Talafi Dan Salafi
MEMBEDAH PERBEDAAN SALAFI DAN TALAFI
Oleh : Abu Fadhel Majalengka
SALAFI (para pengikut salaf) dan TALAFI (perusak), perbedaan kedunya dari segi bahasa hanya beda hurup S (س) dan huruf T (ت). Namun artinya sangat jauh berbeda.
Orang-orang HIZBIYYUN memplesetkan kata SALAFI dengan TALAFI sebagai celaan dan ejekan kepada orang-orang yang menisbatkan diri kepada para salaf. Mereka mengikuti gaya kata plesetan orang-orang yahudi. Orang-orang Yahudi memberi salam kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan kata ASSAAMU 'ALAIKA (kebinasaan bagimu), plesetan dari kata assalaamu 'alaika (keselamatan bagimu). Begitu pula kata RAA 'INA (perhatikan kami), mereka plesetan dengan kata RU'UUNAH (kebodohan yang sangat). Dan lain sebagainya sebagai ejekan mereka kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Dalam tulisan kali ini penulis akan menguraikan perbedaan salafi dan talafi. Mana yang salafi (pengikut salaf) dan mana yang talafi (perusak). Agar kaum muslimin bisa menilai, siapa sebenarnya yang TALAFI (perusak).
Pertama, Tentang Persatuan
Para salaf mendakwahkan tauhid dan sunnah sebagai dasar terbangunnya persatuan umat. Karena tidak mungkin bersatunya umat dengan beragamnya akidah dan manhaj. Lihatlah di awal islam, ketika tauhid mereka tidak tercampuri syirik dan amalan mereka tidak tercampuri bid'ah, mereka bersatu dan berjaya menguasai dunia.
Sedangkan para TALAFI, mereka menyatukan umat dari berbagai kelompok kaum muslimin dengan berbagai manhaj dan akidah.
Ada yang akidaknya menyakini Allah di langit, ada juga yang menyakini Allah dimana-mana, Allah tidak bertempat, Allah di hati dan lain sebagainya.
Ada yang mengharamkan tawasul dengan orang mati ada juga yang membolehkan tawasul dengan orang mati.
Ada yang membolehkan maulid nabi, tahlilan kematian, barjanji, dan lain sebagainya, ada juga yang membid'ahkan, campur baur menjadi satu, yang penting persatuan umat islam.
Berkata Al-'Allamah Shaleh al-Fauzan hafizhahullah :
قال العلامة صالح الفوزان -حفظه الله- : "لا يمكن الاجتماع مع اختلاف المنهج والعقيدة" الأجوبة المفيدة - س
Tidak mungkin terwujud sebuah persatuan bebarengan dengan perbedaan MANHAJ dan AKIDAH. al-Ajwibah al-Mufidah pertanyaan ke 93
Kedua, Tentang Ketaatan Kepada Pemimpin
Para salaf mensyariatkan untuk mentaati pemimpin muslim sekalipun kejam, zalim, fasik dan seorang budak hamba sahaya, pada perkara-perkara yang baik.
Rshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
« يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ ». قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ « تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ ».
“Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam ilmu, pen) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal, pen). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia. “
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?” Beliau bersabda, ”Dengarlah dan ta’at kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka.” (HR. Muslim).
Dan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا
“Aku wasiatkan kalian agar senantiasa bertaqwa kepada Allah serta mendengar dan taat kepada pemimpin meskipun pemimpin tersebut seorang budak dari Habasyah.” [HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Berkata Syueb Al Arnuth : Hadits Shahih].
Berkata Imam Ahmad rahimahullah:
والسمع والطاعة للأئمة وأمير المؤمنين البر والفاجر ومن ولي الخلافة واجتمع الناس عليه ورضوا به ومن عليهم بالسيف حتى صار خليفة وسمي أمير المؤمنين
Wajib mendengar dan taat kepada pemimpin kaum mukminin, dia orang baik maupun orang fasik, atau kepada orang yang memegang tampuk khilafah, disepakati masyarakat, dan mereka ridha kepadanya, atau kepada orang yang menguasai mereka dengan paksa (pemberontakan atau kudeta) sehingga dia menjadi khalifah dan dinobatkan sebagai pemimpin kaum muslimin. (Ushul Sunah, no. 15).
Kalau mereka memerintahkan kepada maksiat, maka tidak ada ketaatan kepadanya. Karena ketaatan hanya kepada perkara yang baik.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
عَلىَ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أَمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Wajib bagi seorang muslim untuk mendengar dan taat dalam perkara yang ia senangi dan perkara yang ia benci, kecuali apabila diperintah kemaksiatan. Apabila diperintah kemaksiatan maka tidak perlu mendengar dan tidak perlu taat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوف
ِ
“Tidak ada ketaatan di dalam perkara maksiat. Sesungguhnya ketaatan itu hanya di dalam perkara yang baik. (HR. Bukhari).
Kelompok Talafi, mereka tidak mentaati pemimpin muslim yang zalim dan fasik. Kata mereka, mereka hanya mentaati pemimpin yang adil saja. Padahal dalil menunjukkan harus mentaati pemimpin pada perkara yang ma'ruf, baik pemimpin yang adil, zalim maupun fasik.
Berkata Imam Ahmad rahimahullah:
ومن غلبَ عليهم، يعني: الولاة بالسيف حتى صار خليفة وَسُمِّي أمير المؤمنين، فلا يحل لأحدٍ يؤمن بالله واليوم الآخر أن يبيت ولا يراه إماماً برَّاً كان أو فاجراً
Wajib taat kepada) orang yang menguasai mereka dengan pedang sehingga menjadi khalifah dan disebut amirul mukminin. Tidak halal bagi seorangpun yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk melewati waktu malamnya, sementara dia tidak mengetahui keberadaan pemimpin, baik dia pemimpin yang adil ataukah pemimpin yang zalim. (Thabaqat Hanabilah, Abu Ya’la, 1/241. Muamalah al-Hukkam, hlm. 25).
Ketiga, Tentang Menasehati Pemimpin
Para salaf tidak menasehati pemimpin muslim di depan umum, di media massa, media elektronik, di medsos, di khutbah-khutbah jumat atau di mimbar-mimbar bebas lainnya seperti tabligh akbar dan demonstrasi.
