Kokoh Tidak Tergoyahkan
Edisi Manhaj
KOKOH TIDAK TERGOYAHKAN
Oleh : Abu Fadhel Majalengka
Kalau berubah-rubah dalam pengamalan masalah fiqh mungkin kita bisa mentolerirnya, karena kemungkinan pembacaan atau pengetahuan tentang ilmu fiqh belum begitu banyak. Dimana ilmu tentang ini begitu luas dan perbedaan pendapat ulama yang begitu banyak.
Namun kalau perubahannya dalam segi prinsip dasar akidah ahlussunnah wal jamaah, ini yang menjadi permasalahan. Contoh soal misalkan, masalah menasehati pemerintah secara terang-terangan di media masa, media sosial dan mimbar-mimbar bebas (mimbar khutbah jumat atau id, mimbar tablig akbar, mimbar demontrasi dll), yang kadang lebih banyak mencaci maki dan mencelanya, daripada nasehatnya, ini yang bermasalah.
Yang dulunya mengharamkan hal ini, sekarang sudah mulai samar-samar dan cenderung mendukung, walaupun sedikit dibungkus analogi, yang bagi orang bodoh itu tepat, namun tidak bagi yang memiliki ilmu.
Padahal prinsip dasar akidah ahlussunnah waljamaah dalam menasehati penguasa sudah jelas, yakni dengan secara sembunyi-sembunyi. Tidak terang-terangan, apalagi mencela secara terang-terangan, sungguh-sungguh sudah keluar jauh dari prinsip dasar akidah ahlussunnah wal jamaah.
Sa’id bin Jubair rahimahullahu Ta’ala berkata,
آمُرُ أَمِيرِي بِالْمَعْرُوفِ؟ قَالَ: إِنْ خِفْتَ أَنْ يَقْتُلَكَ فَلَا تُؤَنِّبِ الْإِمَامَ , فَإِنْ كُنْتُ لَا بُدَّ فَاعِلًا فِيمَا بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ
“Seseorang berkata kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, “Apakah aku memerintahkan penguasaku dengan melakukan kebaikan?” Ibnu ‘Abbas berkata, “Jika Engkau khawatir penguasa akan membunuhmu, maka jangan mencela dengan keras. Namun jika Engkau tidak boleh tidak (harus) melakukannya, maka hendaknya (dalam kondisi sepi) antara Engkau dan dia saja.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 15/74)
‘Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu berkata :
وَيْحَكَ يَا ابْنَ جُمْهَانَ عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ، عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ إِنْ كَانَ السُّلْطَانُ يَسْمَعُ مِنْكَ، فَأْتِهِ فِي بَيْتِهِ، فَأَخْبِرْهُ بِمَا تَعْلَمُ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْكَ، وَإِلَّا فَدَعْهُ، فَإِنَّكَ لَسْتَ بِأَعْلَمَ مِنْهُ
“Celaka Engkau wahai Ibnu Jahman. Hendaklah Engkau komitmen dengan jamaah kaum muslimin (bersama penguasa mereka). Jika penguasa mau mendengarkan nasihatmu, maka datangilah rumahnya dan sampaikanlah kepadanya apa yang Engkau ketahui. Jika dia mau menerima nasihatmu, maka itulah yang diharapkan. Jika penguasa tidak mau menerima nasihatmu, biarkan, karena Engkau belum tentu lebih mengetahui daripada sang penguasa.” (HR. Ahmad 4/382, dan Ibnu Majah no. 173. Berkata Syaikh Al-Albani :Hadits Hasan).
Ada seseorang yang berkata kepada Usamah radhiyallahu ‘anhu,
أَلَا تَدْخُلُ عَلَى عُثْمَانَ فَتُكَلِّمَهُ؟
“Tidakkah Engkau menemui ‘Utsman dan menasihatinya?”
Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu berkata,
أَتَرَوْنَ أَنِّي لَا أُكَلِّمُهُ إِلَّا أُسْمِعُكُمْ؟ وَاللهِ لَقَدْ كَلَّمْتُهُ فِيمَا بَيْنِي وَبَيْنَهُ، مَا دُونَ أَنْ أَفْتَتِحَ أَمْرًا لَا أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ أَوَّلَ مَنْ فَتَحَهُ
“Apakah kalian anggap aku tidak menasihatinya karena kalian tidak mendengar pembicaraanku kepadanya? Demi Allah, sungguh aku telah berbicara dengannya empat mata,tanpa menampakkannya. Aku tidak mau menjadi orang yang pertama kali membuka (pintu fitnah).” (HR. Muslim no. 2989).
