal tersebut tidak mengapa.
Akan tetapi, apabila pemberontakan tersebut menimbulkan kerusakan besar, menghilangkan keamanan, (kaum muslimin) menjadi terzalimi, dan dibunuhnya orang-orang yang tidak berhak untuk dibunuh, serta kerusakan-kerusakan besar yang lain, maka (pemberontakan) tidak diperbolehkan” (Fatawa Syaikh Ibnu Baaz 8/203).
Al-Imam al-Muhaddits Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah berkata :
” هذا ولا ننصح بالخروج على الحكام حتى ولو رأينا كفراً بواحاً ، بل لا يجوز الخروج إلا بشروط :
الأول : أن تكون قوة المسلمين مقاربة أو مكافئة لقوة العدو والكافر .
فإن قال قائل : فإن الله يقول : ” وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ ” .
ويقول : ” كَم مِّن فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإذْنِ اللَّهِ ” .
وقوله تعالى : ” الْآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا ۚ فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ۚ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ ” ، فالجواب : أنه إذا وُجد مجاهدون عندهم من الإيمان والصدق والعزيمة ربع ما عند من أنزلت فيهم هذه الآيات فلا بأس بذلك .
الثاني : أن يكون عندهم استغناء ذاتي فلا يطلبون العون من أمريكا أو غيرها من الدول الكافرة أو العميلة للدول الكافرة ، وكذا لا يردون القضايا إلى مجلس الأمن ولا إلى الأمم المتحدة ؛ فإنه لا يرجى من الدول الكافرة أو العميلة للكافرة أن تنصر دين الإسلام : ” وَلَن تَرْضَى عَنكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ” ، وعملهم في حماة وأفغانستان والصومال أكبر شاهد .
الثالث : أن يؤمن التلبيس على عوام المسلمين في القيام مع الحاكم الكافر فيرجع القتال بين المسلمين أنفسهم ، ويترتب على هذا أنه يجب توعية الشعوب قبل دعوتها إلى الجهاد كما فعل النبي – صلى الله عليه وعلى آله وسلم – فإنه لم يقم بالجهاد حتى أذن له ربه ؛ فقال تعالى : ” أذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ ” .
ولا بد قبل الخروج إلى الجهاد وفي أثناء الجهاد أن يستفتى العلماء الأفاضل الراسخون في العلم .
راجع كتاب : ( صعقة الزلزال 2 / 286 ) .
“Kami tidak menasihatkan untuk memberontak kepada pemerintah, meskipun kita sudah melihat kekufuran yang nyata.
Bahkan pemberontakan tidak diperbolehkan kecuali dengan syarat:
1. Kekuatan kaum muslimin mendekati atau seimbang dengan kekuatan musuh dan orang-orang kafir.
Bila ada yang mengatakan,
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu.” Atau dia mengatakan,
“Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah.
Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”
Maka jawabannya:
Bila memang ditemukan mujahid di antara mereka yang memiliki keimanan, kejujuran, dan tekad baja sejumlah seperempat saja dari jumlah orang-orang yang ayat-ayat tadi diturunkan kepada mereka, maka tidak mengapa berjihad.
2. Kaum muslimin tidak membutuhkan (bantuan pihak lain- kecukupan, mandiri) sehingga mereka tidak mencari bantuan dari Amerika ataupun negara kafir yang lain, atau mencari bantuan operasi militer dari negara kafir. Demikian pula mereka tidak mengajukan permasalahan mereka ke Dewan Keamanan dan tidak pula kepada PBB. Karena sejatinya negeri kafir atau operasi militer dari negara kafir tidak bisa diharapkan akan membantu agama Islam. Allah berfirman, “Yahudi dan Nashara tidak akan ridha kepadamu sampai kamu mengikuti agama mereka.”
Intervensi militer mereka di Hamah-Suriah, Afghanistan, dan Somalia menjadi saksi terbesar bagi hal ini.
3. Hendaknya tindakan pemberontakan terhadap pemerintah kafir tersebut tidak memunculkan kekaburan kepada orang-orang awam dari kalangan muslimin, sehingga (bila kesamaran ini terjadi) justru pemberontakan akan berbalik menjadi peperangan antar kaum muslimin sendiri. Konsekuensi dari hal ini adalah, wajib memperingatkan (membangkitkan dan menyampaikan ilmu kepada) rakyat sebelum menyeru mereka untuk berjihad, sebagaimana hal ini dulu dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihiwasallam. Beliau tidak menegakkan jihad sampai diizinkan oleh Rabbnya. Allah ta’ala berfirman,
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena mereka telah dizalimi. Sesungguhnya Allah Mahamampu menolong mereka.”
