Mentaati Pemimpin Tidak Mutlak
MENTAATI PEMIMPIN TIDAK MUTLAK
Oleh : Abu Fadhel Majalengka
Allah Ta'ala memerintahkan kepada kaum muslimin untuk mentaati Allah, RasulNya dan ulil amri (pemimpin).
Mentaati Allah dan RasulNya adalah mutlak, tidak bisa ditawar-tawar lagi, tapi kalau kepada pemimpin, hanya kepada perkara-perkara yang baik saja.
Allah Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (النساء : 59).
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An Nisa : 59).
Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abdullah ibnu Huzafah ibnu Qais ibnu Addi ketika ia diutus oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memimpin suatu pasukan khusus. (Tafsir Ibnu Katsir).
Berkata Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu anhu :
بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَرِيَّةً، وَاسْتَعْمَلَ عَلَيْهِمْ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ، فَلَمَّا خَرَجُوا وَجَد عَلَيْهِمْ فِي شَيْءٍ. قَالَ: فَقَالَ لَهُمْ: أَلَيْسَ قَدْ أَمَرَكُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُطِيعُونِي؟ قَالُوا: بَلَى، قَالَ: اجْمَعُوا لِي حَطَبًا. ثُمَّ دَعَا بِنَارٍ فَأَضْرَمَهَا فِيهِ، ثُمَّ قَالَ: عَزَمْتُ عَلَيْكُمْ لَتَدْخُلُنَّهَا. [قَالَ: فَهَمَّ الْقَوْمُ أَنْ يَدْخُلُوهَا] قَالَ: فَقَالَ لَهُمْ شَابٌّ مِنْهُمْ: إِنَّمَا فَرَرْتُمْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ النَّارِ، فَلَا تَعْجَلُوا حَتَّى تَلْقَوْا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَإِنَّ أَمَرَكُمْ أَنْ تَدْخُلُوهَا فَادْخُلُوهَا. قَالَ: فَرَجَعُوا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرُوهُ، فَقَالَ لَهُمْ: "لَوْ دَخَلْتُمُوهَا مَا خَرَجْتُمْ مِنْهَا أَبَدًا؛ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ".
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan suatu pasukan khusus, dan mengangkat menjadi panglimanya seorang lelaki dari kalangan Ansar.
Manakala mereka berangkat, maka si lelaki Ansar tersebut menjumpai sesuatu pada diri mereka. Maka ia berkata kepada mereka, "Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada kalian untuk taat kepadaku?" Mereka menjawab, "Memang benar." Lelaki Ansar itu berkata, "Kumpulkanlah kayu bakar buatku." Setelah itu si lelaki Ansar tersebut meminta api, lalu kayu itu dibakar. Selanjutnya lelaki Ansar berkata, "Aku bermaksud agar kalian benar-benar memasuki api itu."
Lalu ada seorang pemuda dari kalangan mereka berkata, "Sesungguhnya jalan keluar bagi kalian dari api ini hanyalah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Karena itu, kalian jangan tergesa-gesa sebelum menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kalian agar memasuki api itu, maka masukilah."
Kemudian mereka kembali menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan hal itu kepadanya. Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka:
Seandainya kalian masuk ke dalam api itu, niscaya kalian tidak akan keluar untuk selama-lamanya. Sebenarnya ketaatan itu hanya dalam kebaikan (HR. Imam Ahmad. Berkata Syekh Al Arnut : Isnad Shahih atas syarat Bukhari Muslim).
Inilah penafsiran ulama ahlus sunnah mengenai ayat ini. Penafsiran dengan pemahaman yang benar, pemahaman para salaf. Bukan sebagaimana halnya penafsiran orang-orang jahil, orang-orang yang hanya mengikuti hawa nafsunya.
Ketaatan kepada Allah dan Rasulnya adalah mutlak, sebagaimana perkataan ulama mengenai lafadz أَطِيعُوا yang di ulang dua kali hanya untuk Allah dan RasulNya dan tidak diulang ketika kepada ulil amri di ayat di atas, ini menunjukan bahwa taat kepada Allah dan Rasulnya mutlak, dan taat kepada pemimpin hanya kepada yang ma’ruf (baik).
