Mentaati Pemimpin Zalim

WAJIB MENTAATI PEMIMPIN, BAIK YANG ADIL, FASIK  MAUPUN YANG ZALIM DALAM PERKARA YANG MA'RUF

Oleh : Abu Fadhel Majalengka

Sebagian orang atau sebagian PARA DA'I  TALAFI menghembuskan syubhat ke tengah-tengah kaum muslimin tentang kepemimpinan. Bahwa pemimpin yang mesti ditaati hanya pemimpin yang adil dan menerapkan syariat. Sedangkan pemimpin yang zalim dan yang fasik serta tidak menerapkan syariat maka tidak patut ditaati.

Para SALAF berbeda sikap dengan para TALAF, tentang perkara ini. Penulis kali ini akan sedikit menguraikan tentang bagaimana para salaf menyikapi hal seperti ini.

Pertama, Tentang Mentaati Pemimpin

Mentaati pemimpin muslim adalah wajib,  baik pemimpin tersebut dari orang merdeka ataupun budak hamba sahaya. Ataupun  pemimpin tersebut zalim ataupun fasik atau tidak menerapkan syariat, berdasarkan dalil dan pendapat para ulama.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

« يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ ». قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ « تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ ».

“Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam ilmu, pen) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal, pen). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia. “
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?” Beliau bersabda, ”Dengarlah dan ta’at kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka.” (HR. Muslim).

Dan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا

“Aku wasiatkan kalian agar senantiasa bertaqwa kepada Allah serta mendengar dan taat kepada pemimpin meskipun pemimpin tersebut seorang budak dari Habasyah.” [HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Berkata Syueb Al Arnuth : Hadits Shahih].

Berkata Imam Ahmad rahimahullah:

والسمع والطاعة للأئمة وأمير المؤمنين البر والفاجر ومن ولي الخلافة واجتمع الناس عليه ورضوا به ومن عليهم بالسيف حتى صار خليفة وسمي أمير المؤمنين

Wajib mendengar dan taat kepada pemimpin kaum mukminin, dia orang baik maupun orang fasik, atau kepada orang yang memegang tampuk khilafah, disepakati masyarakat, dan mereka ridha kepadanya, atau kepada orang yang menguasai mereka dengan paksa (pemberontakan atau kudeta)  sehingga dia menjadi khalifah dan dinobatkan sebagai pemimpin kaum muslimin. (Ushul Sunah, no. 15).

Ketataan kepada pemimpin tidak sama dengan ketaatan kepada Allah dan RasulNya. Ketaatan kepada pemimpin  hanya kepada perkara yang baik.

Sedangkan ketaatan kepada Allah dan Rasulnya adalah mutlak, sebagaimana perkataan ulama mengenai lafadz أَطِيعُوا yang di ulang dua kali hanya untuk Allah dan RasulNya dan tidak diulang ketika kepada ulil amri di dalam surah An Nisa ayat 59, ini menunjukan bahwa taat kepada Allah dan RasulNya dalam segala hal, dan taat kepada pemimpin hanya kepada yang ma’ruf (baik) saja.

Allah Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (النساء : 59).

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An Nisa : 59).

Kalau mereka memerintahkan kepada maksiat, maka tidak ada ketaatan kepadanya. Karena ketaatan hanya kepada perkara yang baik.

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :

السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ ، وَلاَ طَاعَة.

Mendengar dan taat diperbolehkan bagi seorang muslim dalam semua hal yang disukainya dan yang dibencinya, selagi ia tidak diperintahkan untuk maksiat. Apabila diperintahkan untuk maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat.(HR. Bukhari).

Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

لاَ طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ.

Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam hal yang baik. (HR. Bukhari).

Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوف
ِ
Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya kepada hal yang baik. (HR. Muslim).

Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ.

Tidak ada ketaatan kepada makhluk di dalam maksiat kepada Allah Azza wa Jalla (HR. Ahmad. Berkata Syekh Arnuth isnad shahih atas syarat Bukhari Muslim).

Kedua, Tentang Tidak Mentaati Dan Memberontak Kepada Pemimpin Yang Tampak Kekufurannya.

Pemberontakan terhadap pemimpin muslim haram hukumnya dalam agama kita, selama pemimpin itu masih shalat dan tidak tampak dengan pasti kekufuran padanya.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

“Sebaik-baik pemimpin-pemimpin kamu adalah dimana kamu mencintainya dan mereka mencintaimu. Kamu mendoakannya dan mereka pun mendoakanmu. Adapun sejelek-jelek pemimpin kamu adalah dimana kamu membencinya dan mereka pun membencimu, kamu melaknatnya dan mereka pun melaknatmu”. Dikatakan : Wahai Rasulullah, apakah kami tidak memeranginya saja dengan pedang ?”.
Beliau menjawab : “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat di tengah kalian. Apabila kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kamu benci, maka bencilah perbuatannya saja dan jangan melepaskan tangan dari ketaatan” (HR. Muslim dan  Ahmad).

