Wis Pokoke Kafiir

WIS, POKOKE KAFIIIR

Oleh : Abu Fadhel Majalengka

Orang-orang pergerakan yang terkumpul di dalam berbagai macam jamaah, baik yang skala nasional maupun internasional, memiliki tujuan yang hampir sama, yakni menegakkan daulah islamiyah dan menerapkan hukum islam di dalamnya.

Mereka berkeyakinan, bahwa hanya dengan berdirinya daulah islamiyah, maka kejayaan dan kehormatan kaum muslimin akan kembali bisa diraih.

Namun sayang, sebagian mereka, kadang tidak segan-segan mengkafirkan, memfasikkan dan menzalimkan orang lain atau pemerintahan yang ada, yang tidak menerapkan hukum islam secara menyeluruh. Dan bahkan mengkafirkan  kaum muslimin yang bukan jamaah dan golongannya.

Landasan dan dalil yang mereka gunakan untuk pembenaran atas pendapatnya itu adalah surat al Maidah ayat 44, 45 dan 47.

Allah Ta’ala berfirman :

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ.

Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al Maidah 44).

Dan Allah Ta'ala berfirman:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ.

Barang siapa tidak memutuskan perkara menu-rut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (Al Maidah 45).

Dan Allah Ta'ala berfirman:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ.

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. (QS. Al Maidah 47).

Dalil yang lain yang mereka gunakan untuk mengkafirkan pemerintah dan kaum muslimin lainnya yang tidak menerapkan hukum Islam, yakni surat an Nisa ayat 65.

Allah Ta'ala berfirman :

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.

Namun lain dengan pemahaman yang di pahami oleh para ulama salaf, mereka tidak mudah untuk mengkafirkan orang lain atau pemerintah yang tidak menerapkan hukum Allah. Pengkafiran dengan dalil diatas para ulama ahlus sunnah merinci terlebih dahulu.

Pertama, Apabila menyakini bahwa hukum buatan manusia lebih baik, lebih utama dan lebih adil dari hukum buatan Allah, maka jatuhlah kekafiran pada orang tersebut. Murtadlah dia dari Islam.

Kedua, Apabila masih menyakini bahwa hukum Allah lebih utama, lebih baik, dan lebih adil dari pada hukum buatan manusia, namun karena sebab-sebab tertentu dia belum bisa menerapkan secara keseluruhan, maka dia tidak jatuh pada kekafiran.

Berkata Syeikh Utsaimin rahimahullah :

من لم يحكم بما أنزل الله استخفافاً به ، أو احتقاراً له ، أو اعتقاداً أن غيره أصلح ، وأنفع للخلق ، فهو كافر كفراً مخرجاً عن الملة ، ومن هؤلاء من يضعون للناس تشريعات تخالف التشريعات الإسلامية لتكون منهاجاً يسير الناس عليه ، فإنهم لم يضعوا تلك التشريعات المخالفة للشريعة الإسلامية إلا وهم يعتقدون أنها أصلح وأنفع للخلق ، إذ من المعلوم بالضرورة العقلية والجبلة الفطرية أن الإنسان لا يعدل عن منهاج إلى منهاج يخالفه إلا وهو يعتقد فَضْلَ ما عَدَلَ إليه ، ونَقَصَ ما عدلَ عنه .
ومن لم يحكم بما أنزل الله وهو لم يستخف به ، ولم يحتقره ، ولم يعتقد أن غيره أصلح منه ، وأنفع للخلق وإنما حكم بغيره تسلطاً على المحكوم انتقاماً منه لنفسه أو نحو ذلك ، فهذا ظالم وليس بكافر ، وتختلف مراتب ظلمه بحسب المحكوم به ووسائل الحكم .
ومن لم يحكم بما أنزل الله لا استخفافاً بحكم الله ولا احتقاراً ولا اعتقاداً أن غيره أصلح وأنفع للخلق وإنما حكم بغيره محاباة للمحكوم له ، أو مراعاة لرشوة أو غيرها من عَرَض الدنيا ، فهذا فاسق وليس بكافر ، وتختلف مراتب فسقه بحسب المحكوم به ووسائل الحكم .
قال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله فيمن اتخذوا أحبارهم ورهبانهم أرباباً من دون الله أنهم على وجهين :
أحدهما : أن يعلموا أنهم يبدلوا دين الله فيتبعونهم على التبديل ، ويعتقدون تحليل ما حرم وتحريم ما أحل الله اتباعاً لرؤسائهم ، مع علمهم أنهم خالفوا دين الرسل . فهذا كفر ، وقد جعله الله ورسوله شركاً .
الثاني : أن يكون اعتقادهم وإيمانهم بتحليل الحرام وتحريم الحلال – كذا العبارة المنقولة عنه – ثابتاً ، لكنهم أطاعوهم في معصية الله كما يفعل المسلم ما يفعله من المعاصي التي يعتقد أنها معاصي ، فهؤلاء لهم حكم أمثالهم من أهل الذنوب" انتهى .
فضيلة الشيخ محمد بن عثيمين رحمه الله .
"فتاوى العقيدة" (ص 208- 212) .

Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah karena meremehkan, penghinaan atau berkeyakinan bahwa (hukum) lainnya lebih bagus, lebih bermanfaat untuk makhluk maka dia kafir dengan kekafiran yang mengeluarkan dari agama. Di antara mereka adalah orang-orang yang membuat aturan yang menyalahi aturan Islam yang dijadikan manhaj (pedoman) agar orang-orang berjalan dengannya. Maka mereka tidaklah membuat aturan (syariat) yang menyalahi syariat Islam kecuali mereka berkeyakinan bahwa ia lebih bagus dan lebih bermanfaat untuk makhluk. Dimana telah diketahui secara aksiomatif dari sisi akal dan fitrah bahwa seseorang tidak akan mengganti suatu manhaj (pedoman) dengan pedoman lain yang berbeda kecuali dia berkeyakinan kelebihan (keutamaan) pengganti dan kekurangan apa yang diganti.

Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah sementara dia tidak meremehkan dan tidak menghinanya serta tidak meyakini bahwa bahwa (hukum) lainnya itu lebih bagus dari (hukum Allah), lebih bermanfaat untuk makhluk. Akan tetapi dia berhukum dengan selainnya karena kekuasaan terhadap rakyat karena balas dendam pada dirinya atau semisal itu, maka dia zalim bukan kafir. Kezalimannya berbeda-beda tergantung hukum yang dibuat dan sarana hukuman. Sementara orang yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah tidak meremehkan dengan hukum Allah, tidak menghina, tidak berkeyakinan bahwa lainnya lebih baik dan lebih bermanfaat kepada makhluk. Akan tetapi dia berhukum dengan lainnya karena kesenangan kepada pelaku hukum, atau memperhatikan suap atau lainnya dari kepentingan dunia. Maka dia fasik tidak kafir. Dan kefasikannya berbeda-beda sesuai dengan yang hukum dan sarananya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, ‘Terkait dengan orang yang menjadikan pendeta dan ahbar (rahib) sebagai Tuhan selain Allah, mereka dapat dilihat dari dua sisi:

Salah satunya adalah mereka mengtahui bahwa mereka (para pendeta dan rahib) itu mengganti agama Allah sementara mereka juga mengikuti penggantinya. Serta meyakini penghalalan apa yang diharamkan dan pengharaman dari apa yang Allah halalkan karena mengikuti pemimpin mereka. Padahal mereka tahu telah menyalahi agama para Rasul, maka ini adalah kafir. Karena dia telah menjadikan Allah dan Rasul-Nya sekutu.

Kedua, mereka berkeyakinan dan mempercayai penghalalan yang haram dan pengharaman yang halal –begitu teks yang dinukil- telah tetapi mereka mentaati dalam kemaksiatan kepada Allah sebagaimana yang dilakukan orang muslim terhadap kemaksiatan yang diyakini, maka itu adalah maksiat. Mereka itu dan yang semisalnya dihukumi sebagai pelaku dosa.’. (Fatawa Al-Aqidah, hal. 208-212).

Berkata Al-‘Allamah Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah :

“Jika engkau telah mengetahui hal ini, maka tidak boleh menerapkan ayat-ayat ini kepada sebagian pemerintah kaum muslimin dan para hakim mereka yang berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah subhanahu wa ta’ala berupa undang-undang buatan manusia. Saya nyatakan bahwa tidak boleh mengafirkan mereka dan mengeluarkannya dari agama jika mereka beriman kepada Allahsubhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Walaupun mereka berdosa dengan sebab berhukum dengan selain yang diturunkan Allah subhanahu wa ta’ala. Sebab ,walaupun mereka seperti Yahudi dari sisi berhukum tersebut, namun mereka menyelisihinya dari sisi yang lain; yaitu keimanan mereka dan pembenaran mereka dengan apa yang diturunkan Allah subhanahu wa ta’ala. Berbeda dengan Yahudi yang kafir, mereka mengingkari (hukum Allahsubhanahu wa ta’ala).”