Kalau pemimpin keliru, membuat kesalahan, penyimpangan atau maksiat lainnya, mereka menasehatinya dengan sembunyi-sembunyi.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
ﻣَﻦْ ﺃَﺭَﺍﺩَ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﺼَﺢَ ﻟِﺬِﻱ ﺳُﻠْﻄَﺎﻥِ ﻓَﻼَ ﻳَﺒْﺪَﻩُ ﻋَﻼَﻧِﻴَﺔً ﻭَﻟِﻴَﺄْﺧُﺬَ ﺑِﻴَﺪِﻩِ، ﻓَﺈِﻥْ ﺳَﻤِﻊَ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَﺬَﺍﻙَ ﻭَﺇِﻻّ ﻛَﺎﻥَ ﺃَﺩّﻯ ﺍﻟّﺬِﻱ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﴿ ﺣﺪﻳﺚ ﺻﺤﻴﺢ ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺣﻤﺪ ﻭﺇﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻋﺎﺻﻢ ﻭﺍﻟﺤﺎﻛﻢ ﻭﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ ﻭﺻﺤﺤﻪ ﺍﻷﻟﺒﺎﻧﻲ ﻓﻲ ﺍﻟﻈﻼﻝ ﴾
“Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa maka janganlah melakukannya dengan terang-terangan di hadapan umum. Akan tetapi dengan cara mengambil tangan penguasa tersebut dan menyendiri. Jika ia menerimanya maka inilah yang diharapkan, jika tidak menerimanya maka ia telah melakukan kewajibannya.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi Ashim, Al Hakim, dan Baihaqi. Berkata Syekh Al Albani : Shahih).
Mungkin para talafi akan berkata, tidak mungkin bisa menasehati berdua atau secara sembunyi-sembunyi. Bisa digablok pengawalnya.
Tidak semua orang bisa menasehati pemimpin. Carilah seorang alim yang ada akses ke kekuasaan. Meminta kepadanya untuk menasehati pemimpin. Atau menasehati dengan berkirim surat, SMS, WA, atau inbox lewat FB dan mediia-media lainnya yang sifatnya rahasia.
Berkata Ubaidilah bin Khiyar rahimahullah, “Aku mendatangi Usamah bin Zaid radliyallahu ‘anhu dan aku katakan :
َﻻَ ﺗَﻨْﺼَﺢُ ﻋُﺜْﻤَﺎﻥَ ﺑْﻦَ ﻋَﻔّﺎﻥ ﻟِﻴُﻘِﻴْﻢَ ﺍﻟْﺤَﺪّ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻮَﻟِﻴْﺪِ، ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺃُﺳَﺎﻣَﺔُ: ﻫَﻞْ ﺗَﻈُﻦُّ ﺃَﻧِّﻲ ﻻَ ﺃُﻧَﺎﺻِﺤُﻪُ ﺇِﻻّ ﺃَﻣَﺎﻣَﻚَ؟ ﻭَﺍﷲِ، ﻟَﻘَﺪْ ﻧَﺼِﺤْﺘُﻪُ ﻓِﻴْﻤَﺎ ﺑَﻴْﻨِﻲ ﻭَﺑَﻴْﻨَﻪُ، ﻭَﻟَﻢْ ﺃَﻛُﻦْ ﻷَﻓْﺘَﺢُ ﺑَﺎﺑًﺎ ﻟِﻠﺸَﺮِّ ﺃَﻛُﻮﻥُ ﺃَﻥَ ﺃَﻭّﻝَ ﻣَﻦْ ﻓَﺘَﺤَﻪُ ﴿ ﺃﺛﺮ ﺻﺤﻴﺢ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺸﻴﺨﺎﻥ ﴾
“Kenapa engkau tidak menasihati Utsman bin Affan untuk menegakkan hukum had atas Al Walid?” Maka Usamah berkata :“Apakah kamu mengira aku tidak menasihatinya kecuali harus dihadapanmu? Demi Allah sungguh aku telah menasihatinya secara sembunyi-sembunyi antara aku dan ia saja. Dan aku tidak ingin membuka pintu kejelekan dan aku bukanlah orang yang pertama kali membukanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Berkata Al-Imam Al-Muhallab rahimahullah :
أرادوا من أسامة ان يكلم عثمان وكان من خاصته وممن يخف عليه في شأن الوليد بن عقبة لأنه كان ظهر عليه ريح نبيذ وشهر أمره وكان أخا عثمان لأمه وكان يستعمله فقال أسامة قد كلمته سرا دون أن أفتح بابا أي باب الإنكار على الأئمة علانية خشية ان تفترق الكلمة
“Mereka menginginkan dari Usamah agar beliau berbicara kepada ‘Utsman -dan Usamah adalah orang dekat dan disegani oleh ‘Utsman- dalam perkara Al-Walid bin ‘Uqbah, karena muncul darinya bau nabidz (khamar) dan telah ramai dibicarakan, sedang ia adalah saudara ‘Utsman seibu dan beliau tugaskan sebagai gubernurnya. Maka Usamah berkata, “Sungguh aku telah berbicara kepadanya secara rahasia tanpa aku membuka pintu” maknanya adalah pintu mengingkari pemimpin secara terang-terangan, karena dikhawatirkan akan terpecahnya persatuan.” [Fathul Bari, 13/52].
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata,
ليس من منهج السلف التشهير بعيوب الولاة , وذكر ذلك على المنابر; لأن ذلك يفضي إلى الفوضى وعدم السمع والطاعة في المعروف , ويفضي إلى الخوض الذي يضر ولا ينفع , ولكن الطريقة المتبعة عند السلف : النصيحة فيما بينهم وبين السلطان , والكتابة إليه , أو الاتصال بالعلماء الذين يتصلون به حتى يوجه إلى الخير
“Bukan termasuk manhaj Salaf, menasihati dengan cara menyebarkan aib-aib penguasa dan menyebutkannya di mimbar-mimbar, sebab yang demikian itu mengantarkan kepada kekacauan dan tidak mendengar dan taat kepada penguasa dalam perkara yang ma’ruf, dan mengantarkan kepada provokasi yang berbahaya dan tidak bermanfaat. Akan tetapi tempuhlah jalan yang telah dilalui oleh Salaf, yaitu nasihat antara mereka dan pemerintah (secara rahasia), dan menulis surat kepada penguasa, atau menghubungi ulama yang memiliki akses kepadanya, sehingga ia bisa diarahkan kepada kebaikan.” [Majmu’ Al-Fatawa, 8/210].
Para Talafi berbeda dengan kaum salafi, mereka menasehati pemimpin di mimbar-mimbar bebas, di depan umum, di medsos, media masa dan media elektronik, di tabligh-tabligh akbar, di mimbar khutbah dan lain sebagainya, katanya dalam rangka amal ma'ruf nahi munkar. Dan katanya ini merupakan jihad yang paling utama.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah).
