PAKAIAN NYELENEH

PAKAIAN NYELENEH 


Nabi shallallahu alaihi wa sallam kalau berpakaian sebagaimana pakaian yang biasa dipakai kebanyakan masyarakat pada umumnya pada waktu itu. Beliau tidak dikenal dengan pakaian yang berbeda dengan kaumnya. Kalau orang yang belum pernah ketemu Nabi, pasti tidak tahu mana Beliau. Karena Beliau tidak memakai pakaian kemasyhuran yang berbeda dengan kaumnya. 

Berkata Anas Bin Malik radhiyallahu anhu, 

بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ دَخَلَ رَجُلٌ عَلَى جَمَلٍ فَأَنَاخَهُ فِي الْمَسْجِدِ ثُمَّ عَقَلَهُ ثُمَّ قَالَ لَهُمْ أَيُّكُمْ مُحَمَّدٌ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَّكِئٌ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِمْ فَقُلْنَا هَذَا الرَّجُلُ الْأَبْيَضُ الْمُتَّكِئُ فَقَالَ لَهُ الرَّجُلُ يَا ابْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَجَبْتُكَ.. 

Ketika kami sedang duduk-duduk bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam didalam Masjid, ada seorang yang menunggang unta datang lalu menambatkannya di dekat Masjid lalu berkata kepada mereka (para sahabat): "Siapa diantara kalian yang bernama Muhammad?" Pada saat itu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersandaran di tengah para sahabat, lalu kami menjawab: "orang Ini, yang berkulit putih yang sedang bersandar". Orang itu berkata kepada Beliau; "Wahai putra Abdul Muththalib" Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Ya, aku sudah menjawabmu"... (HR. Bukhari, Abu Daud dan yang lainnya). 

Berkata Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah, 

وكان عليه الصلاة والسلام لتواضعه لا يعرف، فإذا كان بين أصحابه الذي لا يعرفه لا يميزه... 

“Adalah beliau shallallahu alaihi wasallam karena sifat tawadhu’nya, tidak dikenal (oleh orang yang belum pernah mengenalnya). Jika beliau berada di antara sahabat beliau, maka beliau tidak bisa dikenal dan dibedakan.... .” (Syarh Sunan Abi Dawud: 3/297). 

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melarang memakai pakaian kemasyhuran. Pakaian yang menjadikan seseorang terkenal dan mendapatkan isyarat karena pakaian tersebut. Pakaian yang keluar dari kebiasaan manusia sehingga pemakainya menjadi terkenal dan menjadi buah bibir.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِي الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللَّهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ )ثُمَّ تُلَهَّبُ فِيهِ النَّارُ

“Barangsiapa memakai pakaian kemasyhuran di dunia, maka Allah akan memberikannya pakaian kehinaan pada hari kiamat (kemudian dinyalakan api untuknya).” (HR. Ahmad dan Abu Dawud). 

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِي الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، ثُمَّ أَلْهَبَ فِيهِ نَارًا

“Barang siapa memakai baju (untuk) kemasyhuran di dunia, kelak di hari kiamat Allah  Subhanahu wata’ala akan memakaikan kepadanya baju kehinaan, kemudian Allah  Subhanahu wata’ala mengobarkan api di dalamnya.” (HR. Ibnu Majah dan Abu Dawud). 

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, 

وَتُكْرَهُ الشُّهْرَةُ مِنْ الثِّيَابِ وَهُوَ الْمُتَرَفِّعُ الْخَارِجُ عَنْ الْعَادَةِ وَالْمُتَخَفِّضُ الْخَارِجُ عَنْ الْعَادَةِ ؛ فَإِنَّ السَّلَفَ كَانُوا يَكْرَهُونَ الشهرتين الْمُتَرَفِّعَ وَالْمُتَخَفِّضَ وَفِي الْحَدِيثِ ” { مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ } ” . وَخِيَارُ الْأُمُورِ أَوْسَاطُهَا

“Dan kemasyhuran dalam berpakaian adalah dibenci. Yaitu (pakaian) kesombongan (yang lebih tinggi (indah)), yang keluar dari kebiasaan (masyarakat) dan (pakaian) yang lebih hina (jelek) yang keluar dari kebiasaan (masyarakat). Karena as-Salaf membenci dua baju kemasyhuran, yaitu pakaian yang lebih tinggi (indah) dan pakaian yang lebih hina (jelek). Dan di dalam al-Hadits: “Barangsiapa yang memakai baju kemasyhuran maka Allah akan memakaikan untuknya baju kehinaan.” Dan sebaik-baik urusan adalah tengah-tengahnya.” (Majmu’ al-Fatawa: 22/138).