Dan merupakan suatu keharusan untuk meminta fatwa kepada para ulama besar yang mendalam ilmunya sebelum keluar berjihad dan di tengah-tengah proses jihad fi sabilillah. (Sha’iqatuz Zilzal 2/28).
Kedua, Ulil Amri Tidak Berhukum Dengan Hukum Allah
الحكام الذين لا يطبقون شرع الله في بلاد الله هل هؤلاء كفار على الإطلاق؟ مع أنهم يعلمون بذلك، وهل هؤلاء لا يجوز الخروج عليهم؟ وهل موالاتهم للمشركين والكفار في مشارق الأرض ومغاربها يكفرهم بذلك؟
Penguasa yang tidak menerapkan syariat Allah di negeri Allah, apakah mereka ini kafir secara mutlak dimana mereka mengetahui akan hal ini? Apakah tidak boleh memberontak kepada mereka? Dan apakah bentuk loyalitas mereka terhadap kaum musyrikin dan kafirin baik di bagian timur dan barat, mereka bisa dianggap kafir karenanya?
Beliau menjawab :
هذا فيه تفصيل عند أهل العلم، وعليهم أن يناصحوهم ويوجهوهم إلى الخير ويعلموهم ما ينفعهم ويدعوهم إلى طاعة الله وطاعة رسوله وإلى تحكيم الشريعة وعليهم المناصحة؛ لأن الخروج يسبب الفتن والبلاء وسفك الدماء بغير حق، ولكن على العلماء والأخيار أن يناصحوا ولاة الأمور ويوجهوهم إلى الخير ويدعوهم إلى تحكيم شريعة الله لعل الله يهديهم بأسباب ذلك،
Penguasa yg tidak berhukum dengan hukum Allah itu berbeda-beda
Ada kalanya dia berhukum dengan selain hukum Allâh dan meyakini bahwa hal ini diperbolehkan baginya, atau meyakininya lebih utama dari hukum Allâh, atau sama dengan hukum Allah, maka yang demikian ini kafir.
Adakalanya penguasa berhukum dalam keadaan dia tahu bahwa dirinya berdosa, namun ia tetap berhukum lantaran sebab yang bermacam-macam, bisa jadi karena suap, yang mana inilah yang menyebabkan tentaranya menaatinya, ataupun sebab lainnya. Hal ini tidak sampai mengkafirkannya, seperti yang diutarakan oleh Ibnu Abbas : kufrun duna kufrin dan zhulmun duna zhulmin.
Adapun jika ia sampai menghalalkannya, atau beranggapan bolehnya berhukum dengan undang-undang positif atau menganggapnya lebih utama dari hukum Allah, atau sama dengan hukum Allah, atau boleh, maka perbuatannya ini telah murtad dari Islam walaupun orang tersebut bukan lah penguasa, meskipun dia hanyalah seorang individu biasa.
Seandainya kamu mengatakan boleh berhukum dengan dengan selain hukum Allâh, maka kamu telah kafir karenanya. Walaupun kamu bukan penguasa ataupun presiden.
الخروج على الحكم محل نظر فالنبي صلى الله عليه وسلم قال: «إلا أن تروا كفراً بواحاً عندكم من الله فيه برهان» (أخرجه البخاري في كتاب الفتن، باب قول النبي صلى الله عليه وسلم: «سترون..» برقم 7056)، وهذا لا يكون إلا إذا وجدت أمة قوة تستطيع إزالة الحكم الباطل.
أما خروج الأفراد والناس العامة الذين يفسدون ولا يصلحون فلا يجوز خروجهم، هذا يضرون به الناس ولا ينفعونهم.
Melakukan pemberontakan terhadap penguasa itu kondisinya ketat, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Kecuali sampai kalian melihat kekufuran yng nyata, dan kalian memiliki bukti yang nyata akan kekafiran tersebut.”
Dan hal ini juga tdk bisa terealisasi melainkan dengan kekuatan yang dimiliki oleh umat yang mampu utk menggulingkan penguasa yang batil.
Adapun pemberontakan beberapa individu atau orang-orang secara umum, yang berbuat kerusakan dan tidak memberikan kebaikan, Maka tidak boleh memberontak bersama mereka, karena hal ini memadharatkan manusia tdk memberi manfaat. Sumber : https://binbaz.org.sa/fatwas/ 20165/%D8%A7%
Syaikh Shalih Al Fauzan hafidzohullôh ditanya:
هناك من يقول إن طاعة ولي الأمر واجب فقط في البلاد الذي يحكم بالشريعة وأن هناك بلدانا أخرى لا تحكم بالشريعة، فما حكم السمع والطاعة في تلك البلاد التي تحكم بالقوانين الوضعية؟
"Ada yang berkata bahwa ketaatan kepada penguasa hanya wajib di negeri yang berhukum dengan syariat Islam. Dan di sana ada negeri-negeri lain yang tidak berhukum dengan syariat Islam, maka bagaimana hukumnya mendengar dan taat pada penguasa di negeri-negeri tersebut, yang mana mereka berhukum dengan hukum buatan manusia?"