Ibnu Nukhas rahimahullahu Ta’ala berkata,
ويختار من الكلام مع السلطان في الخلوة على الكلام معه على رؤوس الأشهاد، بل يود لو كلمه سرا، ونصحه خفية، من غير ثالث لهما
“Dan dipilihlah berbicara dengan penguasa secara sembunyi-sembunyi daripada berbicara di hadapan banyak orang. Bahkan diharapkan untuk berbicara dengannya secara sembunyi-sembunyi tanpa ada orang yang ke tiga.” (Tanbiihul Ghaafiliin, hal. 64).
Kalau orang sudah berubah dalam prinsip dasar akidah ahlussunnah wal jamaah, berarti orang ini telah terfitnah dengan fitnah syubhat yang maha dahsyat.
KOKOH TIDAK TERGOYAHKAN
Oleh : Abu Fadhel Majalengka
Kalau berubah-rubah dalam pengamalan masalah fiqh mungkin kita bisa mentolerirnya, karena kemungkinan pembacaan atau pengetahuan tentang ilmu fiqh belum begitu banyak. Dimana ilmu tentang ini begitu luas dan perbedaan pendapat ulama yang begitu banyak.
Namun kalau perubahannya dalam segi prinsip dasar akidah ahlussunnah wal jamaah, ini yang menjadi permasalahan. Contoh soal misalkan, masalah menasehati pemerintah secara terang-terangan di media masa, media sosial dan mimbar-mimbar bebas (mimbar khutbah jumat atau id, mimbar tablig akbar, mimbar demontrasi dll), yang kadang lebih banyak mencaci maki dan mencelanya, daripada nasehatnya, ini yang bermasalah.
Yang dulunya mengharamkan hal ini, sekarang sudah mulai samar-samar dan cenderung mendukung, walaupun sedikit dibungkus analogi, yang bagi orang bodoh itu tepat, namun tidak bagi yang memiliki ilmu.
Padahal prinsip dasar akidah ahlussunnah waljamaah dalam menasehati penguasa sudah jelas, yakni dengan secara sembunyi-sembunyi. Tidak terang-terangan, apalagi mencela secara terang-terangan, sungguh-sungguh sudah keluar jauh dari prinsip dasar akidah ahlussunnah wal jamaah.
Sa’id bin Jubair rahimahullahu Ta’ala berkata,
آمُرُ أَمِيرِي بِالْمَعْرُوفِ؟ قَالَ: إِنْ خِفْتَ أَنْ يَقْتُلَكَ فَلَا تُؤَنِّبِ الْإِمَامَ , فَإِنْ كُنْتُ لَا بُدَّ فَاعِلًا فِيمَا بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ
“Seseorang berkata kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, “Apakah aku memerintahkan penguasaku dengan melakukan kebaikan?” Ibnu ‘Abbas berkata, “Jika Engkau khawatir penguasa akan membunuhmu, maka jangan mencela dengan keras. Namun jika Engkau tidak boleh tidak (harus) melakukannya, maka hendaknya (dalam kondisi sepi) antara Engkau dan dia saja.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 15/74)
‘Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu berkata :
وَيْحَكَ يَا ابْنَ جُمْهَانَ عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ، عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ إِنْ كَانَ السُّلْطَانُ يَسْمَعُ مِنْكَ، فَأْتِهِ فِي بَيْتِهِ، فَأَخْبِرْهُ بِمَا تَعْلَمُ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْكَ، وَإِلَّا فَدَعْهُ، فَإِنَّكَ لَسْتَ بِأَعْلَمَ مِنْهُ
“Celaka Engkau wahai Ibnu Jahman. Hendaklah Engkau komitmen dengan jamaah kaum muslimin (bersama penguasa mereka). Jika penguasa mau mendengarkan nasihatmu, maka datangilah rumahnya dan sampaikanlah kepadanya apa yang Engkau ketahui. Jika dia mau menerima nasihatmu, maka itulah yang diharapkan. Jika penguasa tidak mau menerima nasihatmu, biarkan, karena Engkau belum tentu lebih mengetahui daripada sang penguasa.” (HR. Ahmad 4/382, dan Ibnu Majah no. 173. Berkata Syaikh Al-Albani :Hadits Hasan).
Ada seseorang yang berkata kepada Usamah radhiyallahu ‘anhu,
أَلَا تَدْخُلُ عَلَى عُثْمَانَ فَتُكَلِّمَهُ؟
“Tidakkah Engkau menemui ‘Utsman dan menasihatinya?”
Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu berkata,
أَتَرَوْنَ أَنِّي لَا أُكَلِّمُهُ إِلَّا أُسْمِعُكُمْ؟ وَاللهِ لَقَدْ كَلَّمْتُهُ فِيمَا بَيْنِي وَبَيْنَهُ، مَا دُونَ أَنْ أَفْتَتِحَ أَمْرًا لَا أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ أَوَّلَ مَنْ فَتَحَهُ
“Apakah kalian anggap aku tidak menasihatinya karena kalian tidak mendengar pembicaraanku kepadanya? Demi Allah, sungguh aku telah berbicara dengannya empat mata,tanpa menampakkannya. Aku tidak mau menjadi orang yang pertama kali membuka (pintu fitnah).” (HR. Muslim no. 2989).
Ibnu Nukhas rahimahullahu Ta’ala berkata,
ويختار من الكلام مع السلطان في الخلوة على الكلام معه على رؤوس الأشهاد، بل يود لو كلمه سرا، ونصحه خفية، من غير ثالث لهما
“Dan dipilihlah berbicara dengan penguasa secara sembunyi-sembunyi daripada berbicara di hadapan banyak orang. Bahkan diharapkan untuk berbicara dengannya secara sembunyi-sembunyi tanpa ada orang yang ke tiga.” (Tanbiihul Ghaafiliin, hal. 64).
Kalau orang sudah berubah dalam prinsip dasar akidah ahlussunnah wal jamaah, berarti orang ini telah terfitnah dengan fitnah syubhat yang maha dahsyat.
Yang dulunya melarang dan mengharamkan, sekarang membolehkan dan menghalalkan, ketahuilah, dialah salah satu orang yang terkena syubhat.
Berkata Hudzaifah radhiyallahu anhu :
" إذا أحب أحدكم أن يعلم أصابته الفتنة أم لا ، فلينظر فإن كان رأى حلالا كان يراه حراما فقد أصابته الفتنة ، وإن كان يرى حراما كان يراه حلالا فقد أصابته " .
Apabila salah seorang diantara kalian ingin mengetahui apakah terkena fitnah atau tidak maka hendaknya ia melihat dirinya. Jika ia melihat sesuatu yang halal sebagai perkara yang haram berarti sungguh dia telah terkena fitnah. Dan jika ia melihat sesuatu yang haram sebagai perkara yang halal maka sungguh dia telah terkena fitnah. (HR. Al Hakim dalam Al Mustadrok 4/514 - Hadits Sanad Shahih atas syarat Bukhari dan Muslim).
Disinilah terlihat kekokohan ilmu seseorang. Kalau dia kokoh dalam ilmu, gelombang syubhat sebesar apapun, dia tidak akan tergoyahkan.
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullahu :
" الراسخ فِي الْعلم لَو وَردت عَلَيْهِ من الشّبَه بِعَدَد أمواج الْبَحْر مَا أزالت يقينه وَلَا قدحت فِيهِ شكا ". مفتاح دار السعادة (1/ 140)
"Ar-Rāsikh fil 'ilmi (orang yang kokoh dalam ilmu) itu, andai engkau datangkan syubhat sebanyak gelombang di lautan niscaya tidaklah menghilangkan keyakinannya, dan tidak pula membuatnya ragu". [Miftāh Dāris Sa'ādah 1/140].
Berkata Hudzaifah radhiyallahu anhu :
" إذا أحب أحدكم أن يعلم أصابته الفتنة أم لا ، فلينظر فإن كان رأى حلالا كان يراه حراما فقد أصابته الفتنة ، وإن كان يرى حراما كان يراه حلالا فقد أصابته " .
Apabila salah seorang diantara kalian ingin mengetahui apakah terkena fitnah atau tidak maka hendaknya ia melihat dirinya. Jika ia melihat sesuatu yang halal sebagai perkara yang haram berarti sungguh dia telah terkena fitnah. Dan jika ia melihat sesuatu yang haram sebagai perkara yang halal maka sungguh dia telah terkena fitnah. (HR. Al Hakim dalam Al Mustadrok 4/514 - Hadits Sanad Shahih atas syarat Bukhari dan Muslim).
Disinilah terlihat kekokohan ilmu seseorang. Kalau dia kokoh dalam ilmu, gelombang syubhat sebesar apapun, dia tidak akan tergoyahkan.
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullahu :
" الراسخ فِي الْعلم لَو وَردت عَلَيْهِ من الشّبَه بِعَدَد أمواج الْبَحْر مَا أزالت يقينه وَلَا قدحت فِيهِ شكا ". مفتاح دار السعادة (1/ 140)
"Ar-Rāsikh fil 'ilmi (orang yang kokoh dalam ilmu) itu, andai engkau datangkan syubhat sebanyak gelombang di lautan niscaya tidaklah menghilangkan keyakinannya, dan tidak pula membuatnya ragu". [Miftāh Dāris Sa'ādah 1/140].
Komentar
Posting Komentar