Beliau juga berkata, “Kekufuran terbagai menjadi dua macam: kufur i’tiqadi danamali. Adapun i’tiqadi tempatnya di hati, sedangkan amali tempatnya di jasmani. Barang siapa yang amalannya kufur karena menyelisihi syariat dan sesuai dengan apa yang diyakini dalam hatinya berupa kekafiran, maka itu kufur i’tiqadiyang tidak diampuni Allah subhanahu wa ta’ala dan dikekalkan pelakunya dalam neraka selamanya. Adapun bila perbuatan tersebut menyelisihi yang diyakini dalam hati, maka dia mukmin dengan hukum Rabb-nya. Namun penyelisihannya dalam hal amalan, maka kekafirannya adalah amali saja dan bukan kufur i’tiqadi. Dia berada di bawah kehendak Allah subhanahu wa ta’ala, jika Dia menghendaki maka disiksa dan jika Dia menghendaki maka diampuni.” (Silsilah ash-Shahihah karya al-‘Allamah al-Albani rahimahullah, 6/111—112)

Fatwa al-Lajnah ad-Daimah

Mereka ditanya, “Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah subhanahu wa ta’alaapakah dia muslim atau kafir kufur akbar (yang mengeluarkan dari Islam) dan tidak diterima amalannya?”

Jawaban al-Lajnah ad-Daimah, Allahsubhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ ٤٤

“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (al-Maidah: 44)

وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ٤٥

“Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang yang zalim.” (al-Maidah: 45)

وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ٤٧

“Barang siapa tidak memutuskanperkara menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (al-Maidah: 47)

Namun apabila dia meyakini halalnya hal tersebut dan meyakini kebolehannya, maka ini kufur akbar, zalim akbar, dan fasiq akbar yang mengeluarkan dari agama.

Adapun jika dia melakukan itu karena suap atau karena maksud lain, dan dia meyakini haramnya hal tersebut, maka dia berdosa, termasuk kufur ashgar, zalim ashgar, dan fasiq ashgar yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama dalam menafsirkan ayatayat tersebut.

Semoga Allah subhanahu wa ta’alamemberi taufik, dan shalawat serta salam dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya. ( Fitnatut Takfir, hlm. 104—105 ).

(Ketua: Abdul ‘Aziz bin Baz; Wakil ketua: Abdurrazzaq ‘Afifi; Anggota: Abdullah Ghudayyan).

Mengkafirkan seseorang atau pemerintahan yang ada, dengan secara membabi buta, bukanlah prinsip dari ahlussunnah, hanya orang-orang yang yang telah teracuni pemikiran khawarijlah yang sering menerapkan prinsip ini. Khawarij keluar dari barisan Islam dan memberontak, karena menganggap bahwa Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu dan Muawiyah bin Abu Sofyan radhiyallahu ‘anhu yang ketika itu berselisih, tidak berhukum dengan hukum Allah.

Sebagian jamaah-jamaah pergerakan ini, yang bersemangat untuk menegakkan hukum Allah dan melabelkan cap kafir kepada orang yang bukan golongannya dan kepada pemerintah yang sah yang tidak menerapan hukum Allah, kadang dalam praktek amaliyah bertolak belakang dengan pemikirannya sendiri.

Misalkan, ada anggota jamaahnya yang mencuri, berzina atau minum khamar, mereka menghukum jamaahnya yang berbuat demikian, tidak sesuai dengan hukum Allah. Kadang mereka hanya menegurnya, memarahinya, menskornya, memindahkan tempat tugas, atau dengan hukuman lain yang tidak sesuai dengan hukum Allah, dengan alasan, bahwa kita belum bisa menerapkan hukum islam, karena kita masih dibawah pemerintahan seperti ini.

Kenapa alasan seperti itu mereka pakai untuk jamaahnya, tapi tidak untuk pemerintahan yang ada, yang mungkin ada alasan-alasan tertentu yang belum bisa menerapkan hukum Allah secara keseluruhan.

Kadang juga mereka menyebut bahwa pemerintahan yang sah ini thoghut, bukan hanya sekedar kafir. Tapi lucunya, mereka tetap tinggal di dalamnya, tidak berhijrah ke negeri lain, sebagaimana Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang hijrah ke Madinah.

Tapi ada yang lebih lucu lagi, mereka menthogutkan pemimpin pemerintahan yang ada, tapi mereka sendiri yang memilihnya ketika pilkada, pileg atau pilpres, bahkan mereka yang menjadi tim suksesnya.

Bahkan mereka menerima sumbangan dari pemerintah yang sah. Baik berupa gedung sekolah, asrama, masjid, menerima uang insentif dan uang bos dan lain sebagainya. Kadang sebagian mereka mengatakan, ini uang ghonimah perang. Masya Allah, inilah bentuk kejahilan mereka.

Pernahkah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika di makkah menjadi tim sukses pemimpn kafir yang ada dan menerima imbalan dari usahanya  itu! tidak, tidak sama sekali berbuat seperti itu, begitu pula para sahabatNya. Begitu pula pernahkah Nabi dan para sahabatnya menerima sumbangan harta dari orang kafir untuk perjuangan islam!

Orang yang memiliki sedikit saja ilmu sunnah, akan melihat kontradiktifnya mereka dalam mene-rapkan prinsip dokrin dan realita dilapangan. Lain di kata lain di hati, lain diucapkan lain di praktekkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadah Dimalam Nisfu Sya'ban

Royalti Di Akhirat

KENAPA KAMU DIAM?