Jawab:
إذا لم تطع ولي أمر هذه البلاد، فانتقل منها، انتقل منها، كيف تبقى فيها، وأنت ما تطيع ولي الأمر؟! وتخالف وتعصي، لا تبقى فيها، نعم.
"Jika engkau tidak mau taat penguasa di negeri tersebut, maka pindahlah dari negeri tersebut. Pindah saja. Kenapa masih di sana, sedangkan engkau tidak taat pada penguasanya? Dan engkau menyelisihi serta tidak menurutinya? Maka jangan bertahan di situ. Na'am. Sumber:
http://www.alfawzan.af.org.sa/ar/node/14184
Oleh : Abu Fadhel Majalengka
Ada dua pembahasan besar dalam judul di atas, yang memerlukan kesabaran dalam membaca tulisan kali ini, karena mesti memerlukan penjelasan yang panjang lebar.
Pertama Ulil Amri.
Jika seorang pemimpin itu muslim dan juga tidak melakukan salah satu dari pembatal-pembatal keislaman, maka dia adalah ulil amri yang wajib ditaati.
Syekh Sholeh Al Fauzan hafidzohullôh ditanya tentang ulil amri.
هذا التأصيل خاصٌ بولاة الأمر الذين يحكمون بالشريعة كما في هذه البلاد المباركة ، أم هو عام في جميع ولاة أمور المسلمين حتى الذين لا يحكمون بشرع الله ويبدلون الشريعة بالقوانين الوضعية ، أفيدونا ؟
“Apakah prinsip ini, khusus untuk untuk penguasa yang berhukum dengan syariat Allah sebagaimana negeri kita yang diberkahi ini, ataukah umum untuk pemerintah kaum muslimin bahkan yang tidak berhukum dengan syariat Allah dan menggantinya dengan hukum buatan manusia?”
Beliau menjawab :
الله جل وعلا قال : (وأولي الأمر منكم ) [النساء:59]، أي من المسلمين ، فإذا كان ولي الأمر مسلماً لم يكفر بالله ولم يرتكب ناقضاً من نواقض الإسلام فإنه ولي أمر للمسلمين تجب طاعته . نعم .
“Allah ‘Azza Wajalla berfirman:
“Dan ulil amri di antara kalian” [QS An Nisa 59]. Maksudnya, dari kaum muslimin. Maka jika dia penguasa itu muslim, tidak kafir kepada Allah dan juga tidak melakukan salah satu dari pembatal-pembatal keislaman, maka dia adalah ulil amri yang wajib ditaati (Sumber: http://www.alfawzan.af.org.sa/
Namun jika dia melakukan suatu amalan kekafiran yang nyata, yang menyebabkan batal keislamannya, maka dia bukanlah ulil amri yang perlu ditaati dan diperbolehkan memberontak kalau memiliki kemampuan.
Contoh misalkan, dia meninggalkan shalat karena berkeyakinan shalat bukan kewajiban, maka dengan sebab ini menyebabkan kekufurannya. Dengan demikian, dia bukan oleh ulil amri yang perlu ditaati dan boleh memberontak jika memiliki kemampuan.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Sebaik-baik pemimpin-pemimpin kamu adalah dimana kamu mencintainya dan mereka mencintaimu. Kamu mendoakannya dan mereka pun mendoakanmu. Adapun sejelek-jelek pemimpin kamu adalah dimana kamu membencinya dan mereka pun membencimu, kamu melaknatnya dan mereka pun melaknatmu”. Dikatakan : Wahai Rasulullah, apakah kami tidak memeranginya saja dengan pedang ?” Beliau menjawab : “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat di tengah kalian. Apabila kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kamu benci, maka bencilah perbuatannya saja dan jangan melepaskan tangan dari ketaatan” (HR. Muslim dan Ahmad).