Kalau mereka memahami hadits ini sebagaimana yang dipahami oleh para salaf, tentulah mereka akan mengatakan kebenaran dihadapan pemimpin, bukan di depan umum dan khalayak ramai. Bahkan mereka bukan lagi menasehati, tapi mencela, mencaci maki dan membuka aib-aib pemimpin.
Lihatlah Imam Ahmad rahimahullah ketika diinterogasi oleh raja yang zalim, dipaksa dan disiksa untuk mengatakan alquran makhluk, namun Imam Ahmad rahimahullah tetap berkata yang benar di hadapan raja, bahwa alquran kalamallah, bukan makhluk, inilah jihad yang paling utama.
Para talafi bukan lagi menasehati pemimpin, tetapi mereka mencelanya. Orang-orang seperti inilah Allah Ta'ala akan hinakan.
Berkata Ziyad bin Kusaib Al-Adawi rahimahullah :
*كُنْتُ مَعَ أَبِيْ بَكْرَةَ تَحْتَ مِنْبَرِ أَبِيْ عَامِرٍ وَهُوَ يَخْطُبُ وَعَلَيْهِ ثِيَابٌ رِقَاقٌ, فَقَالَ أَبُوْ بِلاَلٍ: انْظُرُوْا إِلَى أَمِيْرِنَا يَلْبَسُ لِبَاسَ الْفُسَّاقِ, فَقَالَ أَبُوْ بَكْرَةَ : اسْكُتْ! سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ: مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللهِ فِيْ الأَرْضِ أَهَانَهُ اللهُ
“Saya pernah bersama Abu Bakrah di bawah mimbar Ibnu Amir yang sedang berkhutbah sambil mengenakan pakaian tipis. Abu Bilal berkata: Lihatlah pemimipin kita, dia mengenakan pakaian orang-orang fasiq. Abu Bakrah menegurnya seraya berkata: Diamlah, saya mendengar Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menghina pemimpin di muka bumi, niscaya Allah akan menghinakannya“” *(HR. Tirmdzi: Berkata Syekh Al Albani : Hadits Shahih)..
Keempat, Tentang Memberontak
Pemberontakan terhadap pemimpin muslim haram hukumnya dalam agama kita, selama pemimpin itu masih shalat dan tidak tampak dengan pasti kekufuran padanya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Sebaik-baik pemimpin-pemimpin kamu adalah dimana kamu mencintainya dan mereka mencintaimu. Kamu mendoakannya dan mereka pun mendoakanmu. Adapun sejelek-jelek pemimpin kamu adalah dimana kamu membencinya dan mereka pun membencimu, kamu melaknatnya dan mereka pun melaknatmu”. Dikatakan : Wahai Rasulullah, apakah kami tidak memeranginya saja dengan pedang ?”.
Beliau menjawab : “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat di tengah kalian. Apabila kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kamu benci, maka bencilah perbuatannya saja dan jangan melepaskan tangan dari ketaatan” (HR. Muslim dan Ahmad).
Apabila melihat kekafiran yang nyata pada diri pemimpin dan para ulama telah menfatwakannya, boleh memberontak apabila memiliki kekuatan, apabila tidak, lebih baik bersabar. Apalagi kepada pemimpin yang tidak tampak kekufuran dan tidak adanya fatwa ulama tentang kekafirannya.
Berkata ‘Ubadah bin Ash-Shamit radliyallaahu ‘anhu :
دَعَانَا رَسول الله صَلَى الله عَلَيه وَسَلَمَ فَبَايَعنَاه فَكَانَ فيمَا أَخَذَ عَلَينَا أَن بَايعنا على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا وأن لا ننازع الأمر أهله قال إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyeru kami, maka kami membaiat kepada beliau. Adapun bai’at kami terhadap beliau adalah untuk selalu mendengar dan taat dalam dalam keadaan senang dan benci; dalam keadaan kami sulit dan dalam keadaan mudah; ketika kesewenang-wenangan menimpa kami; dan juga agar kami tidak mencabut perkara (kekuasaan) dari ahlinya (yaitu penguasa). Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Kecuali bila kalian melihat kekufuran yang nyata berdasarkan keterangan dari Allah” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dan Rasulullah shallallahu ’alaihi Wasallam bersabda:
إلا أن تروا كفراً بواحاً عندكم من الله فيه برهان
“(jangan memberontak), kecuali engkau melihat kekufuran yang nyata yang kalian bisa pertanggung-jawabkan kepada Allah buktinya” (HR. Al Bukhari).
Berkata Ibnu Hajar rahimahullah :
وقد أجمع الفقهاء على وجوب طاعة السلطان المتغلب والجهاد معه وأن طاعته خير من الخروج عليه لما في ذلك من حقن الدماء وتسكين الدهماء
“Dan telah sepakat fuqoha atas wajibnya taat kepada penguasa yang sedang berkuasa dan berjihad bersamanya, dan (mereka juga sepakat) bahwa taat kepadanya lebih baik dibanding memberontak, sebab dengan itu darah terpelihara dan membuat nyaman kebanyakan orang.” [Fathul Bari, 13/7].
Imam Ahmad rahimahullah dibujuk oleh jamaahnya yang ribuan jumlahnya untuk memberontak kepada pemimpin yang sudah tampak kekufurannya dengan menyakini alquran adalah makhluk, namun beliau untuk menjaga darah kaum muslimin, memerintahkan kepada pengikutnya untuk sabar, padahal beliau sudah babak belur disiksa oleh penguasa yang zalim.
Perhatikan kisah dibawah ini.
أجتمع فقهاء بغداد في ولاية الواثق إلي أبي عبد الله – يعني الإمام أحمد بن حنبل – رحمه الله تعالي – وقالوا له: أن الأمر قد تفاقم وفشا – يعنون: إظهار القول بخلق القرآن، وغير ذلك ولا نرضي بإمارته ولا سلطانه !
فناظرهم في ذلك، وقال: عليكم بالإنكار في قلوبكم ولا تخلعوا يداً من طاعة، ولا تشقوا عصا المسلمين، ولا تسفكوا دمائكم ودماء المسلمين معكم وانظروا في عاقبة أمركم، واصبروا حتى يستريح بر، ويستراح من فاجر وقال ليس هذا – يعني نزع أيديهم من طاعته – صواباً، هذا خلاف الآثار
“Para ahli fiqh Baghdad bersepakat menemui Abu ‘Abdillah yaitu Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah untuk membicarakan kepemimpinan Al-Watsiq (yaitu karena penyimpangan dan kezalimannya terhadap hak-hak kaum muslimin). Mereka mengadu: “Sesungguhnya perkara ini telah memuncak dan tersebar, yaitu ucapan : Al-Qur’an adalah makhluk dan perkara yang lainnya (yaitu kezalimannya terhadap kaum muslimin). Kami tidak ridla dengan kepemimpinannya dan kekuasaannya”.