Apabila melihat kekafiran yang nyata pada diri pemimpin dan para ulama telah menfatwakannya bahwa pemimpin tersebut telah kafir, maka boleh tidak mentaatinya dan boleh memberontak apabila memiliki kekuatan, apabila tidak memiliki kekuatan, lebih baik bersabar dan menyusun kekuatan terlebih dahulu.

Berkata ‘Ubadah bin Ash-Shamit radliyallaahu ‘anhu  :

دَعَانَا رَسول الله صَلَى الله عَلَيه وَسَلَمَ فَبَايَعنَاه فَكَانَ فيمَا أَخَذَ عَلَينَا أَن بَايعنا على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا وأن لا ننازع الأمر أهله قال إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyeru kami, maka kami membaiat kepada beliau. Adapun bai’at kami terhadap beliau adalah untuk selalu mendengar dan taat dalam dalam keadaan senang dan benci; dalam keadaan kami sulit dan dalam keadaan mudah; ketika kesewenang-wenangan menimpa kami; dan juga agar kami tidak mencabut perkara (kekuasaan) dari ahlinya (yaitu penguasa). Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Kecuali bila kalian melihat kekufuran yang nyata berdasarkan keterangan dari Allah” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Dan Rasulullah shallallahu ’alaihi Wasallam bersabda:

إلا أن تروا كفراً بواحاً عندكم من الله فيه برهان

“(jangan memberontak), kecuali engkau melihat kekufuran yang nyata yang kalian bisa pertanggung-jawabkan kepada Allah buktinya” (HR. Al Bukhari).

Namun jika tidak tampak kekufuran yang nyata, maka tidak boleh kita memberontak kepada penguasa.

Berkata Ibnu Hajar rahimahullah :

وقد أجمع الفقهاء على وجوب طاعة السلطان المتغلب والجهاد معه وأن طاعته خير من الخروج عليه لما في ذلك من حقن الدماء وتسكين الدهماء

“Dan telah sepakat fuqoha atas wajibnya taat kepada penguasa yang sedang berkuasa dan berjihad bersamanya, dan (mereka juga sepakat) bahwa taat kepadanya lebih baik dibanding memberontak, sebab dengan itu darah terpelihara dan membuat nyaman kebanyakan orang.” [Fathul Bari, 13/7].

Imam Ahmad rahimahullah dibujuk oleh jamaahnya yang ribuan jumlahnya untuk memberontak kepada pemimpin yang sudah tampak kekufurannya dengan menyakini alquran adalah makhluk, namun beliau untuk menjaga darah kaum muslimin, memerintahkan kepada pengikutnya untuk sabar, padahal beliau sudah babak belur disiksa oleh penguasa yang zalim.

Perhatikan kisah dibawah ini.

أجتمع فقهاء بغداد في ولاية الواثق إلي أبي عبد الله – يعني الإمام أحمد بن حنبل – رحمه الله تعالي – وقالوا له: أن الأمر قد تفاقم وفشا – يعنون: إظهار القول بخلق القرآن، وغير ذلك ولا نرضي بإمارته ولا سلطانه !
فناظرهم في ذلك، وقال: عليكم بالإنكار في قلوبكم ولا تخلعوا يداً من طاعة، ولا تشقوا عصا المسلمين، ولا تسفكوا دمائكم ودماء المسلمين معكم وانظروا في عاقبة أمركم، واصبروا حتى يستريح بر، ويستراح من فاجر وقال ليس هذا – يعني نزع أيديهم من طاعته – صواباً، هذا خلاف الآثار

“Para ahli fiqh Baghdad bersepakat menemui Abu ‘Abdillah yaitu Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah untuk membicarakan kepemimpinan Al-Watsiq (yaitu karena penyimpangan dan kezalimannya terhadap hak-hak kaum muslimin). Mereka mengadu: “Sesungguhnya perkara ini telah memuncak dan tersebar, yaitu ucapan : Al-Qur’an adalah makhluk dan perkara yang lainnya (yaitu kezalimannya terhadap kaum muslimin). Kami tidak ridla dengan kepemimpinannya dan kekuasaannya”.
Maka beliau (Al-Imam Ahmad) mendebat mereka dan berkata : “Wajib atas kalian mengingkarinya hanya dalam hati kalian. Janganlah kalian melepaskan tangan kalian dari ketaatan (kepada pemerintah), janganlah kalian memecah-belah persatuan kaum muslimin, janganlah kalian menumpahkan darah kalian dan darah kaum muslimin. Renungkanlah oleh kalian akibat yang akan ditimbulkan dari apa yang hendak kalian lakukan. Dan bersabarlah kalian sampai orang yang baik hidup tentram dan selamat dari orang yang jahat”. Lalu beliau melanjutkan : “Hal ini (yaitu keluar dari ketaatan penguasa/pemimpin) bukanlah suatu kebaikan. Ini adalah tindakan yang menyelisihi atsar” [Al-Adabusy-Syar’iyyah oleh Ibnu Muflih juz 1 hal. 195,196).