Mencermati tafsir ibnu katsir di atas, pemimpin yang menyuruh untuk berbuat maksiat, yakni memerintahkan untuk bunuh diri dengan masuk ke dalam api yang menyala-nyala, maka tidak patut untuk ditaati. Sebagaimana kalau ada pemimpin yang memerintahkan untuk menabrakan diri ke mobil, membunuh, mencium kakinya, mencuri atau korupsi, mengajak berzina dan lain sebagainya, maka tidak patut ditaati.
Kalau perintahnya tidak menyelisihi kebenaran, maka kita harus mentaatinya, tetapi kalau perintahnya menyuruh untuk maksiat dan berbuat dosa maka tidak ada ketaatan.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ ، وَلاَ طَاعَة.
Mendengar dan taat diperbolehkan bagi seorang muslim dalam semua hal yang disukainya dan yang dibencinya, selagi ia tidak diperintahkan untuk maksiat. Apabila diperintahkan untuk maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat.(HR. Bukhari).
Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لاَ طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ.
Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam hal yang baik. (HR. Bukhari).
Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوف
ِ
Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya kepada hal yang baik. (HR. Muslim dari Ali radhiyallahu anhu).
Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ.
Tidak ada ketaatan kepada makhluk di dalam maksiat kepada Allah Azza wa Jalla (HR. Ahmad dari Ali radhiyallahu anhu. Berkata Syekh Arnuth isnad shahih atas syarat Bukhari Muslim).
Dengan demikian, apabila Allah dan RasulNya mengatakan haram dan pimpinan mengatakan halal, atau pimpinan mengatakan halal sedangkan Allah dan RasulNya mengatakan haram, maka tidak boleh mengikuti perkataannya. Apabila taat sha kepada pemimpin seperti ini, maka itu bentuk penyembahan kepadaNya.
Seorang sahabat yang bernama ‘Adi bin Hatim radhiyallahu ’anhu, awalnya dia seorang nasrani, ketika Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam membacakan ayat al Qur’an dalam surat at Taubah ayat yang ke 31:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّه
ِ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.
Maka Adi bin Hatim radhiyallahu ’anhu berkata kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam: “Ya Rasulullah, sesungguhnya mereka tidak menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan.”
Maka Rasulullah shallallahu ’alahi wa sallam bersabda :
أَجَلْ وَلَكِنْ يُحِلُّونَ لَهُمْ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فَيَسْتَحِلُّونَهُ وَيُحَرِّمُونَ عَلَيْهِمْ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فَيُحَرِّمُونَهُ فَتِلْكَ عِبَادَتُهُمْ لَهُمْ ».
Ya, akan tetapi mereka (rahib-rahib dan alim ulama) menghalalkan apa-apa yang Allah haramkan, kemudian mereka mengikuti yang mereka halalkan. Dan mereka (rahib-rahib dan alim ulama) mengharamkan apa-apa yang Allah halalkan, lalu mereka mengikuti mengharamkannya, maka itu bentuk penyembahan mereka kepada rahib-rahib dan alim ulama mereka. (HR. Tirmidzi dan Al Baihaqi. Berkata syekh Al Albani – Hadits Hasan. Tafsir Ibnu Katsir surat at Taubah ayat yang ke 31).
Orang-orang yang senantiasa mengikuti apa saja perintah pimpinannya atau para pembesarnya tanpa melihat apakah perintahnya itu melanggar syariat atau tidak. Apakah melanggar ketentuan Allah dan RasulNya atau tidak, maka orang seperti ini akan menyesal nanti di akherat, ketika wajah-wajah mereka dibolak-balikan dalam neraka.
Allah Ta’ala berfirman :
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا (66) وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا (67) رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا (68) (الأحزاب : 66-68).
Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul". Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar". (QS. Al Ahzab : 66-68).
Untuk itu, sebelum menyesal pada hari kiamat nanti, taatilah Allah dan RasulNya secara mutlak, sedangkan kepada pemimpin, hanya terkhusus pada perkara yang baik saja. Baik pemimpin di rumah, seorang bapak atau seorang suami, pemimpin perusahaan, pemimpin ormas, pemimpin di kepolisian atau militer dan lain sebagainya sampai kepada tingkat pemimpin negara.
