Nduga Papua Yang Aku Kenang

NDUGA PAPUA YANG AKU KENANG

Tiga belas tahun yang lalu, di bulan ramadhan, penulis tiba di kabupaten Nduga, salah satu kabupaten  baru di Papua ketika itu.

Pusat kota hanya ada kantor kecamatan dan pasar rakyat,  yang  terdiri dari kios-kios dari kayu sederhana yang dihuni pedagang dari suku makasar bugis dan  jawa yang  menjual sembako dan pakaian dan lapak lesehan para pedagang penduduk  asli,  yang menjajakan sayuran (wortel,  kol dll) dan bawang tunggal.

Dari kota Wamena menempuh perjalanan sekitar kurang lebih lima jam,  menyusuri jurang dan tebing tinggi yang curam dengan jalan tanpa aspal,  hanya tanah dan batu yang dikeraskan,  kalau hujan tiba,  jalan seperti menjadi wahana balap mobil jeep, Off Road Mobil Jeep Extreme.

Udara dingin menusuk tulang, baju tiga lapis (kaos dalam, baju gamis dan jaket) tetaplah tidak bisa menahan dinginnya cuaca. Kabut tebal menutupi matahari, jika berbicara keluarlah asap dari mulut seperti merokok. Dan matahari baru menyinari setelah waktu menunjukkan jam 11 siang.

Di malam hari lebih parah lagi, selimut tebal tidaklah cukup menghangatkan tubuh, hanya kayu bakar yang dinyalakan yang bisa mengusir dingin.

Air kopi yang mendidih, sebentar saja mengalir di tenggorokan, karena seketika air menjadi hangat dan cenderung menjadi dingin kalau lambat ditenggak.

Yang paling malas kalau mau wudhu atau mandi, mesti di campur rebusan air, karena air sedingin salju tidak kuat dihadapi, badan langsung menggigil kaku karena saking dinginnya.

Sekitar dua minggu penulis tinggal di pusat kota tersebut  untuk mengisi ceramah tarawih dan kultum subuh,  sekaligus merangkap imam untuk warga pendatang  muslim yang  hanya berjumlah sekitar 20 orang saja.

Waktu itu musholah atau masjid belum ada,  kami shalat dibelakang rumah warga dengan berbagai kesederhanaan.

Para pendatang  muslim kebanyakan berkecukupan hidupnya, dilihat dari rutinitas mereka  pulang pergi ke jawa atau makasar untuk belanja dan pulang kampung.

Sedangkan penduduk  asli  merupakan pembeli yang sangat royal,  berapa pun harga jual tetaplah mereka beli dan uang yang mereka pegang tidak puas kalau tidak dihabiskan.

Suatu ketika penulis di ajak kepala sekolah SD yang asli Jawa Timur ke sekolahhnya.  Kami berjalan menyusuri bukit, gunung, lembah dan padang ilalang sejauh hampir satu jam lebih perjalanan. Setelah menyebrangi sungai yang cukup deras airnya, barulah tiba di sekolah.

Seorang guru dan beberapa siswa menyambut kami dengan ramah. Kami berbincang-bincang panjang lebar dengan guru yang  asli papua tersebut sambil melepas lelah.

Beliau bercerita,  "Saya disini mengajar sendirian sebanyak enam kelas,  guru yang lain malas datang, karena tempat sekolah ini yang sangat terpencil dan kebanyakan guru-guru yang lain tinggal di kota Wamena."

Penulis waktu itu diminta untuk memberikan motivasi kepada para murid oleh guru tersebut.

"Adek-adek, belajarlah dengan  penuh semangat, hari ini mungkin ade-ade sekolah dengan sarana apa adanya, sekolah hanya sekedar gedung dari kayu, beralaskan tanah, sekolah tanpa alas kaki tanpa sandal, guru yang mengajar nyaris tidak ada dan segala keterbatasan lainya. Namun ingat, dengan belajar yang sungguh-sungguh dan penuh semangat, ke depan kalian berada di atas gedung-gedung Jakarta menjadi orang-orang sukses."

Itu yang penulis katakan. Mereka terlihat matanya berbinar-binar penuh harapan. Entahlah apakah ada mereka di Jakarta sekarang ini  menjadi orang yang berhasil. Semoga juga diantara mereka ada yang mendapatkan hidayah islam dan sunnah. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah.

Abu Fadhel Majalengka

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadah Dimalam Nisfu Sya'ban

Royalti Di Akhirat

KENAPA KAMU DIAM?