Berkata ‘Ubadah bin Ash-Shamit radliyallaahu ‘anhu :
دَعَانَا رَسول الله صَلَى الله عَلَيه وَسَلَمَ فَبَايَعنَاه فَكَانَ فيمَا أَخَذَ عَلَينَا أَن بَايعنا على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا وأن لا ننازع الأمر أهله قال إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyeru kami, maka kami membaiat kepada beliau. Adapun bai’at kami terhadap beliau adalah untuk selalu mendengar dan taat dalam dalam keadaan senang dan benci; dalam keadaan kami sulit dan dalam keadaan mudah; ketika kesewenang-wenangan menimpa kami; dan juga agar kami tidak mencabut perkara (kekuasaan) dari ahlinya (yaitu penguasa). Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Kecuali bila kalian melihat kekufuran yang nyata berdasarkan keterangan dari Allah." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dan Rasulullah shallallahu ’alaihi Wasallam bersabda:
إلا أن تروا كفراً بواحاً عندكم من الله فيه برهان
“(jangan memberontak), kecuali engkau melihat kekufuran yang nyata yang kalian bisa pertanggung-jawabkan kepada Allah buktinya” (HR. Al Bukhari).
Berkata Syekh Ibnu Baz rahimahullah:
إلا إذا رأى المسلمون كفراً بواحاً عندهم من الله فيه برهان فلا بأس أن يخرجوا على هذا السلطان لإزالته إذا كان عندهم قدرة , أما إذا لم يكن عندهم قدرة فلا يخرجوا . أو كان الخروج يسبب شراً أكثر : فليس لهم الخروج ؛ رعاية للمصالح العامة . والقاعدة الشرعية المجْمَع عليها أنه ( لا يجوز إزالة الشر بما هو أشر منه ) ؛ بل يجب درء الشر بما يزيله أو يخففه . أما درء الشر بشر أكثر فلا يجوز بإجماع المسلمين . فإذا كانت هذه الطائفة – التي تريد إزالة هذا السلطان الذي فعل كفراً بواحاً – عندها قدرة تزيله بها وتضع إماماً صالحاً طيباً من دون أن يترتب على هذا فساد كبير على المسلمين وشر أعظم من شر هذا السلطان : فلا بأس , أما إذا كان الخروج يترتب عليه فساد كبير واختلال الأمن وظلم الناس واغتيال من لا يستحقّ الاغتيال إلى غير هذا من الفساد العظيم فهذا لا يجوز » ( الفتاوى 8/203 ) .
“Kecuali, apabila melihat kekafiran yang nyata yang mereka memiliki keterangan dari Allah tentang kekafiran tersebut, kaum muslimin boleh memberontak terhadap penguasa tersebut untuk melengserkan (penguasa itu) apabila memiliki kemampuan. Apabila tidak memiliki kemampuan, mereka tidak bileh memberontak. Atau, kalau pemberontakan tersebut menimbulkan kejelekan yang lebih banyak, mereka tidak boleh memberontak. Hal ini untuk menjaga kemaslahatan umum dan kaidah syara’ yang telah disepakati yaitu “tidak diperbolehkan menghilangkan suatu kejelekan dengan (cara membuat) kejelekan yang lebih jelek daripada kejelekan sebelumnya”. Melainkan, (seseorang) diwajibkan untuk menolak kejelekan dengan (melakukan) sesuatu yang dapat menghilangkan atau meringankan kejelekan tersebut. Adapun menolak kejelekan dengan memunculkan kejelekan yang lebih banyak, hal tersebut tidak diperbolehkan berdasarkan konsensus kaum muslimin.
Sehingga, apabila kelompok tersebut yang ingin melengserkan penguasa yang telah melakukan kekufuran yang nyata memiliki kemampuan untuk melengserkan dan menggantikan (penguasa itu) dengan penguasa yang shalih nan baik, tanpa menimbulkan kerusakan besar bagi kaum muslimin dan kejelekan yang lebih luas daripada kejelekan penguasa tersebut, hal tersebut tidak mengapa.
Akan tetapi, apabila pemberontakan tersebut menimbulkan kerusakan besar, menghilangkan keamanan, (kaum muslimin) menjadi terzalimi, dan dibunuhnya orang-orang yang tidak berhak untuk dibunuh, serta kerusakan-kerusakan besar yang lain, maka (pemberontakan) tidak diperbolehkan” (Fatawa Syaikh Ibnu Baaz 8/203).
Al-Imam al-Muhaddits Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah berkata :
” هذا ولا ننصح بالخروج على الحكام حتى ولو رأينا كفراً بواحاً ، بل لا يجوز الخروج إلا بشروط :
الأول : أن تكون قوة المسلمين مقاربة أو مكافئة لقوة العدو والكافر .
فإن قال قائل : فإن الله يقول : ” وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ ” .
ويقول : ” كَم مِّن فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإذْنِ اللَّهِ ” .