Oleh : Abu Fadhel Majalengka
Allah Ta'ala memerintahkan kepada kaum muslimin untuk mentaati Allah, RasulNya dan ulil amri (pemimpin).
Mentaati Allah dan RasulNya adalah mutlak, tidak bisa ditawar-tawar lagi, tapi kalau kepada pemimpin, hanya kepada perkara-perkara yang baik saja.
Allah Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (النساء : 59).
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An Nisa : 59).
Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abdullah ibnu Huzafah ibnu Qais ibnu Addi ketika ia diutus oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memimpin suatu pasukan khusus. (Tafsir Ibnu Katsir).
Berkata Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu anhu :
بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَرِيَّةً، وَاسْتَعْمَلَ عَلَيْهِمْ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ، فَلَمَّا خَرَجُوا وَجَد عَلَيْهِمْ فِي شَيْءٍ. قَالَ: فَقَالَ لَهُمْ: أَلَيْسَ قَدْ أَمَرَكُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُطِيعُونِي؟ قَالُوا: بَلَى، قَالَ: اجْمَعُوا لِي حَطَبًا. ثُمَّ دَعَا بِنَارٍ فَأَضْرَمَهَا فِيهِ، ثُمَّ قَالَ: عَزَمْتُ عَلَيْكُمْ لَتَدْخُلُنَّهَا. [قَالَ: فَهَمَّ الْقَوْمُ أَنْ يَدْخُلُوهَا] قَالَ: فَقَالَ لَهُمْ شَابٌّ مِنْهُمْ: إِنَّمَا فَرَرْتُمْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ النَّارِ، فَلَا تَعْجَلُوا حَتَّى تَلْقَوْا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَإِنَّ أَمَرَكُمْ أَنْ تَدْخُلُوهَا فَادْخُلُوهَا. قَالَ: فَرَجَعُوا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرُوهُ، فَقَالَ لَهُمْ: "لَوْ دَخَلْتُمُوهَا مَا خَرَجْتُمْ مِنْهَا أَبَدًا؛ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ".
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan suatu pasukan khusus, dan mengangkat menjadi panglimanya seorang lelaki dari kalangan Ansar.
Manakala mereka berangkat, maka si lelaki Ansar tersebut menjumpai sesuatu pada diri mereka. Maka ia berkata kepada mereka, "Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada kalian untuk taat kepadaku?" Mereka menjawab, "Memang benar." Lelaki Ansar itu berkata, "Kumpulkanlah kayu bakar buatku." Setelah itu si lelaki Ansar tersebut meminta api, lalu kayu itu dibakar. Selanjutnya lelaki Ansar berkata, "Aku bermaksud agar kalian benar-benar memasuki api itu."
Lalu ada seorang pemuda dari kalangan mereka berkata, "Sesungguhnya jalan keluar bagi kalian dari api ini hanyalah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Karena itu, kalian jangan tergesa-gesa sebelum menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kalian agar memasuki api itu, maka masukilah."
Kemudian mereka kembali menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan hal itu kepadanya. Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka:
Seandainya kalian masuk ke dalam api itu, niscaya kalian tidak akan keluar untuk selama-lamanya. Sebenarnya ketaatan itu hanya dalam kebaikan (HR. Imam Ahmad. Berkata Syekh Al Arnut : Isnad Shahih atas syarat Bukhari Muslim).
Inilah penafsiran ulama ahlus sunnah mengenai ayat ini. Penafsiran dengan pemahaman yang benar, pemahaman para salaf. Bukan sebagaimana halnya penafsiran orang-orang jahil, orang-orang yang hanya mengikuti hawa nafsunya.
Ketaatan kepada Allah dan Rasulnya adalah mutlak, sebagaimana perkataan ulama mengenai lafadz أَطِيعُوا yang di ulang dua kali hanya untuk Allah dan RasulNya dan tidak diulang ketika kepada ulil amri di ayat di atas, ini menunjukan bahwa taat kepada Allah dan Rasulnya mutlak, dan taat kepada pemimpin hanya kepada yang ma’ruf (baik).
