Ciri Ahlul Bid'ah, Mendoakan Kejelekan Bagi Penguasa

CIRI AHLUL BID'AH, MENDOAKAN KEJELEKAN BAGI PENGUASA

Oleh : Abu Fadhel Majalengka

Merupakan ciri para salaf terdahulu dan ciri orang yang  beriman dari kalangan ahlussunnah wal jamaah mendoakan hidayah dan kebaikan bagi pemimpin.

Contoh misalkan, Imam Ahmad rahimahullah yang dizalimi oleh penguasa zalim karena adanya fitnah alquran makhluk. Beliau dipenjara dan siksa dengan kejam, namun beliau tidak memberontak, tidak memprovokasi masyarakat untuk mengadakan perlawanan dan justru selalu mendoakan hidayah dan kebaikan kepada penguasa muslim yang menzaliminya.

Berkata Imam Ahmad Bin Hambal rahimahullah :

وإني لأدعو الله للأمير بالتسديد والتوفيق، في الليل والنهار..  البداية و النهاية ١٠/٣٣٧

Dan sesungguhnya aku, mendoakan petunjuk jalan yg lurus dan taufik (hidayah) untuk pemimpin malam dan siang. Al Bidayah wa Nihayah 10/337.

Dan berkata Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah :

مِـن صـفَـاتِ المُـؤمـن مِـن أهْـل السّــنة والجَـمـاعـة:» (الدعاء لأئمة المسلمين بالصلاح)
طبقات الحنابلة-١/٣٣


"Termasuk sifat seorang mukmin dari ahlussunnah wal jamaah adalah: mendoakan pemimpin-pemimpin kaum muslimin dengan kesalehan (kebaikan) ". [thabaqatul hanabilah (1/33)]

Hanya ahlul bid'ah yang senantiasa mendoakan kejelekan dan keburukan kepada penguasa. Sedangkan ahlussunnah, senantiasa mendoakan kebaikan kepada penguasa muslim.

Berkata Al Imam Al Barbahari rahimahullah:

قال للإمام البربهاري رحمه الله : وإذا رأيت الرجل يدعو على السلطان فاعلم أنه صاحب هوى وإذا سمعت الرجل يدعو للسلطان بالصلاح فاعلم أنه صاحب سنة.

يقول فضيل بن عياض لو كان لي دعوة مستجابة ما جعلتها الا في السلطان. قيل له يا أبا علي فسر لنا هذا قال إذا جعلتها في نفسي لم تعدني وإذا جعلتها في السلطان صلح فصلح بصلاحه العباد والبلاد.

فأمرنا أن ندعو لهم بالصلاح ولم نؤمر أن ندعو عليهم وإن جاروا وظلموا لأن جورهم وظلمهم على أنفسهم وصلاحهم لأنفسهم وللمسلمين

Jika engkau melihat seseorang yang mendoakan jelek pada penguasa, ketahuilah bahwa ia adalah ahlul bid’ah. Jika engkau mendengar orang yang mendoakan kebaikan pada penguasanya, ketahuilah bahwa ia adalah ahlus sunnah.

Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Seandainya aku memiliki satu doa yang mustajab (terkabulkan), tentu akan kutujukan doa tersebut pada pemimpin.” Ada yang bertanya pada Fudhail, “Kenapa bisa begitu? Jelaskanlah pada kami.” Beliau menjawab, “Jika aku tujukan doa tersebut pada diriku saja, maka itu hanya bermanfaat untukku. Namun jika aku tujukan untuk pemimpinku, maka rakyat dan negara akan menjadi baik.”

Maka kami diperintah untuk mendoakan kebaikan pada pemimpin dan tidak diperintah untuk mendoakan jelek untuk mereka. Jika mereka berbuat zalim, kezaliman itu mereka akan tanggung sendiri. Namun jika mereka baik, maka kebaikannya akan tertuju pada diri mereka dan kaum muslimin secara umum. (Syarhus Sunnah hal 113-114) .

Berkata Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah :

لو أن لي دعوة مستجابة ما صيرتها إلا في الإمام قيل له: وكيف ذلك يا أبا علي؟ قال: متى ما صيرتها في نفسي لم تجزني ومتى صيرتها في الإمام فصلاح الإمام صلاح العباد والبلاد

 “Seandainya aku memiliki doa yang mustajab, maka akan aku tujukan doa tersebut kepada pemimpin.”

Ada yang bertanya pada Fudhail, “Mengapa bisa demikian?” Ia menjawab, “Jika aku tujukan doa tersebut pada diriku saja, maka itu hanya bermanfaat untukku. Namun jika aku tujukan untuk pemimpinku, maka rakyat dan negara akan menjadi baik.”  (Hilyatul Auliya’ karya Abu Nu’aim Al Ashfahaniy, 8: 77)

Berkata Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thohawi  :

ولا نرى الخروج على أئمتنا و ولاة أمورنا وإِن جاروا ، ولا ندعوا عليهم ولا ننزع يدا من طاعتهم ، ونرى طاعتهم من طاعة الله عزوجل فريضة ما لم يأمروا بمعصية، وندعوا لهم بالصلاح والمعافاة

”Dan kami tidak memandang bolehnya memberontak kepada para pemimpin dan para waliyyul amr kami, meskipun mereka berbuat kecurangan, kami tidak mendoakan kejelekan kepada mereka, kami tidak melepaskan diri dari ketaatan kepada mereka, kami memandang ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla sebagai suatu kewajiban selama mereka tidak memerintah kepada kemakshiyatan, dan kami doakan mereka dengan kebaikan dan keselamatan” (Syarah Aqidah Thahawiyyah 2/540 ).