Berkata Syekh Utsaimin Rahimahullah, 

ثوب الشهرة ليس له كيفية معينة أو صفة معينة وإنما يراد بثوب الشهرة ما يشتهر به الإنسان أو يشار إليه بسببه فيكون متحدث الناس في المجالس فلان لبس كذا فلان لبس كذا وبناء على ذلك قد يكون الثوب الواحد شهرة في حق إنسان وليس شهرة في حق الآخر فلباس الشهرة إذن هو ما يكون خارجا عن عادات الناس بحيث يشتهر لابسه وتلوكه الألسن وإنما جاء النهي عن لباس الشهرة لئلا يكون ذلك سببا لغيبة الإنسان وإثم الناس بغيبته

“Baju kemasyhuran tidak mempunyai tata cara tertentu atau sifat tertentu. Yang dimaksud dengan baju kemasyhuran hanyalah pakaian yang menjadikan seseorang terkenal dan mendapatkan isyarat karena pakaian tersebut. Sehingga ia menjadi bahan pembicaraan manusia di majelis-majelis. Fulan memakai baju demikian. Fulan memakai baju demikian. Atas dasar ini, maka suatu pakaian bisa menjadi baju kemasyhuran pada seorang manusia dan tidak menjadi baju kemasyhuran pada orang lain. Maka kalau begitu, pakaian kemasyhuran adalah pakaian yang keluar dari kebiasaan manusia sehingga pemakainya menjadi terkenal dan menjadi buah bibir. Larangan pakaian kemasyhuran hanyalah datang agar ia tidak menjadi bahan ‘ghibah’ orang lain dan juga agar manusia tidak jatuh dalam dosa perbuatan ghibah karenanya.” (Fatawa Nur alad Darb, Ahkam Libasil Mar’ah: 23).

Untuk itulah di dalam berpakaian hendaklah nengikuti kebiasaan masyarakat di dalam berpakaian, selama pakaian tersebut tidak diharamkan. Dan itu merupakan sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam. Karena sesungguhnya menyelisihi pakaian kebiasaan masyarakat setempat menjadikannya termasuk kemasyhuran. 

Berkata Abul Hasan al-Mardawi al-Hanbali rahimahullah,

يكره لبس ما فيه شهرة أو خلاف زي بلدة من الناس على الصحيح من المذهب

“Dibenci memakai baju yang di dalamnya terdapat kemasyhuran atau baju yang menyelisihi pakaian kebiasaan negeri diantara manusia, menurut pendapat yang benar dari Madzhab Hanbali.” (Al-Inshaf fi Ma’rifatir Rajih minal Khilaf: 1/333).

Berkata al-Imam Ibnu Baththal Al Malikiyah rahimahullah, 

فالذى ينبغى للرجل أن يتزى فى كل زمان بزى أهله مالم يكن إثمًا لأن مخالفة الناس فى زيهم ضرب من الشهرة

“Maka yang seharusnya bagi seseorang adalah berpakaian di setiap jaman sesuai dengan pakaian penduduk jamannya, selagi bukan dosa, karena menyelisihi manusia dalam pakaian mereka termasuk bagian dari ‘kemasyhuran’.” (Syarh Shahihil Bukhari li Ibni Baththal: 9/123).

Berkata al-Imam ath-Thabari Asy Syafi’iyah rahimahullah, 

فإن مراعاة زى الزمان من المروءة ما لم يكن إثما وفي مخالفة الزي ضرب من الشهرة

“Maka sesungguhnya menjaga diri untuk berpakaian yang sesuai dengan penduduk jamannya adalah termasuk sikap muru’ah, selagi bukan perbuatan dosa. Dan di dalam menyelisihi pakaian mereka terdapat semacam ‘kemasyhuran’.” (Fathul Bari: 10/306).

Al-Allamah Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan:

وهنا مسألة لا بد أن نتفطن لها وهي: أن موافقة العادات في غير المحرم هي السنة؛ لأن مخالفة العادات تجعل ذلك شهرة، والنبي صلى الله عليه وسلم نهى عن لباس الشهرة ، فيكون ما خالف العادة منهيا عنه. وبناء على ذلك نقول: هل من السنة أن يتعمم الإنسان؟ ويلبس إزارا ورداء؟
الجواب: إن كنا في بلد يفعلون ذلك فهو من السنة، وإذا كنا في بلد لا يعرفون ذلك، ولا يألفونه فليس من السنة.

“Di sini terdapat masalah yang harus dipahami, yaitu: Mengikuti kebiasaan masyarakat di dalam pakaian yang tidak diharamkan adalah sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam. Ini karena menyelisihi pakaian kebiasaan masyarakat setempat menjadikannya termasuk kemasyhuran. Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang dari baju kemasyhuran, sehingga pakaian yang menyelisihi kebiasaan masyarakat itu dilarang. Dan berdasarkan penjelasan ini kita katakan: “Apakah termasuk dari as-Sunnah jika seseorang menggunakan imamah (sorban)? Dan memakai sarung dan selendang?

Jawaban: Jika kita berada di negeri yang menggunakannya, maka itu termasuk dari as-Sunnah. Dan jika kita menggunakannya di negeri yang tidak mengenal pakaian tersebut dan tidak memakainya, maka itu bukan termasuk as-Sunnah.” (Asy-Syarhul Mumti’: 6/108).
Pendapat Ibnu Utsaimin di atas merupakan pendapat keumuman ulama Hanabilah. 

AFM 

Copas dari berbagai sumber 



 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadah Dimalam Nisfu Sya'ban

Royalti Di Akhirat

KENAPA KAMU DIAM?