Menyentuh Wanita Membatalkan Wudhu?
Edisi Fiqh
MENYENTUH WANITA MEMBATALKAN WUDHU?
Menyentuh wanita membatalkan wudhu atau tidak menjadi perbedaan pendapat yang sudah berlangsung lama. Bahkan sejak masa imam madzhab sudah terjadi perselisihan.
Perbedaan ini berpusat dan berputar pada penafsiran kata lamastumunnisa (menyentuh wanita) pada ayat tentang dalilnya wudhu.
Allah Ta'ala berfirman :
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau MENYENTUH PEREMPUAN, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih). (QS. al-Mâidah : 6).
Dan Allah Ta'ala berfirman :
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضى أَوْ عَلى سَفَرٍ أَوْ جاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّساءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيداً طَيِّباً
Dan jika kalian sakit atau sedang dalam musafir atau seseorang di antara kalian datang dari tempat buang air atau kalian telah MENYENTUH PEREMPUAN, kemudian kalian tidak mendapat air, maka bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik (suci). (QS. An-Nisa: 43)
Perbedaan pendapat mengenai hal ini tidak kurang dari tiga pendapat.
Pendapat Pertama
Yang di maksud menyentuh ayat di atas adalah menyentuh kulit. Bila bersentuhan kulit dengan wanita, baik yang mahram atau tidak itu membatalkan wudhu.
Berkata Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu :
اللمس ما دون الجماع .
Al-lams ialah melakukan kontak tubuh dengan perempuan selain persetubuhan.
Dan berkata Abdullah ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu :
القبلة من المس ، وفيها الوضوء
Ciuman itu termasuk al-massu, pelakunya diwajibkan berwudu.
Berkata Nafi rahimahullah :
أن ابن عمر كان يتوضأ من قبلة المرأة ، ويرى فيها الوضوء ، ويقول : هي من اللماس .
Bahwa Ibnu Umar pernah melakukan wudu karena telah mencium istrinya. ia berpendapat bahwa perbuatan tersebut mengharuskan seseorang berwudu. Menurutnya perbuatan tersebut termasuk al-limas.
(Tafsir Ibnu Katsir).
Pendapat Kedua
Bahwa yang di maksud menyentuh dalam ayat di atas adalah persetubuhan, bukan menyentuh kulit. Sehingga jika hanya bersentuhan kulit tidak membatalkan wudhu.
Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu anhu tentang ayat :
( أو لامستم النساء ) قال : الجماع .
Atau kalian telah menyentuh perempuan. (QS. An-Nisa: 43) : Beliau berkata : Itu persetubuhan.
Berkata Said Ibnu Jubair rahimahullah :
ذكروا اللمس ، فقال ناس من الموالي : ليس بالجماع . وقال ناس من العرب : اللمس الجماع : قال : فأتيت ابن عباس فقلت له : إن ناسا من الموالي والعرب اختلفوا في اللمس ، فقالت الموالي . ليس بالجماع . وقالت العرب : الجماع . قال : من أي الفريقين كنت ؟ قلت : كنت من الموالي . قال : غلب فريق الموالي . إن اللمس والمس والمباشرة : الجماع ، ولكن الله يكني ما شاء بما شاء
Mereka membicarakan masalah al-lams, maka sebagian orang dari kalangan bekas-bekas budak mengatakan bahwa yang dimaksud adalah bukan persetubuhan (tetapi persentuhan). Sejumlah orang dari kalangan orang-orang Arab mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah persetubuhan.
Sa'id ibnu Jubair melanjutkan kisahnya, "Setelah itu aku menjumpai Ibnu Abbas, dan kukatakan kepadanya bahwa orang-orang dari kalangan Mawali dan orang-orang Arab berselisih pendapat mengenai makna al-lams. Para Mawali mengatakan bahwa hal itu bukan persetubuhan, sedangkan orang-orang Arab mengatakannya persetubuhan."
Ibnu Abbas bertanya, "Kalau kamu berasal dari golongan yang mana di antara kedua golongan itu?" Aku menjawab, "Aku berasal dari Mawali." Ibnu Abbas berkata, "Kelompok Mawali kalah, sesungguhnya lams dan mass serta muhasyarah artinya persetubuhan. Allah sengaja mengungkapkannya dengan kata-kata sindiran menurut apa yang dikehendaki-Nya."
(Tafsir Ibnu Katsir).
Pendapat Kedua ini diperkuat dengan dalil dalam ayat lain dalam alquran, bahwa menyentuh itu maksudnya jimak.