Maka beliau (Al-Imam Ahmad) mendebat mereka dan berkata : “Wajib atas kalian mengingkarinya hanya dalam hati kalian. Janganlah kalian melepaskan tangan kalian dari ketaatan (kepada pemerintah), janganlah kalian memecah-belah persatuan kaum muslimin, janganlah kalian menumpahkan darah kalian dan darah kaum muslimin. Renungkanlah oleh kalian akibat yang akan ditimbulkan dari apa yang hendak kalian lakukan. Dan bersabarlah kalian sampai orang yang baik hidup tentram dan selamat dari orang yang jahat”. Lalu beliau melanjutkan : “Hal ini (yaitu keluar dari ketaatan penguasa/pemimpin) bukanlah suatu kebaikan. Ini adalah tindakan yang menyelisihi atsar” [Al-Adabusy-Syar’iyyah oleh Ibnu Muflih juz 1 hal. 195,196).
Inilah para salaf tidak memberontak kepada pemimpin yang zalim, sekalipun kezalimannya sudah melampaui batas selama tidak tampak kekufuran yang nyata. Bahkan sekalipun tampak jelas kekufurannya, harus mengukur kekuatan kaum muslimin. Jika kekuatannya seiimbang, baik jumlah pasukan dan peralatan perang dan lain sebagainya, maka boleh memberontak dan menggulingkan penguasa.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :
نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن قتال الأئمة إذا كان فيهم ظلم، لأن قتالهم فيه فساد أعظم من فساد ظلمهم.
"Nabi shallallahu alaihi was sallam melarang dari memerangi para penguasa jika pada mereka ada kezhaliman, karena sesungguhnya memerangi mereka mengandung kerusakan yang lebih besar dibandingkan dengan kezhaliman mereka." ( Al-Istiqamah, jilid 1 hlm. 34).
Berkata Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah
ولا نرى الخروج على أئمتنا وولاة أُمورنا ، وإن جاروا ، ولا ندعوا عليهم ، ولا ننزع يداً من طاعتهم ونرى طاعتهم من طاعة الله عز وجل فريضةً ، ما لم يأمروا بمعصيةٍ ، وندعوا لهم بالصلاح والمعافاة
“Dan kami tidak memandang bolehnya memberontak kepada para pemimpin dan pemerintah kami, meskipun mereka berbuat zalim. Kami tidak mendoakan kejelekan kepada mereka. Kami tidak melepaskan diri dari ketaatan kepada mereka dan kami memandang ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepada Allah sebagai suatu kewajiban, selama yang mereka perintahkan itu bukan kemaksiatan (kepada Allah). Dan kami doakan mereka dengan kebaikan dan keselamatan.” [Matan Al-Aqidah Ath-Thahawiyah]
Berkata Syekh Ibnu Baz rahimahullah:
إلا إذا رأى المسلمون كفراً بواحاً عندهم من الله فيه برهان فلا بأس أن يخرجوا على هذا السلطان لإزالته إذا كان عندهم قدرة , أما إذا لم يكن عندهم قدرة فلا يخرجوا . أو كان الخروج يسبب شراً أكثر : فليس لهم الخروج ؛ رعاية للمصالح العامة . والقاعدة الشرعية المجْمَع عليها أنه ( لا يجوز إزالة الشر بما هو أشر منه ) ؛ بل يجب درء الشر بما يزيله أو يخففه . أما درء الشر بشر أكثر فلا يجوز بإجماع المسلمين . فإذا كانت هذه الطائفة – التي تريد إزالة هذا السلطان الذي فعل كفراً بواحاً – عندها قدرة تزيله بها وتضع إماماً صالحاً طيباً من دون أن يترتب على هذا فساد كبير على المسلمين وشر أعظم من شر هذا السلطان : فلا بأس , أما إذا كان الخروج يترتب عليه فساد كبير واختلال الأمن وظلم الناس واغتيال من لا يستحقّ الاغتيال إلى غير هذا من الفساد العظيم فهذا لا يجوز » ( الفتاوى 8/203 ) .
“Kecuali, apabila melihat kekafiran yang nyata yang mereka memiliki keterangan dari Allah tentang kekafiran tersebut, kaum muslimin boleh memberontak terhadap penguasa tersebut untuk melengserkan (penguasa itu) apabila memiliki kemampuan. Apabila tidak memiliki kemampuan, mereka tidak bileh memberontak. Atau, kalau pemberontakan tersebut menimbulkan kejelekan yang lebih banyak, mereka tidak boleh memberontak. Hal ini untuk menjaga kemaslahatan umum dan kaidah syara’ yang telah disepakati yaitu “tidak diperbolehkan menghilangkan suatu kejelekan dengan (cara membuat) kejelekan yang lebih jelek daripada kejelekan sebelumnya”. Melainkan, (seseorang) diwajibkan untuk menolak kejelekan dengan (melakukan) sesuatu yang dapat menghilangkan atau meringankan kejelekan tersebut. Adapun menolak kejelekan dengan memunculkan kejelekan yang lebih banyak, hal tersebut tidak diperbolehkan berdasarkan konsensus kaum muslimin.
Sehingga, apabila kelompok tersebut yang ingin melengserkan penguasa yang telah melakukan kekufuran yang nyata memiliki kemampuan untuk melengserkan dan menggantikan (penguasa itu) dengan penguasa yang shalih nan baik, tanpa menimbulkan kerusakan besar bagi kaum muslimin dan kejelekan yang lebih luas daripada kejelekan penguasa tersebut, hal tersebut tidak mengapa.
Akan tetapi, apabila pemberontakan tersebut menimbulkan kerusakan besar, menghilangkan keamanan, (kaum muslimin) menjadi terzalimi, dan dibunuhnya orang-orang yang tidak berhak untuk dibunuh, serta kerusakan-kerusakan besar yang lain, maka (pemberontakan) tidak diperbolehkan” (Fatawa Syaikh Ibnu Baaz 8/203)
Namun para TALAFI (PERUSAK) memprovokasi kaum muslimin untuk membangkang dan memberontak kepada penguasa. Yang tidak tampak jelas kekafirannya, bahkan kezalimannya pun tidak seperti zaman Imam Ahmad rahimahullah.
Masih banyak penulis ingin tuangkan tentang perbedaan SALAFI dan TALAFI, namun mungkin nanti para pembaca memerlukan waktu yang cukup lama untuk membacanya, penulis rasa sudah cukup untuk membedah perkara ini, siapa SALAFI dan siapa TALAFI.
