Yang Lebih Besar Dari Kematian
YANG LEBIH BESAR DARI KEMATIAN
Berita kematian terus silih berganti. Baik yang mati di rumah, di jalan, di kantor, di pasar, di kebun, di sawah, di rumah sakit, di tempat pelacuran atau tempat maksiat lainnya, di masjid, di kendaraan dan lain sebagainya, namun kadang hal ini tidak dijadikan pelajaran. Kebanyakan manusia terus lalai, seakan hidup masih panjang. Terus berleha-leha menyia-nyiakan waktu dan meninggalkan amal kebaikan. Ini betul-betul musibah.
Al-Imam Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi rahimahullah berkata:
قال علماؤنا: وأعظم منه الغفلة عنه، والإعراض عن ذكره، وقلة التفكر فيه، وترك العمل له، وإن فيه وحده لعبرة لمن اعتبر، وفكرة لمن تفكرَ.
"Para ulama kita mengatakan: Yang paling besar darinya (dari kematian) adalah lalai darinya. Berpaling dari mengingatnya. Sedikit memikirkannya. Dan meninggalkan amal untuk (menghadapi) nya. Dan sesungguhnya di dalamnya ada pelajaran bagi orang yang mengambil pelajaran dan pikiran bagi orang yang berfikir. At-Tadzkirah bi Ahwalil Mauta wa Umuril Akhirah, tahqiq Dr. Shadiq bin Muhammad bin Ibrahim, hlm. 112
Berkata Ibnu Utsaimin rahimahullah:
فكر أيها الإنسان؛ تجد أنك على خطر؛ لأن الموت ليس له أجل معلوم عندنا؛ قد يخرج الإنسان من بيته ولا يرجع إليه، وقد يكون الإنسان على كرسي مكتبه ولا يقوم منه، وقد ينام الإنسان على فراشه ولكنه يحمل من فراشه إلى سرير غسله؛ وهذا أمر يستوجب منا أن ننتهز فرصة العمر بالتوبة إلى الله عز وجل، وأن يكون الإنسان دائما يستشعر بأنه تائب إلى الله وراجع ومنيب حتى يأتيه الأجل وهو على خير ما يرام.
“Pikirkanlah wahai manusia, (sebenarnya) kamu akan dapati dirimu dalam bahaya, karena kematian tidak ada batas waktu yang kita ketahui, terkadang seorang manusia keluar dari rumahnya dan tidak kembali kepadanya (karena mati), terkadang manusia duduk di atas kursi kantornya dan tidak bisa bangun lagi (karena mati), terkadang seorang manusia tidur di atas kasurnya, akan tetapi dia malah dibawa dari kasurnya ke tempat pemandian mayatnya (karena mati). Hal ini merupakan sebuah perkara yang mewajibkan kita untuk menggunakan sebaik-baiknya kesempatan umur, dengan taubat kepada Allah Azza wa Jalla. Dan sudah sepantasnya manusia selalu merasa dirinya bertaubat, kembali, menghadap kepada Allah, sehingga datang ajalnya dan dia dalam sebaik-baiknya keadaan yang diinginkan.” (Majmu’ fatawa wa Rasa-il Ibnu Utsaimin, 8/474).
AFM
Komentar
Posting Komentar