Allah Ta'ala berfirman :
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ
Jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur (berjimak) dengan mereka, padahal sesungguhnya kalian sudah menentukan maharnya, maka bayarlah separo dari mahar yang telah kalian tentukan itu. (QS. Al-Baqarah: 237)
Dan Allah Ta'ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِناتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَما لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَها
Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kalian ceraikan mereka sebelum kalian mencampurinya (menjimaknya), maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagi kalian yang kalian minta menyempurnakannya. (QS. Al-Ahzab: 49).
Selain itu mereka juga berdalih dengan hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bahwa bersentuhan kulit atau mencium tidak membatalkan wudhu.
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma , istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dia berkata :
كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَرِجْلاَيَ فِي قِبْلَتِهِ فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا
“Aku tidur di depan Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang sedang shalat), dan kedua kakiku pada kiblat beliau. Jika beliau hendak bersujud, beliau menyentuhku dengan jarinya, lalu aku menarik kedua kakiku. Jika beliau telah berdiri, aku meluruskan kedua kakiku." (HR. Bukhari).
Dan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata :
فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لَيْلَةً مِنْ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِيْ عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ
“Suatu malam aku kehilangan Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidur, kemudian aku mencarinya, lalu tanganku mengenai kedua telapak kaki beliau sebelah dalam ketika beliau sedang di tempat sujud”. (HR Muslim).
Dan Aisyah radhiyallahu anha berkata :
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَبَّلَهَا وَلَمْ يَتَوَضَّأْ
Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menciumnya, dan beliau tidak berwudhu’ (lagi). (HR. Abu Daud. Berkata Syeikh Al Albani : Hadits Shahih).
Pendapat Ketiga
Jika menyentuh kulit wanita dengan syahwat, membatalkan wudhu dan apabila tidak dengan syahwat, maka tidak membatalkan wudhu. Namun pendapat ini menurut ulama tidak ada landasan dalilnya.
Dari ketiga pendapat di atas, yang paling kuat menurut ulama ahlussunnah wal jamaah di abad ini adalah pendapat nomor dua berdasarkan dalil kuat yang dijadikan sebagai hujjahnya.
Syekh Bin Baaz rahimahullah ditanya :
مذهب الشافعي رحمه الله يقول: بأن لمس النساء ينقض الوضوء، فمن هن هؤلاء النساء؟ وهل لمس ذوات المحارم اللاتي لم يبلغن ينقض الوضوء؟
Pendapat madzhab Syafi’i rahimahullah mengatakan bahwa jika lelaki menyentuh wanita itu membatalkan wudhunya. Siapakah wanita yang dimaksud di sini? Apakah menyentuh wanita yang termasuk mahram yang belum baligh juga membatalkan wudhu?
Beliau menjawab :
لمس النساء في نقضه للوضوء خلاف بين العلماء:
فمنهم من قال: إنه ينقض مطلقًا، كالشافعي رحمه الله.
ومنهم من قال: أنه لا ينقض مطلقًا، كأبي حنيفة رحمه الله.
ومنهم من قال: ينقض مع الشهوة، يعني: إذا لمسها بتلذذ وشهوة ينقض الوضوء، وإلى ذلك ذهب الإمام أحمد رحمه الله.
والصواب في هذه المسألة -وهو الذي يقوم عليه الدليل- هو: أن مس المرأة لا ينقض الوضوء مطلقًا، سواء كان عن شهوة أم لا، إذا لم يخرج منه شيء؛ لأنه ﷺ قبل بعض نسائه ثم صلى ولم يتوضأ، ولأن الأصل: سلامة الطهارة، وبراءة الذمة من وضوء آخر، فلا يجب الوضوء إلا بدليل سليم لا معارض له؛ ولأن النساء موجودات في كل بيت غالبًا، والبلوى تعم بمسهن من أزواجهن وغير أزواجهن من المحارم، فلو كان المس ينقض الوضوء لبينه النبي ﷺ بيانًا واضحًا، وأما قوله تعالى: أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ [المائدة: 6] وفي قراءة أخرى: أَوْ لمَسْتُمُ النِّسَاءَفالمراد به: الجماع، فكنى الله بذلك عن الجماع، كما كنى الله عنه سبحانه بالمس في آية أخرى، هكذا قال ابن عباس رضي الله عنهما وجماعة من أهل العلم، وهو الصواب.
