Mengaku Syafiiyyah

MENGAKU SYAFIIYYAH, TETAPI MENYELISIHI MADZHAB IMAM SYAFII

Oleh : Abu Fadhel Majalengka

Sebagian orang mengatakan dan mengaku bahwa dirinya pengikut Imam Syafii rahimahullah, namun dalam beberapa hal mereka tidak mengikuti pendapat beliau.

Ada juga sebagian orang yang benci dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, bahkan mengganggap beliulah sebagai tokoh yang mempengaruhi gerakan wahabi. Namun banyak fatwa beliau yang diambil oleh orang-orang yang memusuhi dan membencinya.

Inilah realita di sebagian masyarakat kita. Berbeda dengan ahlussunnah wal jamaah. Mereka beragama tidak taklid dengan seseorang, tetapi taklid kepada dalil. Siapa yang berdalil dengan dalil yang kuat, itu yang diikuti.

Dibawah ini penulis akan tuliskan beberapa permasalahan tidak konsistennya sebagian orang yang mengaku pengikut Imam Syafii rahimahullah.

Pertama, Sampainya Kiriman Pahala Ke Mayit

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, seorang ulama ahlussunnah yang sering dicaci maki oleh ahlul bid'ah dan dikatakan sumber rujukan wahabi, tetapi ketika ada fatwanya yang bersesuaian dengan amalannya dan dengan hawa nafsunya, mereka mengambilnya dan berdalih dengannya. Seperti Fatwa tentang sampainya pahala bacaan alquran, dzikir-dzikir dan yang lainnya kepada si mayit.

Berkata Ibnu Taimiyyah rahimahullah tentang  sampainya kiriman pahala untuk si mayit:

يصل إلى الميت قراءة أهله، وتسبيحهم، وتكبيرهم، وسائر ذكرهم لله تعالى، إذا أهدوه إلى الميت، وصل إليه‏.‏ والله أعلم‏.‏

”Sampai kepada mayit (pahala) bacaan-bacaan dari keluarganya dan tasbih-tasbihnya, takbir-takbirnya, serta dzikirnya kepada Allah ta’ala; apabila ia berniat untuk menghadiahkan pahalanya (kepada si mayit), maka sampai kepadanya. Wallaahu a’lam” [Majmu’ Fataawaa 24/324].

Mereka Tidak mengambil fatwa Syafiiyyah yang mereka mengaku menganutnya yang mengatakan bahwa bacaan alquran, dzikir dan lain-lain untuk si mayit  pahalanya tidak sampai ke mayit.

Berkata An-Nawawi rahimahullah :

وأما قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلى الميت... ودليل الشافعي وموافقيه قول اللهِ تعالى : وَأَن لّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاّ مَا سَعَى. وقول النبي صلى الله عليه وسلم : إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له

”Adapun bacaan Al-Qur’an (yang pahalanya dikirmkan kepada si mayit), maka yang masyhur dalam madzhab Syafi’i adalah bahwa perbuatan tersebut tidak akan sampai pahalanya kepada mayit yang dikirimi...... 

Adapun dalil Imam Syafi’i dan para pengikutnya adalah firman Allah (yang artinya) : ”Dan tidaklah seseorang itu memperoleh balasan kecuali dari yang ia usahakan” (QS. An-Najm : 39); dan juga sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam (yang artinya) : ”Apabila anak Adam telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali atas tiga hal : shadaqah jaariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shalih yang mendoakannya” [Syarh Shahih Muslim oleh An-Nawawi 1/90].

Berkata Al-Imam An-Nawawi rahimahullah :

وأما قراءة القرآن وجعل ثوابها للميت والصلاة عنه ونحوهما فمذهب الشافعي والجمهور أنها لا تلحق الميت

"Adapun membaca Al-Qur'an dan menjadikan pahalanya untuk mayat, sholat atas mayat dan juga yang semisal keduanya maka madzhab Asy-Syafi'i dan mayoritas ulama berpendapat bahwasanya hal-hal tersebut tidak akan sampai kepada mayat" (Al-Minhaaj syarh Shahih Muslim 11/58).

Kedua, Mengeraskan Dzikir Setelah Shalat

Mengeraskan dzikir setelah shalat merupakan amalan orang yang mengaku bermadzhab Imam Syafii, padahal yang membolehkan mengeraskan dzikir  setelah shalat adalah Madzhab Imam Ahmad dan Dzohiriyyah.

Berkata Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah :

ورفع الصوت بالتكبير إثر كل صلاة حسن

“Mengeraskan suara dengan bertakbir pada dzikir sesudah shalat adalah suatu amalan yang baik.” (Al-Muhalla).