Berkata Al-Imam Abu Utsman Ash-Shabuni rahimahullah :

ويرى أصحاب الحديث الجمعة والعيدين و غيرهما من الصلوات ، خلف كل إِمام ، برا كان أو فاجراً ، ويرون جهاد الكفرة معهم ، وإِن كانوا جَوَرة فجرة ، ويرون الدعاء لهم بالإِصلاح والتوفيق والصلاح ، وبسط العدل في الرعية

“Dan Ashabul hadits memandang shalat Jumat, Iedain, dan shalat-shalat yang lainnya di belakang setiap imam yang muslim yang baik maupun yang fajir, mereka memandang hendaknya mendoakan para pemimpin dengan taufiq dan kebaikan, dan menyebarkan keadilah terhadap rakyat” (Aqidah Salaf Ashabil Hadits, hal. 106 ).

Berkata Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al Barak rahimahullah :

الدُّعاء لهم بالصلاح، هذا مُوجب النصيحة، قال النبيُّ صلى الله عليه وسلم: « الدِّين النصيحة، قلنا: لمن؟ قال: لله، ولكتابه، ولرسوله، ولأئمة المسلمين وعامَّتهم».

والنصيحة أن تدعو لهم بالصلاح، اللهم أصلحهم، اللهم أصلح بطانتهم، اللهم اهدهم صراطك المستقيم، ادعُ لهم لعلَّ الله يُصلح حالهم، لكن جرت عادة الناس أنهم لا يلتزمون بهذا المنهج.. فأهل العلم والإيمان والصلاح والتجرُّد عن الهوى وإيثار الدنيا، يُحبُّون الخير لإخوانهم المسلمين، ولا سيما ولاة الأمر،

“Mendoakan penguasa dengan kebaikan adalah merupakan konsekwensi nasihat kepada mereka. Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan; Agama adalah nasihat. Kami bertanya; Kepada siapa wahai Nabi ?

Beliau berkata; Kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, Penguasa kaum muslimin dan kaum muslimin seluruhnya.

Nasehat itu engkau mendoakan mereka dengan kebaikan, ya Allah perbaikilah penguasa, perbaikilah tangan kanan mereka, tunjukilah mereka jalan yang lurus. Doakan mereka barangkali Allah akan memperbaiki mereka.

Akan tetapi manusia kebanyakannya tidak menempuh cara ini, para ahli ilmu, pemilik keimanan dan kebaikan yang bersih dari hawa nafsu dan ambisi dunia mereka menginginkan kebaikan bagi saudara mereka kaum muslimin terutama penguasanya.” (Syarah Aqidah Thahawiyah : 270).

Bersabarlah jika menemukan seorang pemimpin yang zalim, sekalipun dipukul punggung dan dirampas harta kita dan terus doakan kebaikan dan hidayah kepada mereka.

Taati mereka, selama tidak menyuruh untuk maksiat. Karena hal tersebut merupakan bentuk mentaati perintah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Berkata Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu anhu :

يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا كُنَّا بِشَرٍّ فَجَاءَ اللَّهُ بِخَيْرٍ فَنَحْنُ فِيهِ، فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ؟، قَالَ: نَعَمْ، قُلْتُ: هَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الشَّرِّ خَيْرٌ؟، قَالَ: نَعَمْ، قُلْتُ: فَهَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الْخَيْرِ شَرٌّ؟، قَالَ: نَعَمْ، قُلْتُ: كَيْفَ؟، قَالَ: يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ، قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟، قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ “

“Wahai Rasulullah, dahulu kami dalam keadaan buruk (Jahiliyyah) lalu Allah datang dengan kebaikan (Islam) dan kami pun di dalam kebaikan itu, apakan setelah kebaikan ini ada keburukan?

Rasulullah salallahu alaihi wasallam menjawab, “Ya”

Aku berkata, “Kenapa bisa?”

Rasulullah salallahu alaihi wasallam bersabda, “Akan datang setelahku, para pemimpin yang tidak berjalan sesuai tuntunanku, tidak berjalan sesuai sunnahku, dan akan ada diantara mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan yang berada dalam tubuh manusia”

Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang seharusnya aku lakukan jika aku bertemu dengan mereka?”

Rasulullah sallahu alaihi wasallam menjawab, “Dengar dan taatilah pemimpinmu itu, walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu dirampas, tetaplah dengar dan taati” (HR. Muslim).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوف
ِ
“Tidak ada ketaatan di dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Sesungguhnya ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (baik).” (HR. Bukhari).

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ، فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَة
َ
“Seorang muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (HR. Bukhari).


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadah Dimalam Nisfu Sya'ban

Royalti Di Akhirat

KENAPA KAMU DIAM?