وقوله تعالى : ” الْآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا ۚ فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ۚ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ ” ، فالجواب : أنه إذا وُجد مجاهدون عندهم من الإيمان والصدق والعزيمة ربع ما عند من أنزلت فيهم هذه الآيات فلا بأس بذلك .
الثاني : أن يكون عندهم استغناء ذاتي فلا يطلبون العون من أمريكا أو غيرها من الدول الكافرة أو العميلة للدول الكافرة ، وكذا لا يردون القضايا إلى مجلس الأمن ولا إلى الأمم المتحدة ؛ فإنه لا يرجى من الدول الكافرة أو العميلة للكافرة أن تنصر دين الإسلام : ” وَلَن تَرْضَى عَنكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ” ، وعملهم في حماة وأفغانستان والصومال أكبر شاهد .
الثالث : أن يؤمن التلبيس على عوام المسلمين في القيام مع الحاكم الكافر فيرجع القتال بين المسلمين أنفسهم ، ويترتب على هذا أنه يجب توعية الشعوب قبل دعوتها إلى الجهاد كما فعل النبي – صلى الله عليه وعلى آله وسلم – فإنه لم يقم بالجهاد حتى أذن له ربه ؛ فقال تعالى : ” أذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ ” .
ولا بد قبل الخروج إلى الجهاد وفي أثناء الجهاد أن يستفتى العلماء الأفاضل الراسخون في العلم .
راجع كتاب : ( صعقة الزلزال 2 / 286 ) .
“Kami tidak menasihatkan untuk memberontak kepada pemerintah, meskipun kita sudah melihat kekufuran yang nyata.
Bahkan pemberontakan tidak diperbolehkan kecuali dengan syarat:
1. Kekuatan kaum muslimin mendekati atau seimbang dengan kekuatan musuh dan orang-orang kafir.
Bila ada yang mengatakan,
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu.” Atau dia mengatakan,
“Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah.
Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”
Maka jawabannya:
Bila memang ditemukan mujahid di antara mereka yang memiliki keimanan, kejujuran, dan tekad baja sejumlah seperempat saja dari jumlah orang-orang yang ayat-ayat tadi diturunkan kepada mereka, maka tidak mengapa berjihad.
2. Kaum muslimin tidak membutuhkan (bantuan pihak lain- kecukupan, mandiri) sehingga mereka tidak mencari bantuan dari Amerika ataupun negara kafir yang lain, atau mencari bantuan operasi militer dari negara kafir. Demikian pula mereka tidak mengajukan permasalahan mereka ke Dewan Keamanan dan tidak pula kepada PBB. Karena sejatinya negeri kafir atau operasi militer dari negara kafir tidak bisa diharapkan akan membantu agama Islam. Allah berfirman, “Yahudi dan Nashara tidak akan ridha kepadamu sampai kamu mengikuti agama mereka.”
Intervensi militer mereka di Hamah-Suriah, Afghanistan, dan Somalia menjadi saksi terbesar bagi hal ini.
3. Hendaknya tindakan pemberontakan terhadap pemerintah kafir tersebut tidak memunculkan kekaburan kepada orang-orang awam dari kalangan muslimin, sehingga (bila kesamaran ini terjadi) justru pemberontakan akan berbalik menjadi peperangan antar kaum muslimin sendiri. Konsekuensi dari hal ini adalah, wajib memperingatkan (membangkitkan dan menyampaikan ilmu kepada) rakyat sebelum menyeru mereka untuk berjihad, sebagaimana hal ini dulu dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihiwasallam. Beliau tidak menegakkan jihad sampai diizinkan oleh Rabbnya. Allah ta’ala berfirman,
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena mereka telah dizalimi. Sesungguhnya Allah Mahamampu menolong mereka.”
Dan merupakan suatu keharusan untuk meminta fatwa kepada para ulama besar yang mendalam ilmunya sebelum keluar berjihad dan di tengah-tengah proses jihad fi sabilillah. (Sha’iqatuz Zilzal 2/28).
Kedua, Ulil Amri Tidak Berhukum Dengan Hukum Allah
Jika si penguasa tidak menerapkan hukum islam, karena berkeyakinan bahwa hukum buatan manusia itu sama dengan hukuman buatan Allah atau berkeyakinan bahwa hukum buatan manusia lebih baik daripada hukum buatan Allah, maka si penguasa ini bukan lagi ulil amri dan boleh memberontak kalau memiliki kemampuan.
Akan tetapi, jika si penguasa ini tidak menerapkan hukum Allah, namun dia masih berkeyakinan bahwa hukum Allah lebih baik dan lebih adil, namun karena alasan-alasan tertentu, dia tidak bisa menerapkan hukum Allah, maka dia tidak kafir dan tidak boleh memberontak kepadanya.