Sedangkan pendapat Imam Syafii rahimahullah dan ulama Syafiyyah lainnya tidak membolehkan mengeraskan suara dzikir setelah shalat kecuali untuk pembelajaran.

Berkata Imam Syafi’i rahimahullah tentang ayat ini :

وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا

“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula terlalu merendahkannya” (QS. Al Isro’: 110). 

“Janganlah menjahrkan, yaitu mengeraskan suara. Jangan pula terlalu merendehkan sehingga engkau tidak bisa mendengarnya sendiri.” (Al Umm, 1: 150)

Imam Asy-Syafi’i menjelaskan bahwa Nabi rahimahullah kadang-kadang mengeraskan bacaan dzikir sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair, agar masyarakat mempelajarinya dari beliau. Namun bukan berarti beliau dan para sahabat terus menerus membaca dzikir dengan suara keras. Sebab, mayoritas riwayat hadits tidak menyebutkan dzikir secara keras. (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, II/414 dan Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, III/451)

Berkata An-Nawawi rahimahullah :

“Ibnu Bathal dan para ulama rahimahumullah lainnya menyatakan bahwasanya para ulama pendiri madzhab-madzhab yang diikuti dan ulama lainnya bersepakat atas tidak disunnahkannya mengeraskan suara saat berdzikir dan bertakbir.” (Syarh AnNawawi ‘ala Shahih Muslim, V/71)

Ketiga, Zakat Fitrah Pakai Uang

Tentang zakat fitrah, mereka membolehkan zakat fitrah dengan uang. Mereka berdalih dengan pendapat Abu Hanifah rahimahullah yang membolehkan zakat pakai uang, tidak mengikuti pendapat Imam Syafii rahimahullah dan jumhur ulama.

Imam Abu Hanifah membolehkan zakat fitrah dengan uang berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

اغنواهم عن المسألة فى مثل هذا اليوم

“Perkayakanlah orang-orang miskin dari meminta-minta pada hari ini”. (Al-fiqh al- Islamy wa adillatuh. Jilid III. Hal 2044. Darul Fikri Dimsyik - Wahbah Zuhaily). 

Berkata An Nawawi rahimahullah :

“Mayoritas pakar fikih tidak membolehkan membayar zakat fitri dengan qimah (dicocokkan dengan harganya), yang membolehkan hal ini hanyalah Abu Hanifah.” (Syarh Muslim, 3/417).

Sedangkan Imam Syafii rahimahullah berpendapat tidak boleh zakat fitrah diganti pakai uang.

Berkata Imam Syafii rahimahullah:

ولاتجزئ القيمة (أي في زكاة.(المجموع(110/6)

Berkata Al-Imam As-Syafi’i rahimahullah: Dan tidak boleh dengan harganya (dengan uang) (yaitu pada zakat fitrah). (Al Majmu (6/110).

Berkata Imam Asy-Syafi’i rahimahullah:

“Penunaian zakat fitri wajib dalam bentuk satu sha’ dari umumnya bahan makanan di negeri tersebut pada tahun tersebut.” (Ad-Din Al-Khash).

Bahkan menurut Imam Malik dan Imam Ahmad rahimahumallah, tidak sah zakat fitrah pakai uang.

Berkata Imam Malik rahimahullah:

ولا يجزئ أن يجعل الرجل مكان زكاة الفطر عرضا من العروض(أي قيمة) , وليس كذلك أمر النبي عليه الصلاة والسلام). المدونة الكبرى(358/2)

Dan tidak boleh seseorang menjadikan kedudukan zakat fithri dengan nilai sebuah barang (yakni harganya), dan bukan demikian yang telah diperintahkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Al Mudawwanah Al Kubro (2/358).

Berkata Imam Ahmad rahimahullah:

(لا يعطى قيمته قيل له:يقولون:عمر ابن عبد العزيز كان ياخذ القيمة قال:يدعون قول رسول الله صلى الله عليه وسلم ويقولون قال فلان ؟ قال ابن عمر رضي الله عنه فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم .. وقال الله: اطيعوا الله واطيعوا الرسول) وقال قوم يردون السنن: قال فلان وقال فلان!!).  المغني(2/352)

Tidak dibolehkan memberikan harganya (zakat fithri), dikatakan kepada beliau: mereka mengatakan bahwa ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz dahulu mengambil harganya (uang), maka beliau (Ahmad) mengatakan: mereka meninggalkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan mereka katakan: telah berkata fulan? Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu mengatakan: ”Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah mewajibkan…” dan Allah berfirman: ”Taatilah Allah dan taatilah Rasul.” namun kaum mengatakan dengan membantah sunnah: “telah berkata fulan dan berkata fulan !!”.  Al-Mugni Ibnu Qudamah (2/352).