Mengenai masalah lelaki menyentuh wanita apakah membatalkan wudhu atau tidak, ini terjadi khilaf di antara para ulama. Sebagian ulama berpendapat hal tersebut membatalkan wudhu secara mutlak, sebagaimana pendapat Imam Asy Syafi’i rahimahullah. Dan sebagian ulama juga berpendapat hal itu tidak membatalkan wudhu secara mutlak, sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah rahimahullah. Ada juga ulama yang berpendapat hal itu membatalkan wudhu jika menyentuhnya dengan disertai syahwat, yaitu menyentuh wanita dalam rangka bercumbu dan disertai syahwat, maka ini membatalkan wudhu. Ini pendapat yang dicenderungi oleh Imam Ahmad rahimahullah.
Yang tepat dalam masalah ini adalah yang dilandasi oleh dalil. Yaitu bahwasanya menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak. Baik dengan syahwat maupun tanpa syahwat, selama tidak keluar mani sama sekali. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mencium sebagian istri-istri beliau kemudian shalat tanpa berwudhu lagi. Dan juga hukum asal yang berlaku adalah salamatut thaharah (sahnya wudhu) dan bara’atudz dzimmah (tidak adanya tuntutan) untuk berwudhu kembali. Maka tidak wajib untuk berwudhu kembali kecuali ada dalil shahih yang menunjukkannya yang tidak bertentangan dengan dalil yang lain.
Karena secara umum wanita itu ada di rumah-rumah (di zaman Nabi), dan sulit menghindari persentuhan dengan para istri dan juga wanita lain yang masih termasuk mahram. Andaikan menyentuh wanita itu membatalkan wudhu maka tentu ketika itu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam akan menjelaskan sejelas-jelasnya.
Adapun firman Allah Ta’ala: “… atau engkau menyentuh wanita” (QS. Al Maidah: 6)
Dalam qira’ah yang lain: “… atau engkau sungguh-sungguh menyentuhnya“
Maka yang dimaksud di sini adalah: jima’. Allah Ta’ala menggunakan kinayah (kata kiasan) untuk menyebutkan jima’. Sebagaimana Allah Ta’ala juga menggunakan kinayah dengan kata المس (menyentuh) untuk menyebutkan jima’ dalam ayat yang lain. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma dan sejumlah ulama. Dan inilah yang tepat. (Nurun Alad Darbisy Syarith 65 dan Majmu' Fatawa Syeikh Bin Baaz 10/135).
AFM
MENYENTUH WANITA MEMBATALKAN WUDHU?
Menyentuh wanita membatalkan wudhu atau tidak menjadi perbedaan pendapat yang sudah berlangsung lama. Bahkan sejak masa imam madzhab sudah terjadi perselisihan.
Perbedaan ini berpusat dan berputar pada penafsiran kata lamastumunnisa (menyentuh wanita) pada ayat tentang dalilnya wudhu.
Allah Ta'ala berfirman :
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau MENYENTUH PEREMPUAN, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih). (QS. al-Mâidah : 6).
Dan Allah Ta'ala berfirman :
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضى أَوْ عَلى سَفَرٍ أَوْ جاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّساءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيداً طَيِّباً
Dan jika kalian sakit atau sedang dalam musafir atau seseorang di antara kalian datang dari tempat buang air atau kalian telah MENYENTUH PEREMPUAN, kemudian kalian tidak mendapat air, maka bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik (suci). (QS. An-Nisa: 43)
Perbedaan pendapat mengenai hal ini tidak kurang dari tiga pendapat.
Pendapat Pertama
Yang di maksud menyentuh ayat di atas adalah menyentuh kulit. Bila bersentuhan kulit dengan wanita, baik yang mahram atau tidak itu membatalkan wudhu.
Berkata Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu :
اللمس ما دون الجماع .
Al-lams ialah melakukan kontak tubuh dengan perempuan selain persetubuhan.
Dan berkata Abdullah ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu :
القبلة من المس ، وفيها الوضوء
Ciuman itu termasuk al-massu, pelakunya diwajibkan berwudu.
Berkata Nafi rahimahullah :
أن ابن عمر كان يتوضأ من قبلة المرأة ، ويرى فيها الوضوء ، ويقول : هي من اللماس .
Bahwa Ibnu Umar pernah melakukan wudu karena telah mencium istrinya. ia berpendapat bahwa perbuatan tersebut mengharuskan seseorang berwudu. Menurutnya perbuatan tersebut termasuk al-limas.
(Tafsir Ibnu Katsir).
Pendapat Kedua
Bahwa yang di maksud menyentuh dalam ayat di atas adalah persetubuhan, bukan menyentuh kulit. Sehingga jika hanya bersentuhan kulit tidak membatalkan wudhu.
Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu anhu tentang ayat :
( أو لامستم النساء ) قال : الجماع .
Atau kalian telah menyentuh perempuan. (QS. An-Nisa: 43) : Beliau berkata : Itu persetubuhan.
Berkata Said Ibnu Jubair rahimahullah :
ذكروا اللمس ، فقال ناس من الموالي : ليس بالجماع . وقال ناس من العرب : اللمس الجماع : قال : فأتيت ابن عباس فقلت له : إن ناسا من الموالي والعرب اختلفوا في اللمس ، فقالت الموالي . ليس بالجماع . وقالت العرب : الجماع . قال : من أي الفريقين كنت ؟ قلت : كنت من الموالي . قال : غلب فريق الموالي . إن اللمس والمس والمباشرة : الجماع ، ولكن الله يكني ما شاء بما شاء
Mereka membicarakan masalah al-lams, maka sebagian orang dari kalangan bekas-bekas budak mengatakan bahwa yang dimaksud adalah bukan persetubuhan (tetapi persentuhan). Sejumlah orang dari kalangan orang-orang Arab mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah persetubuhan.
Sa'id ibnu Jubair melanjutkan kisahnya, "Setelah itu aku menjumpai Ibnu Abbas, dan kukatakan kepadanya bahwa orang-orang dari kalangan Mawali dan orang-orang Arab berselisih pendapat mengenai makna al-lams. Para Mawali mengatakan bahwa hal itu bukan persetubuhan, sedangkan orang-orang Arab mengatakannya persetubuhan."
Ibnu Abbas bertanya, "Kalau kamu berasal dari golongan yang mana di antara kedua golongan itu?" Aku menjawab, "Aku berasal dari Mawali." Ibnu Abbas berkata, "Kelompok Mawali kalah, sesungguhnya lams dan mass serta muhasyarah artinya persetubuhan. Allah sengaja mengungkapkannya dengan kata-kata sindiran menurut apa yang dikehendaki-Nya."
(Tafsir Ibnu Katsir).
Pendapat Kedua ini diperkuat dengan dalil dalam ayat lain dalam alquran, bahwa menyentuh itu maksudnya jimak.
Allah Ta'ala berfirman :
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ
Jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur (berjimak) dengan mereka, padahal sesungguhnya kalian sudah menentukan maharnya, maka bayarlah separo dari mahar yang telah kalian tentukan itu. (QS. Al-Baqarah: 237)
Dan Allah Ta'ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِناتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَما لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَها
Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kalian ceraikan mereka sebelum kalian mencampurinya (menjimaknya), maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagi kalian yang kalian minta menyempurnakannya. (QS. Al-Ahzab: 49).
Selain itu mereka juga berdalih dengan hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bahwa bersentuhan kulit atau mencium tidak membatalkan wudhu.
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma , istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dia berkata :
كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَرِجْلاَيَ فِي قِبْلَتِهِ فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا
“Aku tidur di depan Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang sedang shalat), dan kedua kakiku pada kiblat beliau. Jika beliau hendak bersujud, beliau menyentuhku dengan jarinya, lalu aku menarik kedua kakiku. Jika beliau telah berdiri, aku meluruskan kedua kakiku." (HR. Bukhari).
Dan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata :
فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لَيْلَةً مِنْ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِيْ عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ
“Suatu malam aku kehilangan Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidur, kemudian aku mencarinya, lalu tanganku mengenai kedua telapak kaki beliau sebelah dalam ketika beliau sedang di tempat sujud”. (HR Muslim).
Dan Aisyah radhiyallahu anha berkata :
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَبَّلَهَا وَلَمْ يَتَوَضَّأْ
Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menciumnya, dan beliau tidak berwudhu’ (lagi). (HR. Abu Daud. Berkata Syeikh Al Albani : Hadits Shahih).
Pendapat Ketiga
Jika menyentuh kulit wanita dengan syahwat, membatalkan wudhu dan apabila tidak dengan syahwat, maka tidak membatalkan wudhu. Namun pendapat ini menurut ulama tidak ada landasan dalilnya.
Dari ketiga pendapat di atas, yang paling kuat menurut ulama ahlussunnah wal jamaah di abad ini adalah pendapat nomor dua berdasarkan dalil kuat yang dijadikan sebagai hujjahnya.