Syeikh Bin Baaz rahimahullah ditanya :
Akan tetapi, jika si penguasa ini tidak menerapkan hukum Allah, namun dia masih berkeyakinan bahwa hukum Allah lebih baik dan lebih adil, namun karena alasan-alasan tertentu, dia tidak bisa menerapkan hukum Allah, maka dia tidak kafir dan tidak boleh memberontak kepadanya.
Syeikh Bin Baaz rahimahullah ditanya :
الحكام الذين لا يطبقون شرع الله في بلاد الله هل هؤلاء كفار على الإطلاق؟ مع أنهم يعلمون بذلك، وهل هؤلاء لا يجوز الخروج عليهم؟ وهل موالاتهم للمشركين والكفار في مشارق الأرض ومغاربها يكفرهم بذلك؟
Penguasa yang tidak menerapkan syariat Allah di negeri Allah, apakah mereka ini kafir secara mutlak dimana mereka mengetahui akan hal ini? Apakah tidak boleh memberontak kepada mereka? Dan apakah bentuk loyalitas mereka terhadap kaum musyrikin dan kafirin baik di bagian timur dan barat, mereka bisa dianggap kafir karenanya?
Beliau menjawab :
هذا فيه تفصيل عند أهل العلم، وعليهم أن يناصحوهم ويوجهوهم إلى الخير ويعلموهم ما ينفعهم ويدعوهم إلى طاعة الله وطاعة رسوله وإلى تحكيم الشريعة وعليهم المناصحة؛ لأن الخروج يسبب الفتن والبلاء وسفك الدماء بغير حق، ولكن على العلماء والأخيار أن يناصحوا ولاة الأمور ويوجهوهم إلى الخير ويدعوهم إلى تحكيم شريعة الله لعل الله يهديهم بأسباب ذلك،
Dalam hal ini ada perinciannya menurut para ulama. Yang wajib atas mereka adalah menasehati dan mengarahkan penguasa tersebut kepada kebaikan, dan mengajarkan mereka kepada hal-hal yang bermanfaat serta mengajak mereka untuk menaati Allah dan Rasul-Nya, mengajaknya utk berhukum dengan syariat, dan wajib untuk saling menasehati.
Karena pemberontakan itu adalah sebab fitnah, bencana dan tertumpahnya darah tanpa hak. Akan tetapi wajib bagi para ulama dan orang-orang terpilih untuk menasehati ulil amri dan mengarahkan mereka kepada kebaikan, mengajak mereka untuk berhukum dengan syariat Allah agar semoga Allâh memberi mereka petunjuk oleh sebab ini.
Karena pemberontakan itu adalah sebab fitnah, bencana dan tertumpahnya darah tanpa hak. Akan tetapi wajib bagi para ulama dan orang-orang terpilih untuk menasehati ulil amri dan mengarahkan mereka kepada kebaikan, mengajak mereka untuk berhukum dengan syariat Allah agar semoga Allâh memberi mereka petunjuk oleh sebab ini.
والحاكم بغير ما أنزل الله يختلف، فقد يحكم بغير ما أنزل الله ويعتقد أنه يجوز له ذلك، أو أنه أفضل من حكم الله، أو أنه مساوٍ لحكم الله، هذا كفر، وقد يحكم وهو يعرف أنه عاص ولكنه يحكم لأجل أسباب كثيرة؛ إما رشوة، وإلا لأن الجند الذي عنده يطيعونه أو لأسباب أخرى هذا ما يكفر بذلك مثل ما قال ابن عباس: كفر دون كفر وظلم دون ظلم.
أما إذا استحل ذلك ورأى أنه يجوز الحكم بالقوانين وأنها أفضل من حكم الله أو مثل حكم الله أو أنها جائزة، يكون عمله هذا ردة عن الإسلام حتى لو كان ليس بحاكم، حتى لو هو من أحد أفراد الناس، لو قلت إنه يجوز الحكم بغير ما أنزل الله فقد كفرت بذلك، ولو أنك ما أنت بحاكم، ولو أنك ما أنت الرئيس.
أما إذا استحل ذلك ورأى أنه يجوز الحكم بالقوانين وأنها أفضل من حكم الله أو مثل حكم الله أو أنها جائزة، يكون عمله هذا ردة عن الإسلام حتى لو كان ليس بحاكم، حتى لو هو من أحد أفراد الناس، لو قلت إنه يجوز الحكم بغير ما أنزل الله فقد كفرت بذلك، ولو أنك ما أنت بحاكم، ولو أنك ما أنت الرئيس.