Oleh : Abu Fadhel Majalengka
SALAFI (para pengikut salaf) dan TALAFI (perusak), perbedaan kedunya dari segi bahasa hanya beda hurup S (س) dan huruf T (ت). Namun artinya sangat jauh berbeda.
Orang-orang HIZBIYYUN memplesetkan kata SALAFI dengan TALAFI sebagai celaan dan ejekan kepada orang-orang yang menisbatkan diri kepada para salaf. Mereka mengikuti gaya kata plesetan orang-orang yahudi. Orang-orang Yahudi memberi salam kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan kata ASSAAMU 'ALAIKA (kebinasaan bagimu), plesetan dari kata assalaamu 'alaika (keselamatan bagimu). Begitu pula kata RAA 'INA (perhatikan kami), mereka plesetan dengan kata RU'UUNAH (kebodohan yang sangat). Dan lain sebagainya sebagai ejekan mereka kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Dalam tulisan kali ini penulis akan menguraikan perbedaan salafi dan talafi. Mana yang salafi (pengikut salaf) dan mana yang talafi (perusak). Agar kaum muslimin bisa menilai, siapa sebenarnya yang TALAFI (perusak).
Pertama, Tentang Persatuan
Para salaf mendakwahkan tauhid dan sunnah sebagai dasar terbangunnya persatuan umat. Karena tidak mungkin bersatunya umat dengan beragamnya akidah dan manhaj. Lihatlah di awal islam, ketika tauhid mereka tidak tercampuri syirik dan amalan mereka tidak tercampuri bid'ah, mereka bersatu dan berjaya menguasai dunia.
Sedangkan para TALAFI, mereka menyatukan umat dari berbagai kelompok kaum muslimin dengan berbagai manhaj dan akidah.
Ada yang akidaknya menyakini Allah di langit, ada juga yang menyakini Allah dimana-mana, Allah tidak bertempat, Allah di hati dan lain sebagainya.
Ada yang mengharamkan tawasul dengan orang mati ada juga yang membolehkan tawasul dengan orang mati.
Ada yang membolehkan maulid nabi, tahlilan kematian, barjanji, dan lain sebagainya, ada juga yang membid'ahkan, campur baur menjadi satu, yang penting persatuan umat islam.
Berkata Al-'Allamah Shaleh al-Fauzan hafizhahullah :
قال العلامة صالح الفوزان -حفظه الله- : "لا يمكن الاجتماع مع اختلاف المنهج والعقيدة" الأجوبة المفيدة - س
Tidak mungkin terwujud sebuah persatuan bebarengan dengan perbedaan MANHAJ dan AKIDAH. al-Ajwibah al-Mufidah pertanyaan ke 93
Kedua, Tentang Ketaatan Kepada Pemimpin
Para salaf mensyariatkan untuk mentaati pemimpin muslim sekalipun kejam, zalim, fasik dan seorang budak hamba sahaya, pada perkara-perkara yang baik.
Rshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
« يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ ». قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ « تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ ».
“Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam ilmu, pen) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal, pen). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia. “
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?” Beliau bersabda, ”Dengarlah dan ta’at kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka.” (HR. Muslim).
Dan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا
“Aku wasiatkan kalian agar senantiasa bertaqwa kepada Allah serta mendengar dan taat kepada pemimpin meskipun pemimpin tersebut seorang budak dari Habasyah.” [HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Berkata Syueb Al Arnuth : Hadits Shahih].
Berkata Imam Ahmad rahimahullah:
والسمع والطاعة للأئمة وأمير المؤمنين البر والفاجر ومن ولي الخلافة واجتمع الناس عليه ورضوا به ومن عليهم بالسيف حتى صار خليفة وسمي أمير المؤمنين
Wajib mendengar dan taat kepada pemimpin kaum mukminin, dia orang baik maupun orang fasik, atau kepada orang yang memegang tampuk khilafah, disepakati masyarakat, dan mereka ridha kepadanya, atau kepada orang yang menguasai mereka dengan paksa (pemberontakan atau kudeta) sehingga dia menjadi khalifah dan dinobatkan sebagai pemimpin kaum muslimin. (Ushul Sunah, no. 15).
Kalau mereka memerintahkan kepada maksiat, maka tidak ada ketaatan kepadanya. Karena ketaatan hanya kepada perkara yang baik.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
عَلىَ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أَمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Wajib bagi seorang muslim untuk mendengar dan taat dalam perkara yang ia senangi dan perkara yang ia benci, kecuali apabila diperintah kemaksiatan. Apabila diperintah kemaksiatan maka tidak perlu mendengar dan tidak perlu taat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوف
ِ
“Tidak ada ketaatan di dalam perkara maksiat. Sesungguhnya ketaatan itu hanya di dalam perkara yang baik. (HR. Bukhari).
Kelompok Talafi, mereka tidak mentaati pemimpin muslim yang zalim dan fasik. Kata mereka, mereka hanya mentaati pemimpin yang adil saja. Padahal dalil menunjukkan harus mentaati pemimpin pada perkara yang ma'ruf, baik pemimpin yang adil, zalim maupun fasik.
Berkata Imam Ahmad rahimahullah:
ومن غلبَ عليهم، يعني: الولاة بالسيف حتى صار خليفة وَسُمِّي أمير المؤمنين، فلا يحل لأحدٍ يؤمن بالله واليوم الآخر أن يبيت ولا يراه إماماً برَّاً كان أو فاجراً
Wajib taat kepada) orang yang menguasai mereka dengan pedang sehingga menjadi khalifah dan disebut amirul mukminin. Tidak halal bagi seorangpun yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk melewati waktu malamnya, sementara dia tidak mengetahui keberadaan pemimpin, baik dia pemimpin yang adil ataukah pemimpin yang zalim. (Thabaqat Hanabilah, Abu Ya’la, 1/241. Muamalah al-Hukkam, hlm. 25).
Ketiga, Tentang Menasehati Pemimpin
Para salaf tidak menasehati pemimpin muslim di depan umum, di media massa, media elektronik, di medsos, di khutbah-khutbah jumat atau di mimbar-mimbar bebas lainnya seperti tabligh akbar dan demonstrasi.
