Shalat Dhuha Berjamaah

SHALAT DHUHA BERJAMAAH

Oleh : Abu Fadhel Majalengka

Sebagian orang atau sebagian intansi merutinkan shalat dhuha secara berjamaah, mereka berdalih dengan sebuah hadits dari Itban bin Malik radhiyallahu anhu.

Berkata Itban bin Malik radhiyallahu anhu :

أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي بَيْتِهِ سُبْحَة اَلضُّحَى فَقَامُوا وَرَاءَهُ فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ ”

Bahwa Rasulullah shallallahu wa ‘alaihi wa sallam pernah shalat Dhuha di rumahnya, lalu para sahabat berada di belakang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka mengikuti shalat yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan. (HR. Ahmad. Berkata Syeikh Syuaib Al Arnut : Sanadnya Shahih).

Yang menjadi pertanyaan, apakah Nabi shallallahu alaihi wa sallam setiap hari melaksanakan shalat dhuha berjamaah? Maka kita tidak akan menemukan riwayat bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan juga para sahabat radhiyallahu anhum shalat dhuha berjamaah terus menerus.

Sebaiknya shalat-shalat sunnah dikerjakan secara sendiri-sendiri. Kalau mau dikerjakan secara berjamaah, silahkan sekali-sekali, karena ada contoh dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Kalau terus menerus dilakukan, bisa jadi jatuh pada perkara baru dalam agama.

Berkata SyaikhUtsaimin rahimahullah :

إذا كان الإنسان يريد أن يجعل النوافل دائماً في جماعة كلما تطوع، فهذا غير مشروع، وأما صلاتها أحياناً في جماعة فإنه لا بأس به لورود ذلك عن النبي صلى الله عليه وسلم كما في صلاة ابن عباس معه في صلاة الليل وكما صلى معه أنس بن مالك رضي الله عنه واليتيم في بيت أم سليم وما أشبه ذلك

“Apabila seseorang melaksanakan shalat sunnah terus menerus secara berjama’ah, maka ini adalah sesuatu yang tidak disyari’atkan. Adapun jika dia melaksanakan shalat sunnah tersebut kadang-kadang secara berjama’ah, maka tidaklah mengapa karena terdapat petunjuk dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal ini seperti  shalat malam yang beliau lakukan bersama Ibnu ‘Abbas. Sebagaimana pula beliau pernah melakukan shalat bersama Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan anak yatim di rumah Ummu Sulaim dan masih ada contoh lain semisal itu.” (Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Ibnu ‘Utsaimin).

Kemudian kalau dalam rangka untuk pembelajaran, maka ini pun boleh, akan tetapi tetap tidak terus menerus. Kalau sudah bisa dan sudah diamalkan, sebaiknya ditinggalkan.

Berkata Ibnu Hajar rahimahullah :

وَأَنَّ مَحَلّ الْفَضْل الْوَارِد فِي صَلَاة النَّافِلَة مُنْفَرِدًا حَيْثُ لَا يَكُون هُنَاكَ مَصْلَحَة كَالتَّعْلِيمِ ، بَلْ يُمْكِنُ أَنْ يُقَال هُوَ إِذْ ذَاكَ أَفْضَل وَلَا سِيَّمَا فِي حَقّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .

“Shalat sunnah yang utama adalah dilakukan secara munfarid (sendirian) jika memang di sana tidak ada maslahat seperti untuk mengajarkan orang lain. Namun dapat dikatakan bahwa jika shalat sunnah secara berjama’ah dilakukan dalam rangka pengajaran, maka ini dinilai lebih utama, lebih-lebih lagi pada diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang bertugas untuk memberi contoh pada umatnya).” (Fathul Bari Syarah Kitab Bukhari).


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadah Dimalam Nisfu Sya'ban

Royalti Di Akhirat

KENAPA KAMU DIAM?