Syekh Bin Baaz rahimahullah ditanya :
مذهب الشافعي رحمه الله يقول: بأن لمس النساء ينقض الوضوء، فمن هن هؤلاء النساء؟ وهل لمس ذوات المحارم اللاتي لم يبلغن ينقض الوضوء؟
Pendapat madzhab Syafi’i rahimahullah mengatakan bahwa jika lelaki menyentuh wanita itu membatalkan wudhunya. Siapakah wanita yang dimaksud di sini? Apakah menyentuh wanita yang termasuk mahram yang belum baligh juga membatalkan wudhu?
Beliau menjawab :
لمس النساء في نقضه للوضوء خلاف بين العلماء:
فمنهم من قال: إنه ينقض مطلقًا، كالشافعي رحمه الله.
ومنهم من قال: أنه لا ينقض مطلقًا، كأبي حنيفة رحمه الله.
ومنهم من قال: ينقض مع الشهوة، يعني: إذا لمسها بتلذذ وشهوة ينقض الوضوء، وإلى ذلك ذهب الإمام أحمد رحمه الله.
والصواب في هذه المسألة -وهو الذي يقوم عليه الدليل- هو: أن مس المرأة لا ينقض الوضوء مطلقًا، سواء كان عن شهوة أم لا، إذا لم يخرج منه شيء؛ لأنه ﷺ قبل بعض نسائه ثم صلى ولم يتوضأ، ولأن الأصل: سلامة الطهارة، وبراءة الذمة من وضوء آخر، فلا يجب الوضوء إلا بدليل سليم لا معارض له؛ ولأن النساء موجودات في كل بيت غالبًا، والبلوى تعم بمسهن من أزواجهن وغير أزواجهن من المحارم، فلو كان المس ينقض الوضوء لبينه النبي ﷺ بيانًا واضحًا، وأما قوله تعالى: أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ [المائدة: 6] وفي قراءة أخرى: أَوْ لمَسْتُمُ النِّسَاءَفالمراد به: الجماع، فكنى الله بذلك عن الجماع، كما كنى الله عنه سبحانه بالمس في آية أخرى، هكذا قال ابن عباس رضي الله عنهما وجماعة من أهل العلم، وهو الصواب.
Mengenai masalah lelaki menyentuh wanita apakah membatalkan wudhu atau tidak, ini terjadi khilaf di antara para ulama. Sebagian ulama berpendapat hal tersebut membatalkan wudhu secara mutlak, sebagaimana pendapat Imam Asy Syafi’i rahimahullah. Dan sebagian ulama juga berpendapat hal itu tidak membatalkan wudhu secara mutlak, sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah rahimahullah. Ada juga ulama yang berpendapat hal itu membatalkan wudhu jika menyentuhnya dengan disertai syahwat, yaitu menyentuh wanita dalam rangka bercumbu dan disertai syahwat, maka ini membatalkan wudhu. Ini pendapat yang dicenderungi oleh Imam Ahmad rahimahullah.
Yang tepat dalam masalah ini adalah yang dilandasi oleh dalil. Yaitu bahwasanya menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak. Baik dengan syahwat maupun tanpa syahwat, selama tidak keluar mani sama sekali. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mencium sebagian istri-istri beliau kemudian shalat tanpa berwudhu lagi. Dan juga hukum asal yang berlaku adalah salamatut thaharah (sahnya wudhu) dan bara’atudz dzimmah (tidak adanya tuntutan) untuk berwudhu kembali. Maka tidak wajib untuk berwudhu kembali kecuali ada dalil shahih yang menunjukkannya yang tidak bertentangan dengan dalil yang lain.
Karena secara umum wanita itu ada di rumah-rumah (di zaman Nabi), dan sulit menghindari persentuhan dengan para istri dan juga wanita lain yang masih termasuk mahram. Andaikan menyentuh wanita itu membatalkan wudhu maka tentu ketika itu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam akan menjelaskan sejelas-jelasnya.
Adapun firman Allah Ta’ala: “… atau engkau menyentuh wanita” (QS. Al Maidah: 6)
Dalam qira’ah yang lain: “… atau engkau sungguh-sungguh menyentuhnya“
Maka yang dimaksud di sini adalah: jima’. Allah Ta’ala menggunakan kinayah (kata kiasan) untuk menyebutkan jima’. Sebagaimana Allah Ta’ala juga menggunakan kinayah dengan kata المس (menyentuh) untuk menyebutkan jima’ dalam ayat yang lain. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma dan sejumlah ulama. Dan inilah yang tepat. (Nurun Alad Darbisy Syarith 65 dan Majmu' Fatawa Syeikh Bin Baaz 10/135).
AFM
Komentar
Posting Komentar