Jalan Tol Dan Bandara
JALAN TOL DAN BANDARA INTERNASIONAL
Oleh : Abu Fadhel Majalengka
Setahun yang lalu, penulis pulang kampung, berjumpa dan bersilaturrahim dengan orang tua, saudara dan karib kerabat setelah sekian lama penulis tidak mudik.
Betapa kagetnya penulis dengan perkembangan kampung yang begitu pesat dilhat dari segi fisiknya.
Sawah yang membentang luas, kini penuh dengan bangunan. Perumahan muncul dimana-mana, kontrakan rumah memadati pekarangan, ruko-ruko berdiri dipinggir jalan utama, maupun lorong-lorong kampung.
Pendatang dari berbagai suku memenuhi perumahan dan kontrakan-kontrakan yang ada. Membuat penulis semakin terheran-heran dengan perubahan yang ada.
Selidik punya selidik, ternyata kampung penulis terkena proyek jalan tol yang menghubungkan Cirebon-Bandara Internasional Kertajati Majalengka dan Sumedang.
Dengan jalan tol yang membelah kampung, mengundang pemilik modal untuk mendirikan perusahaan-perusahan di sekitar jalan tol. Berdirilah pabrik sepatu, pabrik kaos kaki, pabrik produk makanan dan lain sebagainya.
Inilah salah satu penyebab habisnya sawah-sawah yang membentang luas. Dulu memang ada pabrik gula dan pabrik genteng, namun tidak memakan banyak lahan. Dan pekerjanya hanya orang lokal. Berbeda dengan keadaan sekarang, pabrik-pabrik memakan banyak lahan dan tenaga kerja yang membludak, yang berdatangan dari seluruh penjuru tanah air.
Penulis mengobrol dengan teman-teman lama yang masih ada, mereka banyak bercerita tentang kondisi kampung, terutama kondisi generasi mudanya. Dimana pergaulan bebas dan narkoba menerjang mereka. Banyak sudah korban pergaulan bebas dan korban narkoba. Mungkin ini pula salah satu dampak peralihan dari masyarakat perkampungan keperkotaan.
Musholla yang penuh dengan anak-anak kecil dan remaja belajar agama sebelum penulis pergi merantau, kini sepi dan banyak ditinggalkan.
Sungai yang jernih, yang tampak dasar sungainya, tempat anak-anak dan orang-orang kampung berenang dan mandi, kini menghitam dan bau yang menyengat.
Pesawahan yang sejauh mata memandang, yang menyejukkan pandangan, kini menyesakkan mata dengan tegaknya dinding tembok bangunan.
Penulis bergembira dengan adanya bandara internasional Kertajati Majalengka dan jalan tol yang melintas dan membelah kampung, jika penulis pulang kampung, tidak perlu berjam-jam menempuh perjalanan dari jakarta baru tiba di kampung, kini hanya memerlukan waktu kurang dari setengah jam dari bandara, sudah sampai depan rumah.
Namun penulis merasa prihatin dan ada rasa yang hilang setap kali pulang kampung, yakni suasana di kampung tempo dulu di era tahun 80-an. Sungai yang jernih, sawah yang membentang dan alunan anak-anak belajar mengaji di mushola-mushola.
Namun kampung halaman tetap ada daya tarik dan magnet tersendiri, apatah lagi masih ada orang tua yang masih hidup, saudara-saudara dan karib kerabat yang banyak serta sahabat-sahabat lama yang masih ada.
Benarlah yang Nabi shallallahu alaihi wa sallam ungkapkan tentang kerindukannya ke kota Makkah, tempat kelahirannya.
Dalam kitab Akhbar Makkah karangan Imam Abu Al-Walid Muhammad Al-Azraqi) dikisahkan :
Suatu hari seorang sahabat bernama Ashil Al-Ghifari baru kembali dari Mekkah. Ketika hendak menemui Nabi, istri Rasulullah Aisyah Radiallahu Anha bertanya kepadanya, "Wahai Ashil, bagaimana keadaan Mekkah sekarang?"
Ashil menjawab, "Aku melihat Mekkah subur wilayahnya, dan menjadi bening aliran sungainya."
"Duduklah engkau, wahai Ashil. Tunggu sampai Rasulullah datang," kata Aisyah.
Tak lama, Rasulullah pun keluar dari kamar dan menanyakan hal yang serupa. Ia berkata, "Wahai Ashil, ceritakanlah padaku bagaimana keadaan Mekkah sekarang?"
Ashil menjawab, "Aku melihat Mekkah subur wilayahnya, telah bening aliran sungainya, telah banyak tumbuh idzkirnya (nama sejenis pohon), telah tebal rumputnya, dan telah ranum salamnya (sejenis tanaman yang biasa digunakan untuk menyamak kulit)."
"Cukup, wahai Ashil. Jangan kau buat kami bersedih," ucap Rasul dengan penuh rindu. (Al-Azraqy: 11/155).
Komentar
Posting Komentar