Penguasa yg tidak berhukum dengan hukum Allah itu berbeda-beda
Ada kalanya dia berhukum dengan selain hukum Allâh dan meyakini bahwa hal ini diperbolehkan baginya, atau meyakininya lebih utama dari hukum Allâh, atau sama dengan hukum Allah, maka yang demikian ini kafir.
Adakalanya penguasa berhukum dalam keadaan dia tahu bahwa dirinya berdosa, namun ia tetap berhukum lantaran sebab yang bermacam-macam, bisa jadi karena suap, yang mana inilah yang menyebabkan tentaranya menaatinya, ataupun sebab lainnya. Hal ini tidak sampai mengkafirkannya, seperti yang diutarakan oleh Ibnu Abbas : kufrun duna kufrin dan zhulmun duna zhulmin.
Adapun jika ia sampai menghalalkannya, atau beranggapan bolehnya berhukum dengan undang-undang positif atau menganggapnya lebih utama dari hukum Allah, atau sama dengan hukum Allah, atau boleh, maka perbuatannya ini telah murtad dari Islam walaupun orang tersebut bukan lah penguasa, meskipun dia hanyalah seorang individu biasa.
Seandainya kamu mengatakan boleh berhukum dengan dengan selain hukum Allâh, maka kamu telah kafir karenanya. Walaupun kamu bukan penguasa ataupun presiden.
الخروج على الحكم محل نظر فالنبي صلى الله عليه وسلم قال: «إلا أن تروا كفراً بواحاً عندكم من الله فيه برهان» (أخرجه البخاري في كتاب الفتن، باب قول النبي صلى الله عليه وسلم: «سترون..» برقم 7056)، وهذا لا يكون إلا إذا وجدت أمة قوة تستطيع إزالة الحكم الباطل.
أما خروج الأفراد والناس العامة الذين يفسدون ولا يصلحون فلا يجوز خروجهم، هذا يضرون به الناس ولا ينفعونهم.
Melakukan pemberontakan terhadap penguasa itu kondisinya ketat, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Kecuali sampai kalian melihat kekufuran yng nyata, dan kalian memiliki bukti yang nyata akan kekafiran tersebut.”
Dan hal ini juga tdk bisa terealisasi melainkan dengan kekuatan yang dimiliki oleh umat yang mampu utk menggulingkan penguasa yang batil.
Adapun pemberontakan beberapa individu atau orang-orang secara umum, yang berbuat kerusakan dan tidak memberikan kebaikan, Maka tidak boleh memberontak bersama mereka, karena hal ini memadharatkan manusia tdk memberi manfaat. Sumber : https://binbaz.org.sa/fatwas/
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya :
Apakah hukum taat kepada penguasa yang tidak berhukum kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Beliau menjawab :
Ketaatan kepada penguasa yang tidak berhukum kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya hanya wajib dilakukan pada selain berbuat maksiat kepada Allah dan RasulNya namun tidak wajib memeranginya karena hal itu bahkan tidak boleh kecuali bila sudah mencapai batas kekufuran, maka ketika itu wajib menentangnya dan dia tidak berhak ditaati kaum muslimin.
Dan berhukum kepada selain apa yang ada di dalam Kitabullah dan Sunnah RasulNya mencapai tingkat kekufuran bila mencukupi dua syarat:
1. Mengetahui hukum Allah dan RasulNya. Jika dia tidak mengetahuinya, maka tidak kafir karena menyelisihinya.
2. Faktor yang mendorongnya berhukum kepada selain apa yang diturunkan Allah adalah keyakinan bahwa ia adalah hukum yang tidak relevan lagi dengan masa dan yang selainnya lebih relevan lagi darinya dan lebih berguna bagi para hambaNya.
Dengan dua syarat ini, berhukum kepada selain apa yang diturunkan Allah adalah merupakan kekufuran yang mengeluarkan dari agama ini. Hal ini berdasarkan firmanNya,
“Barangsiapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir.” [Al-Ma’idah/5 : 44]
.
Wewenangnya sebagai penguasa menjadi batal, manusia tidak boleh lagi taat kepadanya, wajib memerangi dan mendongkel kekuasaannya.
Sedangkan bila dia berhukum kepada apa yang diturunkan Allah sementara dia meyakini bahwa berhukum kepadanya adalah wajib dan lebih memberikan maslahat bagi para hambaNya akan tetapi dia menyelisihinya karena terdorong hawa nafsu atau ingin berbuat kezhaliman terhadap orang yang dijatuhi hukuman; maka dia bukan kafir akan tetapi sebagai orang yang fasiq atau zhalim, wewenangnya masih berlaku, menaatinya pada selain berbuat maksiat kepada Allah dan RasulNya masih wajib, tidak boleh memerangi atau mendongkel kekuasaannya dengan paksa (kekuatan) dan tidak boleh pula membangkang terhadapnya karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang pembangkangan terhadap para pemimpin umat kecuali kita melihat kekufuran yang nyata sementara kita memiliki bukti berdasarkan syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala. [Majmu’ Fatawa Wa Rasa’ il Syaikh ibn Utsaimin, Juz.ll, h. 147-148].