Kalau pemimpin keliru, membuat kesalahan, penyimpangan atau maksiat lainnya, mereka menasehatinya dengan sembunyi-sembunyi.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
ﻣَﻦْ ﺃَﺭَﺍﺩَ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﺼَﺢَ ﻟِﺬِﻱ ﺳُﻠْﻄَﺎﻥِ ﻓَﻼَ ﻳَﺒْﺪَﻩُ ﻋَﻼَﻧِﻴَﺔً ﻭَﻟِﻴَﺄْﺧُﺬَ ﺑِﻴَﺪِﻩِ، ﻓَﺈِﻥْ ﺳَﻤِﻊَ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَﺬَﺍﻙَ ﻭَﺇِﻻّ ﻛَﺎﻥَ ﺃَﺩّﻯ ﺍﻟّﺬِﻱ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﴿ ﺣﺪﻳﺚ ﺻﺤﻴﺢ ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺣﻤﺪ ﻭﺇﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻋﺎﺻﻢ ﻭﺍﻟﺤﺎﻛﻢ ﻭﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ ﻭﺻﺤﺤﻪ ﺍﻷﻟﺒﺎﻧﻲ ﻓﻲ ﺍﻟﻈﻼﻝ ﴾
“Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa maka janganlah melakukannya dengan terang-terangan di hadapan umum. Akan tetapi dengan cara mengambil tangan penguasa tersebut dan menyendiri. Jika ia menerimanya maka inilah yang diharapkan, jika tidak menerimanya maka ia telah melakukan kewajibannya.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi Ashim, Al Hakim, dan Baihaqi. Berkata Syekh Al Albani : Shahih).
Mungkin para talafi akan berkata, tidak mungkin bisa menasehati berdua atau secara sembunyi-sembunyi. Bisa digablok pengawalnya.
Tidak semua orang bisa menasehati pemimpin. Carilah seorang alim yang ada akses ke kekuasaan. Meminta kepadanya untuk menasehati pemimpin. Atau menasehati dengan berkirim surat, SMS, WA, atau inbox lewat FB dan mediia-media lainnya yang sifatnya rahasia.
Berkata Ubaidilah bin Khiyar rahimahullah, “Aku mendatangi Usamah bin Zaid radliyallahu ‘anhu dan aku katakan :
َﻻَ ﺗَﻨْﺼَﺢُ ﻋُﺜْﻤَﺎﻥَ ﺑْﻦَ ﻋَﻔّﺎﻥ ﻟِﻴُﻘِﻴْﻢَ ﺍﻟْﺤَﺪّ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻮَﻟِﻴْﺪِ، ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺃُﺳَﺎﻣَﺔُ: ﻫَﻞْ ﺗَﻈُﻦُّ ﺃَﻧِّﻲ ﻻَ ﺃُﻧَﺎﺻِﺤُﻪُ ﺇِﻻّ ﺃَﻣَﺎﻣَﻚَ؟ ﻭَﺍﷲِ، ﻟَﻘَﺪْ ﻧَﺼِﺤْﺘُﻪُ ﻓِﻴْﻤَﺎ ﺑَﻴْﻨِﻲ ﻭَﺑَﻴْﻨَﻪُ، ﻭَﻟَﻢْ ﺃَﻛُﻦْ ﻷَﻓْﺘَﺢُ ﺑَﺎﺑًﺎ ﻟِﻠﺸَﺮِّ ﺃَﻛُﻮﻥُ ﺃَﻥَ ﺃَﻭّﻝَ ﻣَﻦْ ﻓَﺘَﺤَﻪُ ﴿ ﺃﺛﺮ ﺻﺤﻴﺢ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺸﻴﺨﺎﻥ ﴾
“Kenapa engkau tidak menasihati Utsman bin Affan untuk menegakkan hukum had atas Al Walid?” Maka Usamah berkata :“Apakah kamu mengira aku tidak menasihatinya kecuali harus dihadapanmu? Demi Allah sungguh aku telah menasihatinya secara sembunyi-sembunyi antara aku dan ia saja. Dan aku tidak ingin membuka pintu kejelekan dan aku bukanlah orang yang pertama kali membukanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Berkata Al-Imam Al-Muhallab rahimahullah :
أرادوا من أسامة ان يكلم عثمان وكان من خاصته وممن يخف عليه في شأن الوليد بن عقبة لأنه كان ظهر عليه ريح نبيذ وشهر أمره وكان أخا عثمان لأمه وكان يستعمله فقال أسامة قد كلمته سرا دون أن أفتح بابا أي باب الإنكار على الأئمة علانية خشية ان تفترق الكلمة
“Mereka menginginkan dari Usamah agar beliau berbicara kepada ‘Utsman -dan Usamah adalah orang dekat dan disegani oleh ‘Utsman- dalam perkara Al-Walid bin ‘Uqbah, karena muncul darinya bau nabidz (khamar) dan telah ramai dibicarakan, sedang ia adalah saudara ‘Utsman seibu dan beliau tugaskan sebagai gubernurnya. Maka Usamah berkata, “Sungguh aku telah berbicara kepadanya secara rahasia tanpa aku membuka pintu” maknanya adalah pintu mengingkari pemimpin secara terang-terangan, karena dikhawatirkan akan terpecahnya persatuan.” [Fathul Bari, 13/52].
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata,
ليس من منهج السلف التشهير بعيوب الولاة , وذكر ذلك على المنابر; لأن ذلك يفضي إلى الفوضى وعدم السمع والطاعة في المعروف , ويفضي إلى الخوض الذي يضر ولا ينفع , ولكن الطريقة المتبعة عند السلف : النصيحة فيما بينهم وبين السلطان , والكتابة إليه , أو الاتصال بالعلماء الذين يتصلون به حتى يوجه إلى الخير
“Bukan termasuk manhaj Salaf, menasihati dengan cara menyebarkan aib-aib penguasa dan menyebutkannya di mimbar-mimbar, sebab yang demikian itu mengantarkan kepada kekacauan dan tidak mendengar dan taat kepada penguasa dalam perkara yang ma’ruf, dan mengantarkan kepada provokasi yang berbahaya dan tidak bermanfaat. Akan tetapi tempuhlah jalan yang telah dilalui oleh Salaf, yaitu nasihat antara mereka dan pemerintah (secara rahasia), dan menulis surat kepada penguasa, atau menghubungi ulama yang memiliki akses kepadanya, sehingga ia bisa diarahkan kepada kebaikan.” [Majmu’ Al-Fatawa, 8/210].
Para Talafi berbeda dengan kaum salafi, mereka menasehati pemimpin di mimbar-mimbar bebas, di depan umum, di medsos, media masa dan media elektronik, di tabligh-tabligh akbar, di mimbar khutbah dan lain sebagainya, katanya dalam rangka amal ma'ruf nahi munkar. Dan katanya ini merupakan jihad yang paling utama.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah).