Berkata Abu Daud rahimahullah :

“Imam Ahmad ditanya tentang pembayaran zakat mengunakan dirham. Beliau menjawab, “Aku khawatir zakatnya tidak diterima karena menyelisihi sunah Rasulullah.” (Masail Abdullah bin Imam Ahmad; dinukil dalam Al-Mughni, 2:671)

Keempat, Tentang Musik

Tidak diragukan lagi bahwa sebagian orang yang mengaku bermadzhab Syafii mereka menghalalkan musik, padahal Imam Syafii rahimahullah dan ulama-ulama Syafiiyyah mengharamkan musik. Hanya Imam Ibnu Hazm rahimahullah (madzhab dzahiri) yang membolehkan, itupun dengan syarat.

Berkata Imam An-Nawawi Asy Syafiiyyah rahimahullah  :

القسم الثاني أن يغني ببعض آلات الغناء مما هو من شعار شاربي الخمر وهو مطرب كالطنبور والعود والصنج وسائر المعازف والأوتار يحرم استعماله واستماعه ... قلت الأصح أو الصحيح تحريم اليراع وهو هذه الزمارة التي يقال لها الشبابة وقد صنف الإمام أبو القاسم الدولعي كتابا في تحريم اليراع

"Bagian kedua, yaitu bernyanyi dengan menggunakan alat-alat nyanyian yang merupakan syi'ar-nya para peminum khomr, yaitu alat musik seperti kecapi/rebab, gitar, shonj (yaitu dua piringan logam yang saling dibenturkan sehingga menimbulkan suara (lihat al-mu'jam al-washith)-pen), dan seluruh alat-alat musik, serta senar-senar, diharamkan penggunaannya dan mendengarkannya….

Dan yang benar adalah diharamkannya al-yaroo' (semacam seruling) dan inilah yang disebut dengan asy-Syabbabah. Al-Imam Abul Qoosim Ad-Daula'i telah menulis sebuah kitab tentang pengharaman al-Yaroo'"  (Roudotut Thoolibiin 11/228)

Berkata Ibnu Hajar Haitami rahimahullah :

وَقَدْ عُلِمَ مِنْ غَيْرِ شَكٍّ أَنَّ الشَّافِعِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَرَّمَ سَائِرَ أَنْوَاعِ الزَّمْرِ

"Dan telah diketahui tanpa keraguan bahwasanya Imam Asy-Syafi'i radhiallahu 'anhu mengharamkan seluruh jenis alat musik" (Az-Zawaajir 'an iqtiroofil kabaair 2/907)

Bahkan Imam Syafii rahimahullah berfatwa bolehnya merusak alat-alat musik punya orang lain dan tidak perlu ganti rugi.

Berkata Al-Imam Asy-Syafii rahimahullah :

وَلَوْ كَسَرَ له طُنْبُورًا أو مِزْمَارًا أو كَبَرًا ... وَإِنْ لم يَكُنْ يَصْلُحُ إلَّا لِلْمَلَاهِي فَلَا شَيْءَ عليه وَهَكَذَا لو كَسَرَهَا نَصْرَانِيٌّ لِمُسْلِمٍ أو نَصْرَانِيٌّ أو يَهُودِيٌّ أو مُسْتَأْمَنٌ أو كَسَرَهَا مُسْلِمٌ لِوَاحِدٍ من هَؤُلَاءِ أَبْطَلْت ذلك كُلَّهُ

"Kalau seandainya ia menghancurkan kecapi atau seruling atau gendang maka…. jika benda-benda ini tidak bisa digunakan kecuali sebagai alat musik maka tidak ada sesuatu yang harus ia ganti rugi. Dan demikian pula jika seorang muslim yang merusak (kecapi dan seruling) milik seorang muslim atau yang merusak adalah orang nasrani atau orang yahudi atau orang kafir musta'man, atau orang muslim yang lain yang telah merusak salah satu dari benda-benda tersebut maka aku anggap semuanya batil."(Al-Umm 4/212).

Penulis rasa sudah cukup beberapa contoh di atas tentang amalan mereka yang tidak konsisten dengan madzhab yang mereka akui.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadah Dimalam Nisfu Sya'ban

Royalti Di Akhirat

KENAPA KAMU DIAM?