Beliau menjawab :
Ketaatan kepada penguasa yang tidak berhukum kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya hanya wajib dilakukan pada selain berbuat maksiat kepada Allah dan RasulNya namun tidak wajib memeranginya karena hal itu bahkan tidak boleh kecuali bila sudah mencapai batas kekufuran, maka ketika itu wajib menentangnya dan dia tidak berhak ditaati kaum muslimin.
Dan berhukum kepada selain apa yang ada di dalam Kitabullah dan Sunnah RasulNya mencapai tingkat kekufuran bila mencukupi dua syarat:
1. Mengetahui hukum Allah dan RasulNya. Jika dia tidak mengetahuinya, maka tidak kafir karena menyelisihinya.
2. Faktor yang mendorongnya berhukum kepada selain apa yang diturunkan Allah adalah keyakinan bahwa ia adalah hukum yang tidak relevan lagi dengan masa dan yang selainnya lebih relevan lagi darinya dan lebih berguna bagi para hambaNya.
Dengan dua syarat ini, berhukum kepada selain apa yang diturunkan Allah adalah merupakan kekufuran yang mengeluarkan dari agama ini. Hal ini berdasarkan firmanNya,
“Barangsiapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir.” [Al-Ma’idah/5 : 44]
.
Wewenangnya sebagai penguasa menjadi batal, manusia tidak boleh lagi taat kepadanya, wajib memerangi dan mendongkel kekuasaannya.
Sedangkan bila dia berhukum kepada apa yang diturunkan Allah sementara dia meyakini bahwa berhukum kepadanya adalah wajib dan lebih memberikan maslahat bagi para hambaNya akan tetapi dia menyelisihinya karena terdorong hawa nafsu atau ingin berbuat kezhaliman terhadap orang yang dijatuhi hukuman; maka dia bukan kafir akan tetapi sebagai orang yang fasiq atau zhalim, wewenangnya masih berlaku, menaatinya pada selain berbuat maksiat kepada Allah dan RasulNya masih wajib, tidak boleh memerangi atau mendongkel kekuasaannya dengan paksa (kekuatan) dan tidak boleh pula membangkang terhadapnya karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang pembangkangan terhadap para pemimpin umat kecuali kita melihat kekufuran yang nyata sementara kita memiliki bukti berdasarkan syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala. [Majmu’ Fatawa Wa Rasa’ il Syaikh ibn Utsaimin, Juz.ll, h. 147-148].
Ada sekelompok orang, tidak mentaati penguasa muslim sekalipun dalam perkara yang makruf, dengan alasan penguasa tidak menerapkan hukum Allah secara totalitas. Kalau demikian pendapatnya, keluarlah dan pindahlah dari negeri tersebut.
Syaikh Shalih Al Fauzan hafidzohullôh ditanya:
هناك من يقول إن طاعة ولي الأمر واجب فقط في البلاد الذي يحكم بالشريعة وأن هناك بلدانا أخرى لا تحكم بالشريعة، فما حكم السمع والطاعة في تلك البلاد التي تحكم بالقوانين الوضعية؟
"Ada yang berkata bahwa ketaatan kepada penguasa hanya wajib di negeri yang berhukum dengan syariat Islam. Dan di sana ada negeri-negeri lain yang tidak berhukum dengan syariat Islam, maka bagaimana hukumnya mendengar dan taat pada penguasa di negeri-negeri tersebut, yang mana mereka berhukum dengan hukum buatan manusia?"
Jawab:
إذا لم تطع ولي أمر هذه البلاد، فانتقل منها، انتقل منها، كيف تبقى فيها، وأنت ما تطيع ولي الأمر؟! وتخالف وتعصي، لا تبقى فيها، نعم.
"Jika engkau tidak mau taat penguasa di negeri tersebut, maka pindahlah dari negeri tersebut. Pindah saja. Kenapa masih di sana, sedangkan engkau tidak taat pada penguasanya? Dan engkau menyelisihi serta tidak menurutinya? Maka jangan bertahan di situ. Na'am. Sumber:
http://www.alfawzan.af.org.sa/ar/node/14184
Komentar
Posting Komentar