Inilah para salaf tidak memberontak kepada pemimpin yang zalim, sekalipun kezalimannya sudah melampaui batas selama tidak tampak kekufuran yang nyata. Bahkan sekalipun tampak jelas kekufurannya, harus mengukur kekuatan kaum muslimin. Jika kekuatannya seiimbang, baik jumlah pasukan dan peralatan perang dan lain sebagainya, maka boleh memberontak dan menggulingkan penguasa.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :

نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن قتال الأئمة إذا كان فيهم ظلم، لأن قتالهم فيه فساد أعظم من فساد ظلمهم.

"Nabi shallallahu alaihi was sallam melarang dari memerangi para penguasa jika pada mereka ada kezhaliman, karena sesungguhnya memerangi mereka mengandung kerusakan yang lebih besar dibandingkan dengan kezhaliman mereka." ( Al-Istiqamah, jilid 1 hlm. 34).

Berkata Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah

ولا نرى الخروج على أئمتنا وولاة أُمورنا ، وإن جاروا ، ولا ندعوا عليهم ، ولا ننزع يداً من طاعتهم ونرى طاعتهم من طاعة الله عز وجل فريضةً ، ما لم يأمروا بمعصيةٍ ، وندعوا لهم بالصلاح والمعافاة

“Dan kami tidak memandang bolehnya memberontak kepada para pemimpin dan pemerintah kami, meskipun mereka berbuat zalim. Kami tidak mendoakan kejelekan kepada mereka. Kami tidak melepaskan diri dari ketaatan kepada mereka dan kami memandang ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepada Allah sebagai suatu kewajiban, selama yang mereka perintahkan itu bukan kemaksiatan (kepada Allah). Dan kami doakan mereka dengan kebaikan dan keselamatan.” [Matan Al-Aqidah Ath-Thahawiyah]

Berkata Syekh Ibnu Baz rahimahullah:

إلا إذا رأى المسلمون كفراً بواحاً عندهم من الله فيه برهان فلا بأس أن يخرجوا على هذا السلطان لإزالته إذا كان عندهم قدرة , أما إذا لم يكن عندهم قدرة فلا يخرجوا . أو كان الخروج يسبب شراً أكثر : فليس لهم الخروج ؛ رعاية للمصالح العامة . والقاعدة الشرعية المجْمَع عليها أنه ( لا يجوز إزالة الشر بما هو أشر منه ) ؛ بل يجب درء الشر بما يزيله أو يخففه . أما درء الشر بشر أكثر فلا يجوز بإجماع المسلمين . فإذا كانت هذه الطائفة – التي تريد إزالة هذا السلطان الذي فعل كفراً بواحاً – عندها قدرة تزيله بها وتضع إماماً صالحاً طيباً من دون أن يترتب على هذا فساد كبير على المسلمين وشر أعظم من شر هذا السلطان : فلا بأس , أما إذا كان الخروج يترتب عليه فساد كبير واختلال الأمن وظلم الناس واغتيال من لا يستحقّ الاغتيال إلى غير هذا من الفساد العظيم فهذا لا يجوز » ( الفتاوى 8/203 ) .

“Kecuali, apabila melihat kekafiran yang nyata yang mereka memiliki keterangan dari Allah tentang kekafiran tersebut, kaum muslimin boleh memberontak terhadap penguasa tersebut untuk melengserkan (penguasa itu) apabila memiliki kemampuan. Apabila tidak memiliki kemampuan, mereka tidak bileh memberontak. Atau, kalau pemberontakan tersebut menimbulkan kejelekan yang lebih banyak, mereka tidak boleh memberontak. Hal ini untuk menjaga kemaslahatan umum dan kaidah syara’ yang telah disepakati yaitu “tidak diperbolehkan menghilangkan suatu kejelekan dengan (cara membuat) kejelekan yang lebih jelek daripada kejelekan sebelumnya”. Melainkan, (seseorang) diwajibkan untuk menolak kejelekan dengan (melakukan) sesuatu yang dapat menghilangkan atau meringankan kejelekan tersebut. Adapun menolak kejelekan dengan memunculkan kejelekan yang lebih banyak, hal tersebut tidak diperbolehkan berdasarkan konsensus kaum muslimin.

Sehingga, apabila kelompok tersebut yang ingin melengserkan penguasa yang telah melakukan kekufuran yang nyata memiliki kemampuan untuk melengserkan dan menggantikan (penguasa itu) dengan penguasa yang shalih nan baik, tanpa menimbulkan kerusakan besar bagi kaum muslimin dan kejelekan yang lebih luas daripada kejelekan penguasa tersebut, hal tersebut tidak mengapa.

Akan tetapi, apabila pemberontakan tersebut menimbulkan kerusakan besar, menghilangkan keamanan, (kaum muslimin) menjadi terzalimi, dan dibunuhnya orang-orang yang tidak berhak untuk dibunuh, serta kerusakan-kerusakan besar yang lain, maka (pemberontakan) tidak diperbolehkan” (Fatawa Syaikh Ibnu Baaz 8/203)

Mudah-mudahan syubhat ini bisa terbantahkan dan tampak jelas kebenaran. Kita berlindung kepada Allah Ta'ala dari panah-panah racun syubhat.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadah Dimalam Nisfu Sya'ban

Royalti Di Akhirat

KENAPA KAMU DIAM?