Kalau mereka memahami hadits ini sebagaimana yang dipahami oleh para salaf, tentulah mereka akan mengatakan kebenaran dihadapan pemimpin, bukan di depan umum dan khalayak ramai. Bahkan mereka bukan lagi menasehati, tapi mencela, mencaci maki dan membuka aib-aib pemimpin.
Lihatlah Imam Ahmad rahimahullah ketika diinterogasi oleh raja yang zalim, dipaksa dan disiksa untuk mengatakan alquran makhluk, namun Imam Ahmad rahimahullah tetap berkata yang benar di hadapan raja, bahwa alquran kalamallah, bukan makhluk, inilah jihad yang paling utama.
Para talafi bukan lagi menasehati pemimpin, tetapi mereka mencelanya. Orang-orang seperti inilah Allah Ta'ala akan hinakan.
Berkata Ziyad bin Kusaib Al-Adawi rahimahullah :
*كُنْتُ مَعَ أَبِيْ بَكْرَةَ تَحْتَ مِنْبَرِ أَبِيْ عَامِرٍ وَهُوَ يَخْطُبُ وَعَلَيْهِ ثِيَابٌ رِقَاقٌ, فَقَالَ أَبُوْ بِلاَلٍ: انْظُرُوْا إِلَى أَمِيْرِنَا يَلْبَسُ لِبَاسَ الْفُسَّاقِ, فَقَالَ أَبُوْ بَكْرَةَ : اسْكُتْ! سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ: مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللهِ فِيْ الأَرْضِ أَهَانَهُ اللهُ
“Saya pernah bersama Abu Bakrah di bawah mimbar Ibnu Amir yang sedang berkhutbah sambil mengenakan pakaian tipis. Abu Bilal berkata: Lihatlah pemimipin kita, dia mengenakan pakaian orang-orang fasiq. Abu Bakrah menegurnya seraya berkata: Diamlah, saya mendengar Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menghina pemimpin di muka bumi, niscaya Allah akan menghinakannya“” *(HR. Tirmdzi: Berkata Syekh Al Albani : Hadits Shahih)..
Keempat, Tentang Memberontak
Pemberontakan terhadap pemimpin muslim haram hukumnya dalam agama kita, selama pemimpin itu masih shalat dan tidak tampak dengan pasti kekufuran padanya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Sebaik-baik pemimpin-pemimpin kamu adalah dimana kamu mencintainya dan mereka mencintaimu. Kamu mendoakannya dan mereka pun mendoakanmu. Adapun sejelek-jelek pemimpin kamu adalah dimana kamu membencinya dan mereka pun membencimu, kamu melaknatnya dan mereka pun melaknatmu”. Dikatakan : Wahai Rasulullah, apakah kami tidak memeranginya saja dengan pedang ?”.
Beliau menjawab : “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat di tengah kalian. Apabila kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kamu benci, maka bencilah perbuatannya saja dan jangan melepaskan tangan dari ketaatan” (HR. Muslim dan Ahmad).
Apabila melihat kekafiran yang nyata pada diri pemimpin dan para ulama telah menfatwakannya, boleh memberontak apabila memiliki kekuatan, apabila tidak, lebih baik bersabar. Apalagi kepada pemimpin yang tidak tampak kekufuran dan tidak adanya fatwa ulama tentang kekafirannya.
Berkata ‘Ubadah bin Ash-Shamit radliyallaahu ‘anhu :
دَعَانَا رَسول الله صَلَى الله عَلَيه وَسَلَمَ فَبَايَعنَاه فَكَانَ فيمَا أَخَذَ عَلَينَا أَن بَايعنا على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا وأن لا ننازع الأمر أهله قال إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyeru kami, maka kami membaiat kepada beliau. Adapun bai’at kami terhadap beliau adalah untuk selalu mendengar dan taat dalam dalam keadaan senang dan benci; dalam keadaan kami sulit dan dalam keadaan mudah; ketika kesewenang-wenangan menimpa kami; dan juga agar kami tidak mencabut perkara (kekuasaan) dari ahlinya (yaitu penguasa). Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Kecuali bila kalian melihat kekufuran yang nyata berdasarkan keterangan dari Allah” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dan Rasulullah shallallahu ’alaihi Wasallam bersabda:
إلا أن تروا كفراً بواحاً عندكم من الله فيه برهان
“(jangan memberontak), kecuali engkau melihat kekufuran yang nyata yang kalian bisa pertanggung-jawabkan kepada Allah buktinya” (HR. Al Bukhari).
Berkata Ibnu Hajar rahimahullah :
وقد أجمع الفقهاء على وجوب طاعة السلطان المتغلب والجهاد معه وأن طاعته خير من الخروج عليه لما في ذلك من حقن الدماء وتسكين الدهماء
“Dan telah sepakat fuqoha atas wajibnya taat kepada penguasa yang sedang berkuasa dan berjihad bersamanya, dan (mereka juga sepakat) bahwa taat kepadanya lebih baik dibanding memberontak, sebab dengan itu darah terpelihara dan membuat nyaman kebanyakan orang.” [Fathul Bari, 13/7].
Imam Ahmad rahimahullah dibujuk oleh jamaahnya yang ribuan jumlahnya untuk memberontak kepada pemimpin yang sudah tampak kekufurannya dengan menyakini alquran adalah makhluk, namun beliau untuk menjaga darah kaum muslimin, memerintahkan kepada pengikutnya untuk sabar, padahal beliau sudah babak belur disiksa oleh penguasa yang zalim.
Perhatikan kisah dibawah ini.
أجتمع فقهاء بغداد في ولاية الواثق إلي أبي عبد الله – يعني الإمام أحمد بن حنبل – رحمه الله تعالي – وقالوا له: أن الأمر قد تفاقم وفشا – يعنون: إظهار القول بخلق القرآن، وغير ذلك ولا نرضي بإمارته ولا سلطانه !
فناظرهم في ذلك، وقال: عليكم بالإنكار في قلوبكم ولا تخلعوا يداً من طاعة، ولا تشقوا عصا المسلمين، ولا تسفكوا دمائكم ودماء المسلمين معكم وانظروا في عاقبة أمركم، واصبروا حتى يستريح بر، ويستراح من فاجر وقال ليس هذا – يعني نزع أيديهم من طاعته – صواباً، هذا خلاف الآثار
“Para ahli fiqh Baghdad bersepakat menemui Abu ‘Abdillah yaitu Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah untuk membicarakan kepemimpinan Al-Watsiq (yaitu karena penyimpangan dan kezalimannya terhadap hak-hak kaum muslimin). Mereka mengadu: “Sesungguhnya perkara ini telah memuncak dan tersebar, yaitu ucapan : Al-Qur’an adalah makhluk dan perkara yang lainnya (yaitu kezalimannya terhadap kaum muslimin). Kami tidak ridla dengan kepemimpinannya dan kekuasaannya”.