Mencermati tafsir ibnu katsir di atas, pemimpin yang menyuruh untuk berbuat maksiat, yakni memerintahkan untuk bunuh diri dengan masuk ke dalam api yang menyala-nyala, maka tidak patut untuk ditaati. Sebagaimana kalau ada pemimpin yang memerintahkan untuk menabrakan diri ke mobil, membunuh, mencium kakinya, mencuri atau korupsi, mengajak berzina dan lain sebagainya, maka tidak patut ditaati.
Kalau perintahnya tidak menyelisihi kebenaran, maka kita harus mentaatinya, tetapi kalau perintahnya menyuruh untuk maksiat dan berbuat dosa maka tidak ada ketaatan.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ ، وَلاَ طَاعَة.
Mendengar dan taat diperbolehkan bagi seorang muslim dalam semua hal yang disukainya dan yang dibencinya, selagi ia tidak diperintahkan untuk maksiat. Apabila diperintahkan untuk maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat.(HR. Bukhari).
Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لاَ طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ.
Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam hal yang baik. (HR. Bukhari).
Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوف
ِ
Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya kepada hal yang baik. (HR. Muslim dari Ali radhiyallahu anhu).
Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ.
Tidak ada ketaatan kepada makhluk di dalam maksiat kepada Allah Azza wa Jalla (HR. Ahmad dari Ali radhiyallahu anhu. Berkata Syekh Arnuth isnad shahih atas syarat Bukhari Muslim).
Dengan demikian, apabila Allah dan RasulNya mengatakan haram dan pimpinan mengatakan halal, atau pimpinan mengatakan halal sedangkan Allah dan RasulNya mengatakan haram, maka tidak boleh mengikuti perkataannya. Apabila taat sha kepada pemimpin seperti ini, maka itu bentuk penyembahan kepadaNya.
Seorang sahabat yang bernama ‘Adi bin Hatim radhiyallahu ’anhu, awalnya dia seorang nasrani, ketika Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam membacakan ayat al Qur’an dalam surat at Taubah ayat yang ke 31:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّه
ِ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.
Maka Adi bin Hatim radhiyallahu ’anhu berkata kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam: “Ya Rasulullah, sesungguhnya mereka tidak menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan.”
Maka Rasulullah shallallahu ’alahi wa sallam bersabda :
أَجَلْ وَلَكِنْ يُحِلُّونَ لَهُمْ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فَيَسْتَحِلُّونَهُ وَيُحَرِّمُونَ عَلَيْهِمْ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فَيُحَرِّمُونَهُ فَتِلْكَ عِبَادَتُهُمْ لَهُمْ ».
Ya, akan tetapi mereka (rahib-rahib dan alim ulama) menghalalkan apa-apa yang Allah haramkan, kemudian mereka mengikuti yang mereka halalkan. Dan mereka (rahib-rahib dan alim ulama) mengharamkan apa-apa yang Allah halalkan, lalu mereka mengikuti mengharamkannya, maka itu bentuk penyembahan mereka kepada rahib-rahib dan alim ulama mereka. (HR. Tirmidzi dan Al Baihaqi. Berkata syekh Al Albani – Hadits Hasan. Tafsir Ibnu Katsir surat at Taubah ayat yang ke 31).
Orang-orang yang senantiasa mengikuti apa saja perintah pimpinannya atau para pembesarnya tanpa melihat apakah perintahnya itu melanggar syariat atau tidak. Apakah melanggar ketentuan Allah dan RasulNya atau tidak, maka orang seperti ini akan menyesal nanti di akherat, ketika wajah-wajah mereka dibolak-balikan dalam neraka.
Allah Ta’ala berfirman :
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا (66) وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا (67) رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا (68) (الأحزاب : 66-68).
Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul". Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar". (QS. Al Ahzab : 66-68).
Untuk itu, sebelum menyesal pada hari kiamat nanti, taatilah Allah dan RasulNya secara mutlak, sedangkan kepada pemimpin, hanya terkhusus pada perkara yang baik saja. Baik pemimpin di rumah, seorang bapak atau seorang suami, pemimpin perusahaan, pemimpin ormas, pemimpin di kepolisian atau militer dan lain sebagainya sampai kepada tingkat pemimpin negara.
Komentar
Posting Komentar