Maka beliau (Al-Imam Ahmad) mendebat mereka dan berkata : “Wajib atas kalian mengingkarinya hanya dalam hati kalian. Janganlah kalian melepaskan tangan kalian dari ketaatan (kepada pemerintah), janganlah kalian memecah-belah persatuan kaum muslimin, janganlah kalian menumpahkan darah kalian dan darah kaum muslimin. Renungkanlah oleh kalian akibat yang akan ditimbulkan dari apa yang hendak kalian lakukan. Dan bersabarlah kalian sampai orang yang baik hidup tentram dan selamat dari orang yang jahat”. Lalu beliau melanjutkan : “Hal ini (yaitu keluar dari ketaatan penguasa/pemimpin) bukanlah suatu kebaikan. Ini adalah tindakan yang menyelisihi atsar” [Al-Adabusy-Syar’iyyah oleh Ibnu Muflih juz 1 hal. 195,196).
Inilah para salaf tidak memberontak kepada pemimpin yang zalim, sekalipun kezalimannya sudah melampaui batas selama tidak tampak kekufuran yang nyata. Bahkan sekalipun tampak jelas kekufurannya, harus mengukur kekuatan kaum muslimin. Jika kekuatannya seiimbang, baik jumlah pasukan dan peralatan perang dan lain sebagainya, maka boleh memberontak dan menggulingkan penguasa.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :
نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن قتال الأئمة إذا كان فيهم ظلم، لأن قتالهم فيه فساد أعظم من فساد ظلمهم.
"Nabi shallallahu alaihi was sallam melarang dari memerangi para penguasa jika pada mereka ada kezhaliman, karena sesungguhnya memerangi mereka mengandung kerusakan yang lebih besar dibandingkan dengan kezhaliman mereka." ( Al-Istiqamah, jilid 1 hlm. 34).
Berkata Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah
ولا نرى الخروج على أئمتنا وولاة أُمورنا ، وإن جاروا ، ولا ندعوا عليهم ، ولا ننزع يداً من طاعتهم ونرى طاعتهم من طاعة الله عز وجل فريضةً ، ما لم يأمروا بمعصيةٍ ، وندعوا لهم بالصلاح والمعافاة
“Dan kami tidak memandang bolehnya memberontak kepada para pemimpin dan pemerintah kami, meskipun mereka berbuat zalim. Kami tidak mendoakan kejelekan kepada mereka. Kami tidak melepaskan diri dari ketaatan kepada mereka dan kami memandang ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepada Allah sebagai suatu kewajiban, selama yang mereka perintahkan itu bukan kemaksiatan (kepada Allah). Dan kami doakan mereka dengan kebaikan dan keselamatan.” [Matan Al-Aqidah Ath-Thahawiyah]
Berkata Syekh Ibnu Baz rahimahullah:
إلا إذا رأى المسلمون كفراً بواحاً عندهم من الله فيه برهان فلا بأس أن يخرجوا على هذا السلطان لإزالته إذا كان عندهم قدرة , أما إذا لم يكن عندهم قدرة فلا يخرجوا . أو كان الخروج يسبب شراً أكثر : فليس لهم الخروج ؛ رعاية للمصالح العامة . والقاعدة الشرعية المجْمَع عليها أنه ( لا يجوز إزالة الشر بما هو أشر منه ) ؛ بل يجب درء الشر بما يزيله أو يخففه . أما درء الشر بشر أكثر فلا يجوز بإجماع المسلمين . فإذا كانت هذه الطائفة – التي تريد إزالة هذا السلطان الذي فعل كفراً بواحاً – عندها قدرة تزيله بها وتضع إماماً صالحاً طيباً من دون أن يترتب على هذا فساد كبير على المسلمين وشر أعظم من شر هذا السلطان : فلا بأس , أما إذا كان الخروج يترتب عليه فساد كبير واختلال الأمن وظلم الناس واغتيال من لا يستحقّ الاغتيال إلى غير هذا من الفساد العظيم فهذا لا يجوز » ( الفتاوى 8/203 ) .
“Kecuali, apabila melihat kekafiran yang nyata yang mereka memiliki keterangan dari Allah tentang kekafiran tersebut, kaum muslimin boleh memberontak terhadap penguasa tersebut untuk melengserkan (penguasa itu) apabila memiliki kemampuan. Apabila tidak memiliki kemampuan, mereka tidak bileh memberontak. Atau, kalau pemberontakan tersebut menimbulkan kejelekan yang lebih banyak, mereka tidak boleh memberontak. Hal ini untuk menjaga kemaslahatan umum dan kaidah syara’ yang telah disepakati yaitu “tidak diperbolehkan menghilangkan suatu kejelekan dengan (cara membuat) kejelekan yang lebih jelek daripada kejelekan sebelumnya”. Melainkan, (seseorang) diwajibkan untuk menolak kejelekan dengan (melakukan) sesuatu yang dapat menghilangkan atau meringankan kejelekan tersebut. Adapun menolak kejelekan dengan memunculkan kejelekan yang lebih banyak, hal tersebut tidak diperbolehkan berdasarkan konsensus kaum muslimin.
Sehingga, apabila kelompok tersebut yang ingin melengserkan penguasa yang telah melakukan kekufuran yang nyata memiliki kemampuan untuk melengserkan dan menggantikan (penguasa itu) dengan penguasa yang shalih nan baik, tanpa menimbulkan kerusakan besar bagi kaum muslimin dan kejelekan yang lebih luas daripada kejelekan penguasa tersebut, hal tersebut tidak mengapa.
Akan tetapi, apabila pemberontakan tersebut menimbulkan kerusakan besar, menghilangkan keamanan, (kaum muslimin) menjadi terzalimi, dan dibunuhnya orang-orang yang tidak berhak untuk dibunuh, serta kerusakan-kerusakan besar yang lain, maka (pemberontakan) tidak diperbolehkan” (Fatawa Syaikh Ibnu Baaz 8/203)
Namun para TALAFI (PERUSAK) memprovokasi kaum muslimin untuk membangkang dan memberontak kepada penguasa. Yang tidak tampak jelas kekafirannya, bahkan kezalimannya pun tidak seperti zaman Imam Ahmad rahimahullah.
Masih banyak penulis ingin tuangkan tentang perbedaan SALAFI dan TALAFI, namun mungkin nanti para pembaca memerlukan waktu yang cukup lama untuk membacanya, penulis rasa sudah cukup untuk membedah perkara ini, siapa SALAFI dan siapa TALAFI.
Komentar
Posting Komentar